Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Pendidikan Nasional dikenal sebagai salah satu peringatan penting di Indonesia. Pada 1959, melalui Keputusan Presiden nomor 316, pemerintah menetapkan 2 Mei, hari lahir Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara sebagai hari khusus untuk mengenang jasanya dalam memperjuangkan pendidikan rakyat. Bagaimana kisah Ki Hadjar memperjuangkan pendidikan?
Dilansir dari buku Ki Hadjar Dewantara "Pemikiran dan Perjuangannya" karya Suhartono, sebelum berkiprah dan bergerak memperjuangkan pendidikan, Suwardi sempat mengalami pasang surut saat sekolah. Awalnya, ia sekolah dengan lancar di Europeesche Lagere School, sekolah tingkat menengah di Hindia Belanda. Bahkan pada tahun 1905, Suwardi mendapatkan beasiswa untuk lanjut sekolah ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) atau biasa disebut dengan Sekolah Dokter. Namun sayangnya, ia tak mampu menamatkan sekolah dokternya karna terkendala gangguan kesehatan.
Beasiswanya pun dicabut. Suwardi akhirnya memutuskan untuk bekerja di beberapa tempat seperti menjadi ahli Kimia di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Pernah juga ia bekerja di sebuah apotek. Namun, sayangnya ia berhenti dari pekerjaanya karna di-PHK.
Tidak menyerah, cucu dari Sri Paku Alam III ini banting setir menjadi seorang jurnalis. Ia aktif mengirim karya tulisan ke media massa seperti Seditomo, Midden Java, De Expres, Utusan Hindia, Kaum Muda, Cahaya Timur, dan Pusara.
Menjadi seorang jurnalis yang kritis, Suwardi kerap membuat karya yang berisi perjuangan. Hal itu makin kentara saat ia menulis di surat kabar De Express, Suwardi mulai bekerja sama dengan rekannya Setyabudi Danudirja alias Dowes Deker yang menjadi redaktur di media De Expres. Pertemuan itu memperkuat pergerakan nasionalis yang mereka lakukan.
Tulisan Suwardi yang terkenal ialah yang berjudul “Als Ik Een Nederlender Was”, dalam bahasa Indonesia berarti “Seandainya Aku Seorang Belanda,” tulisan ini berisi kritikan terhadap pemerintah Belanda yang menarik pajak dari masyarakat bumiputera untuk dana perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari Perancis.
Tulisan ini dicetak oleh percetakan De Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij yang dipimpin oleh J.F. Wesselius. Tulisan ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis. Tulisan itu kemudian berhasil menyebar luas di kalangan masyarakat. Meluasnya tulisan itu membuat pemerintah kolonial menjadi berang. Akibatnya penjajah memeriksa Suwardi dan ia dilarang untuk membuat tulisan semacam itu lagi.
Selain ribut di jalur pena, ia juga pernah berkelahi dengan orang Belanda. Bentrokan fisik itu terjadi ketika Suwardi melihat seorang Belanda mengganggu perempuan pribumi yang bernama Sutartinah. Akibat menghajar orang Belanda, Suwardi pun diperiksa polisi, begitu juga Sutartinah. Usai pemeriksaan itu, mereka berkenalan hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih dan menikah.
Setelah kejadian tersebut, ternyata tak membuat Suwardi gentar untuk menyuarakan kebenaran, dan hak-hak bangsanya. Ia kembali menerbitkan sebuah tulisan yang mempertegas isi dari tulisan sebelumnya dan meyakini bahwa apa yang telah ia ungkapkan merupakan penderitaan yang sebenarnya terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Bumiputera.
Akibatnya tulisan tersebut memancing kemarahan pemerintah kolonial Belanda. Para penjajah semakin berang ketika Suwardi bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij, sebuah parpol pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia yang pertama di Hindia Belanda. Suwardi akhirnya ditangkap pada 30 Juli 1913. Pada 6 September 1913 Suwardi bersama dua orang rekannya yakni Setyabudi Danudirja dan Cipto Mangoenkoesoemo dikirim ke Belanda untuk diasingkan.
Selama masa pengasingannya di Belanda, Suwardi tak berhenti berorganisasi, ia mendirikan pers nasional yang diberi nama Indonesisch Pers Bureau. Melalui media pers tersebut Suwardi banyak menghasilkan karya-karya tulisnya yang baru. Berangkat dari pengalamannya ia dan istrinya sepakat bahwa berjuang melawan penjajahan Belanda di Indonesia tidak mesti harus maju bertempur di medan perang tetapi dapat dilakukan dengan cara menulis dan mengajak masyarakat untuk bangkit dan bergerak bersama.
Selama di Belanda, Suwardi dan Istrinya bekerja di bidang pendidikan. Istrinya saat itu bekerja di sebuah TK, sedangkan Suwardi belajar pendidikan dan pedagogik di Universitas Leiden. Setelah 6 tahun di Belanda, Suwardi dan istrinya kembali ke tanah kelahiran mereka pada 1912.
Pada 1922 kecintaan Suwardi pada ilmu pendidikan dan pengetahuan ia realisasikan dengan membangun Perguruan Taman Siswa yang tujuannya untuk mendidik masyarakat Bumi Putra yang tidak memiliki akses ke untuk bersekolah pada zaman itu. Selain itu, ia juga pernah memperjuangkan penghapusan Undang-Undang Sekolah Liar pada tahun 1923 yang membatasi gerak nasionalisme pendididkan Indonesia dan perjuangannya pun berbuah hasil.
Atas jasa-jasa yang telah ia lakukan terhadap kemajuan di dunia pendidikan Indonesia, pada tahun 1959 pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Ki Hadjar Dewantara. Kemudian ia juga mendapat gelar klehormatan Doktor Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1959. Ia juga resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI pada tahun yang sama dengan ia wafat.
Pilihan Editor: Kemendikbud Upayakan Sekolah Adat Masuk Sistem Pendidikan Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini