Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan wajah kebingungan, Elisabet Banu menatap nama-nama yang disodorkan ke hadapannya, lalu berkata, "Tak ada dari nama-nama itu yang tinggal di sini." Tempo mengunjungi kediaman perempuan itu di Perumahan BTN Blok R1 Nomor 51, Kelurahan Kolhua, Kota Kupang, pada Kamis pekan lalu. Ada tiga nama yang tercatat tinggal di rumahnya: Noviana Bete Sen, Velesitas Halek, dan Veronika Mau. Tertera dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 yang diluncurkan 4 November lalu, ketiga nama itu dicantumkan Komisi Pemilihan Umum. Faktanya? Majalah ini menemukan nama-nama itu fiktif belaka.
Ahwal lebih parah didapati ketika Tempo melacak Nusriani Fatboe. Menurut DPT, dia beralamat di Banoha, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Tak ada tempat bernama Banoha di kelurahan itu ataupun di seantero Kota Kupang. Kota Makassar di Sulawesi Selatan juga menyimpan pemilih fiktif. Nama Nurwahida tercatat dalam DPT sebagai warga Jalan Kalumpang Lorong 7 Nomor 4, Kelurahan Timongan Lompoa, Kecamatan Bontoala. "Saya tinggal dengan tiga anak saya, tak ada yang bernama Nurwahida," kata pemilik rumah, Nurmiaty, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Di Jakarta, perkara fiktif terjadi bahkan di dekat kantor KPU Pusat di Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Ada Irod bin Sapi'ie, kelahiran Jakarta, 15 Maret 1943. Dia tinggal di Jalan Kingkit II Nomor 32, Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Ketika dicek, sosok ini tidak ada. Begitu pula di rumah bernomor 2 di jalan yang sama: tak ada manusia bernama Meita Indah Ayuningsih seperti yang tertera di data KPU. Bahkan 183 orang dalam DPT yang tercatat sebagai warga Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, tak dilengkapi nomor induk kependudukan (NIK) dan alamat jelas.
Dari 20 lebih nama di sejumlah provinsi yang dicek Tempo, persoalannya tak melulu warga fiktif. Ada juga problem data diri ganda. Walhasil, muncul pemilih "gelap" sekitar 10 juta jiwa lantaran tanpa NIK dan dengan ketidakjelasan identitas. Beda tanggal lahir juga bisa menjadi penyebab. Contohnya ada pada Oom Komara, warga Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Pemilik NIK bertanggal lahir 17 April 1972 ini muncul lagi di DPT dengan data lahir 17 April 1976. Maka yang terjadi adalah beda data-beda pemilih.
Dugaan melejitnya jumlah pemilih siluman mencuat setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan DPT berisi 186,6 juta pemilih dalam negeri dan 2 juta pemilih luar negeri untuk pemilu legislatif pada 9 April 2014. Dari pemilih dalam negeri, KPU mengakui 10,4 juta di antaranya bermasalah karena identitas dan NIK tak lengkap. Protes muncul dari berbagai penjuru. Hanya dalam hitungan hari, angka pemilih bermasalah turun menjadi 7,1 juta.
Partai-partai calon peserta pemilu, terutama partai yang diperkirakan berjaya pada 2014, mengkritik keras hal di atas. Angka 10 juta setara dengan sekitar 50 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua Komisi Politik Dewan Perwakilan Rakyat Agun Gunanjar Sudarsa menyebutkan sistem manajerial KPU lemah. "KPU kurang gereget," ujar politikus Partai Golkar ini Selasa pekan lalu. "Mereka tak menjelaskan apa kendalanya dan mengapa itu terjadi."
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak kalah galak. "Data kami menunjukkan pemilih bermasalah 10,3 juta, bukan 7,1 juta," kata politikus partai Banteng, Arif Wibowo, yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi Politik DPR. Menurut dia, partainya berpeluang menang pemilu, tapi jika daftar pemilih kacau, bisa gagal menang. "Apa KPU ada maksud tertentu?" Arif bertanya dengan masygul.
Kementerian Dalam Negeri-sebagai pemasok data penduduk dan pemilih potensial berdasarkan data e-KTP dan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)-pun uring-uringan. "Kami tak tahu KPU menggunakan data apa," ucap juru bicara Kementerian, Restuardy Daud. Kementerian menuding KPU tak menggunakan produknya, yakni Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu, sebagai bahan penyusunan DPT-sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD.
Di tengah kisruh ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang semua pemimpin lembaga tinggi negara untuk membahas DPT. Dalam pertemuan di Istana Negara, Kamis pekan lalu, Ketua KPU Husni Kamil Manik dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memaparkan perihal perbaikan DPT. "Ada waktu memperbaiki sampai 4 Desember. Kami verifikasi faktual di kabupaten dan kota," ujar Husni.
Penyusunan DPT dimulai dengan penyerahan data penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri sebanyak sekitar 250 juta jiwa kepada KPU pada Desember 2012. Mengacu pada Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Kementerian lantas mengolah data dengan masukan dari KPU. Hasilnya adalah Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu atau DP4. Data ini bersumber dari e-KTP (136 juta) dan SIAK (54 juta). "Data e-KTP yang bisa dipakai baru 90 persen," kata Khatibul Umam Wiranu, Wakil Ketua Komisi Politik DPR dari Partai Demokrat, Rabu pekan lalu.
DP4 kemudian disinkronkan dengan data pemilih pada pemilu dan pemilihan kepala daerah terakhir. Dari sini muncul daftar pemilih sementara berisi 187,9 juta nama orang. KPU lantas membuka masukan dari publik dan partai politik sebelum menetapkannya menjadi daftar pemilih tetap atau DPT.
Arif menekankan bahwa ada penggunaan data pemilih dalam pemilihan kepala daerah yang seharusnya tak diutamakan. Justru DP4 semestinya menjadi bahan utama untuk menetapkan DPT. "Banyak kasus penggelembungan jumlah pemilih dalam pilkada," ujarnya.
Khatibul Umam punya pendapat sendiri. Persoalan ini, menurut dia, bermula dari pemerintah yang tak cukup baik mendata penduduk lewat program e-KTP. Sistem teknologi informasi dalam pendataan itu (SIAK) pun berbeda dengan sistem pendataan pemilih oleh KPU. "Tak terintegrasi (sehingga) tak akan bisa klop." Apalagi, ketika pemerintah menyerahkan DP4, KPU baru merekrut anggota KPU provinsi dan kabupaten.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu, Daniel Zuchron, memastikan persoalan terjadi di level prosedur dan lapangan. Data penduduk wajib dicocokkan dengan data pemilih. Muatan informasi yang minimal harus ada adalah NIK, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat pemilih. "Quality control dari pimpinan KPU rendah," kata Daniel. Anggaran pemutakhiran data sebesar Rp 3,7 triliun ternyata tak cukup untuk menyokong kerja di lapangan.
Komisioner KPU, Hadar Navis Gumay, tak membantah kelemahan kerja personelnya di seantero wilayah Indonesia yang amat luas. Keteledoran petugas pengunggah sistem pendataan pemilih online membikin NIK semakin kacau. "Karena beda sistem dengan SIAK," ujarnya.
Hadar menyayangkan partai-partai politik yang tak menyokong data riil dalam penyisiran pemilih. Ia menilai mereka mengkritik KPU tanpa mengulurkan bantuan. Padahal KPU sudah menyerahkan seluruh data sampai ke tingkat tempat pemungutan suara. "Tak ada DPR di negara lain yang disuguhi data seperti itu," katanya. Toh, dia mengakui tak semua partai berdiam diri. Menurut dia, PDI Perjuangan memberikan data riil, "Tapi itu di saat-saat akhir."
Sang komisioner menegaskan, lembaga yang dipimpinnya masih menantikan masukan untuk perbaikan DPT sampai 24 November. Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum akan mengolah lalu memfinalkan DPT pada 4 Desember. Hadar mengingatkan, tugas KPU adalah memastikan rakyat Indonesia bisa memilih. "Bukan untuk memberikan NIK," katanya.
Walhasil, bagi mereka yang belum masuk DPT karena soal-soal administratif, akan disiapkan surat suara tambahan sebanyak dua persen dari jumlah pemilih dalam DPT. Pertanyaannya, apakah semua kekurangan ini dapat dibereskan sebelum tenggat.
Jobpie Sugiharto, Amri Mahbub, Wayan Agus, Fransisco Rosarians (Jakarta), Yohanes Seo (Kupang), Rofiqi Hasan (Bali), Indra O.Y. (Makassar), Ahmad Fikri (Bandung), Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)
Suara yang Bermasalah
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Kawasan Sunda Kecil
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Maluku dan Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo