Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lambang Garuda Pancasila sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia dibuat oleh Sultan Abdul Hamid II. Lambang itu terinspirasi dari tradisi Hindu. Garuda adalah hewan yang jadi kendaraan atau wahana Dewa Wisnu. Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, dan bersayap merah. Paruh dan sayap Garuda digambarkan mirip elang, tetapi memiliki tubuh seperti manusia. Ukurannya besar hingga bisa menghalangi matahari.
Simbol Garuda kemudian menjadi populer, terlihat dari arca dan relif yang terdapat lambang Garuda. Bahkan Garuda dijadikan lambang beberapa kerajaan Hindu masa lalu. Misalnya kerajaan Airlangga di abad ke-11 Masehi.
Lambang Garuda yang kini digunakan sebagai simbol negara dicetus oleh Sultan Hamid II. Dikutip dari laman Provinsi Jambi, pada 10 Januari 1950, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) membentuk sebuah panitia teknis bernama Panitia Lambang Negara.
Panitia ini diketuai oleh Muhammad Yamin, dengan anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Purbatjaraka. Koordinator dari panitia ini adalah Menteri Zonder Porto Folio Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Syarif Abdul Hamid lLahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Ia memiliki darah Indonesia, Arab. Semasa kecil, ia pernah diasuh perempuan berkebangsaan Inggris. Istrinya adalah perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak yang bermukim di Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan Tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel.
Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak ketujuh menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.
Dituduh Makar dan Bersekongkol dengan Westerling
Pada akhir hidupnya, Sultan Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena dituduh bersekongkol dengan Westerling dan APRA. Ia pernah dianggap terlibat dalam Peristiwa Westerling meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, tuduhan itu tidak terbukti dakwaan primernya. Begini akhir pledoinya:
"Saya akhiri pembelaan saya dengan menyatakan, bahwa saya tetap merasa berbahagia sebagai putera Indonesia, yang telah mendapat kehormatan sebesar-besarnya untuk dapat turut serta di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bagi nusa dan bangsa.
Bagaimanapun bunyinya putusan Mahkamah Agung nanti, apakah saya akan bebas ataupun akan dijatuhi hukuman, tenaga saya tetap saya sediakan, apabila kelak negara membutuhkannya. Dengan uraian-uraian di atas, nasib saya sekarang saya serahkan kepada Mahkamah Agung dengan penuh kepercayaan."
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
YOLANDA AGNE | HAYATI MAULANA NUR | NAUFAL RIDHWAN ALY
Pilihan Editor: Lambang Pancasila 1 Sampai 5 Beserta Maknanya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini