Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Cianjur - Imas Masnguneh, 39 tahun, mengucap syukur setelah lolos dari maut usai gempa Cianjur. Imas teringat kejadian 1,5 jam terjebak di reruntuhan sekolah Diniyah Hasadah, Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Saat ini, Imas beserta suami dan dua anaknya sudah tiga hari tidur di tenda beralaskan terpal di atas tanah bebatuan yang tak rata, bergabung dengan sanak saudara lainnya. “Musibah itu ujian dari Allah,” kata pria relawan itu memberikan motivasi kepada Imas Rabu 23 November 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Imas mengungkapkan perasaan campur aduk saat itu antara takut, pasrah dan ikhlas menyelimuti dirinya. Dalam posisi tertimbun reruntuhan yang gelap ia sudah pasrah jika memang takdirnya untuk bertemu Ilahi. Untungnya, bangunan sekolah dua lantai yang ambruk itu menyisakan ruang kecil untuknya bisa tetap bernafas meski gelap.
Balok kayu bagian atap bangunan sekolah itu melintang persis di depannya, sehingga menyisakan ruang bagi tubuh Imas tidak terhimpit oleh material bangunan yang porak poranda. Imas mencoba menggerakan tubuhnya, menggali sedikit demi sedikit puing-puing bangunan menggunakan kedua tangannya dengan penuh hati-hati menuju cahaya terang tersebut.
Lengan tangan kanannya meninggalkan tanda memar biru kehitaman, menunjukkan perjuangannya keluar dari reruntuhan. Imas diselamatkan oleh sang suami Uun Supatoni, 42 tahun, yang menyadari istrinya tidak kembali ke rumah usai gempa dengan magnitudo 5,6 mengguncang tanah kelahirannya.
“Suami yang menyelamatkan saya, karena belum ada relawan sebanyak ini yang datang waktu itu,” cerita Imas.
Berprofesi jadi guru honorer
Imas salah satu guru honorer yang mengajar dengan bayaran seikhlasnya di Diniyah Hasadah, milik tetangga di kampungnya. Ia mengajar siswa kelas dua dan kelas tiga, dengan sekitar 20 murid.
Pada saat gempa terjadi, Imas merasa bersyukur tidak ada anak muridnya yang menjadi korban dan terjebak di reruntuhan gempa. Karena pada hari itu, Senin (21/11) setelah rapat sekolah, wanita lulusan pondok pesantren itu meminta semua muridnya untuk keluar dari ruang belajar.
Selesai rapat, Imas duduk di lantai ruang Paud yang menerapkan konsep belajar tidak menggunakan meja dan kursi itu. Di tengah istirahatnya, gempa menerjang seperkian detik disusul lampu mati dan bangunan sekolah ambruk.
“Dalam hati bersyukur, untungnya anak-anak sudah saya suruh keluar duluan sebelum gempa terjadi. Jadi tidak ada murid-murid saya yang ketimpa bangunan sekolah,” katanya lirih.
Rumahnya rusak berat
Trauma dan kedukaan Imas tak berhenti sampai di situ, setibanya di rumah bercat kuning yang ia bangun bersama suami hasil bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi ditemui dalam kondisi separuh bangunan ambruk, menyisakan retakan yang tidak aman untuk ditinggali.
“Mau gimana lagi, yang penting selamat dululah, rumah udah hancur ya mau gimana lagi,” ucapnya.
Rumah yang berdiri di atas tanah milik keluarganya itu terbilang besar untuk ukuran warga kampung. Rumah beratap genteng, dengan teras disanggah dua pilar ukuran sedang itu dibangun dari hasil bekerja selama dua tahun tiga bulan sebagai buruh migran di Riyadh, Arab Saudi.
Hari ketiga setelah gempa, Imas dan puluhan, bahkan ratusan warga di Kampung Rawacina menantikan bantuan, utamanya hunian, karena hampir 90 persen permukiman warga rusak parah diguncang gempa.
Hampir semua penyintas gempa sudah mendapat distribusi logistik berupa beras, mi instan, susu, minyak goreng dan bahan makanan lainnya. Namun warga masih hidup dalam keprihatinan. Mereka belum bisa bebas mandi, cuci kakus, karena aliran air mati di wilayah tersebut, tidak ada penerangan dan pakaian ganti.
Sudah tiga hari pula Imas masih mengenakan baju seadanya. Ia dan warga lain menjalani hari dengan kepasrahan sambil menunggu bala bantuan.
Menurut Komandan Pleton (Danton) SAR Resimen II Pasukan Pelopor Korp Brimob Ipda Sutrisno, Kampung Rayacina salah satu yang terdampak gempa cukup parah. Hampir semua rumah warga ambruk, sehingga warga memilih mengungsi di pinggiran jalan tak jauh dari rumahnya.
Polri melalui tim SAR Resimen II Pasukan Pelopor Korp Brimob mendistribusikan bantuan tenda pleton ke Kampung Rawacina, dan puluhan paket bantuan logistik untuk warga terdampak.
Namun, selain tenda dan bahan makanan, warga membutuhkan air bersih untuk mandi, cuci, kakus, serta perlengkapan obat-obatan, seperti pereda sakit atau nyeri dan balsem, terpal, selimut serta pakaian ganti.