Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Siswi yang Dipaksa Pakai Jilbab di SMAN 1 Banguntapan Bantul

Siswi yang dipaksa pakai jilbab di SMAN 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta kini masih dalam proses pendampingan psikologi. Begini kisahnya.

2 Agustus 2022 | 15.50 WIB

Suasana SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta, Selasa, 2 Agustus 2022 (TEMPO/Shinta Maharani)
Perbesar
Suasana SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta, Selasa, 2 Agustus 2022 (TEMPO/Shinta Maharani)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus siswi SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta yang dipaksa pakai jilbab sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini, siswi yang menolak pemaksaan pemakaian jilbab itu menjalani pendampingan psikologis secara intensif karena depresi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atlet sepatu roda itu bersiap pindah ke sekolah lain supaya bisa melanjutkan pendidikan. Perpindahan itu muncul dari usulan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan pendamping. “Pindah supaya kesehatan mentalnya kondusif,” ujar pendamping siswa, Yuliani Putri Sunardi pada Selasa, 2 Agustus 2022.

Di rumahnya di Kota Yogyakarta, siswi yang menolak pemaksaan jilbab sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Dia juga menolak untuk bersekolah di SMAN 1 Banguntapan Bantul karena trauma. “Dia sempat tidak mau berkomunikasi dengan orang tua dan siapa pun,” ujar anggota Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta itu.

Yuliani bersama seorang anggota KPAI harus berjibaku untuk mendekati siswi tersebut agar lebih tenang. Butuh tiga hari setelah peristiwa pemaksaan pemakaian jilbab itu untuk bisa berkomunikasi dengan sang siswi.

Yuliani menjelaskan dia bersama seorang anggota KPAI datang ke rumah siswi itu pada 26 dan 27 Juli. Tapi, remaja putri itu menolak menemui mereka dan mengunci pintu kamarnya. Yuliani dan anggota KPAI itu kemudian berinisiatif menulis surat untuk mencoba berkomunikasi.

Surat itu berisi dukungan agar dia tidak takut dan mendapat perlindungan KPAI. Yuliani juga menyertakan nomor teleponnya. “Surat kami taruh di pintu kamar siswi,” kata Yuliani.

Sehari setelahnya, siswi itu berkirim pesan kepada Yuliani yang menyatakan ingin pindah sekolah. Yuliani menawarkan beberapa pilihan sekolah di Kota Yogyakarta.

Siswi tersebut mengalami tekanan karena guru bimbingan konseling dan wali kelas memaksanya memakai jilbab di ruangan guru BK pada Selasa pagi, 26 Juli 2022. Guru BK tersebut memakaikan jilbab ke siswi tersebut.

Dampaknya, siswi tersebut terguncang hingga mengurung diri dan menangis di toilet selama satu jam. Guru kemudian mengetuk pintu toilet dan membawa siswi itu dalam kondisi lemas ke ruang Unit Kesehatan Sekolah.

Ayah siswi tersebut kemudian bercerita kepada Yuliani Putri Sunardi yang juga anggota Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta. Di hari yang sama, Yuliani melaporkan kejadian itu ke Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY, Budhi Masthuri. Budhi menerjunkan timnya ke sekolah untuk mengecek laporan itu. Sekolah menyatakan ada siswi yang mengurung diri di toilet.

Terjadi Perundungan

Menurut Yuliani, perundungan terjadi terhadap siswa beragama Islam tersebut sejak 19 Juli sebelum guru BK memaksanya mengenakan jilbab. Sejumlah guru di sekolah itu menegur siswa itu, lalu guru BK dan wali kelas mengundangnya datang ke ruangan melalui pesan WhatsApp.

Kepada siswi berumur 16 tahun itu, guru-guru menyatakan bila tidak mengenakan jilbab maka dia menjadi berbeda dan kapan lagi bisa belajar kalau tidak sekarang. Siswi tersebut menolak hingga menjadi omongan para guru. “Siswi tambah stres karena guru-guru ngrasani. Puncaknya tanggal 26 dia mengurung diri di toilet,” ujar Yuliani.

Selain itu, guru BK tersebut juga melontarkan kalimat, "bapak ibumu tidak salat kan, bapakmu mualaf". Perundungan hingga pemaksaan itulah yang membuat siswa tersebut depresi berat. Yuliani dan orang tua siswa kini rutin mengantarnya menemui psikolog dari KPAI. “Dia sudah mau keluar kamar. Tapi, kondisinya masih labil,” kata Yuliani.

Untuk memulihkan kondisi kesehatan mentalnya, Yuliani juga berencana mengajaknya untuk bersepeda. Yuliani menunjukkan kegemaran siswa tersebut bermain sepatu roda.

Dinas Pendidikan Turun Tangan

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Didik Wardaya mengatakan akan menjalankan rekomendasi dari psikolog ihwal pindah sekolah. “Kami akan carikan tempat belajar yang nyaman,” kata dia.

Didik menyebutkan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY telah turun untuk mendampingi siswa. Fokusnya membawa suasana ceria hingga dia bisa kembali belajar.

Timnya juga telah memanggil kepala sekolah, pendamping siswa, dan orang tua untuk mendapatkan keterangan. Didik menekankan sekolah negeri tidak boleh memaksa siswa mengenakan jilbab karena bukan sekolah berbasis agama. “Sekolah harus mereplikasi suasana kebhinekaan,” kata dia.

Bila sekolah tersebut terbukti bersalah, maka Dinas Pendidikan, kata dia akan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomer 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi terhadap pelanggar aturan itu kata dia disesuaikan dengan tingkat kesalahannya.

Kepala SMA N 1 Banguntapan, Bantul, Agung Istiyanto membantah guru BK dan wali kelas di sekolahnya memaksa siswa memakai jilbab. Guru BK hanya menyarankan siswa untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari pembentukan karakter.

Saat siswa itu datang ke ruangan, guru BK, kata Agung dengan nada guyon menanyakan siswa itu pernah tidak memakai jilbab. Lalu guru BK tersebut mencontohkan pemakaian jilbab. “Sekolah tidak pernah memaksa. Kalau menyarankan iya sebagai sesama Muslim,” kata dia.

SHINTA MAHARANI

 

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus