Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pocong pun Bisa Memilih

Verifikasi data pemilih tersandung banyak kesulitan. Sistem komputerisasi malah membuat survei lapangan menjadi lama.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Pocong. Tinggal di Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Singkawang, Kalimantan Barat. Usianya 61 tahun. Dalam daftar pemilih tetap yang dilansir Komisi Pemilihan Umum Kota Singkawang, laki-laki yang sehari-hari menyadap getah karet itu tertera sebagai penduduk yang punya hak suara dalam Pemilihan Umum 2014.

KPU Kota Singkawang membentuk tim verifikasi untuk mengecek kebenaran nama itu pada akhir Oktober lalu. Dia tinggal sendiri di bukit, tujuh kilometer dari pusat desa. Dan Pocong benar ada di sana. "Ini nyata, kakinya menapak di tanah," kata Ramdan, Ketua KPU Kota Singkawang, pekan lalu.

Tapi nama Pocong dihapus ketika data pemilih tetap disetorkan ke KPU Pusat di Jakarta. "Kami pikir nama palsu," ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik. Ramdan buru-buru mengirim kartu tanda penduduk dan foto Pocong: dia berpose di depan rumahnya bersama Subroto, ketua RT setempat, dan Erwin Irawan, Ketua Divisi Sosialisasi KPU Singkawang. Setelah muncul protes, Pocong kembali ke daftar semula.

Pocong berasal dari Rantau di Kabupaten Bengkayang. Di kampungnya, orang-orangnya diberi nama aneh. Paler dan Entet—nama kelamin manusia—bisa menjadi nama orang. Pocong bermarga Chai dan hanya bisa berbahasa Hakka, bahasa orang Tionghoa di Singkawang. "Pocong sudah mencoblos sejak 2004," kata Ramdan.

Ahwal di atas mencerminkan peliknya verifikasi data pemilih. Petugas pendata harus mengecek setiap pemilih hingga ke rumah sesuai dengan nomor induk kependudukan di KTP. Meski penetapannya sudah diundurkan dari 23 Oktober ke 4 November 2013, data pemilih masih kacau. Ada 10 juta lebih pemilih yang diragukan kesahihannya karena nama ganda atau meninggal, dan banyak penduduk belum terdata.

Kerepotan itu terjadi di tingkat pendata di lapangan. Komisi pemilihan di kecamatan mengerahkan pengurus rukun warga untuk mengecek nama-nama pemilih sementara yang harus diverifikasi. Di Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, misalnya, para pendata adalah orang tua pengurus rukun tetangga yang tak gesit lagi. Mereka harus mengecek penduduk hingga mengetuk pintu rumah.

Jazuli Ervani, Ketua RW V, misalnya, harus memverifikasi 300 orang di empat RT. "Untuk orang seperti saya, jumlah ini banyak sekali," ujar laki-laki 73 tahun itu. Ia harus mendatangi rumah penduduk dan memastikan mereka tinggal di alamat yang tercatat. Sebulan mendata, Jazuli menemukan banyak penduduk yang sudah pindah, meninggal, atau tak diketahui lagi keberadaannya.

Belum lagi penduduk yang buta huruf. Jazuli dan ketua-ketua RT di Panembahan, yang mendapat upah lelah Rp 400 ribu, mesti membacakan dan mengisi formulir pendataan untuk warga yang tak bisa menulis. "Bisa setengah jam untuk satu orang," kata Cahyo Suwanto, 58 tahun, Ketua RT 14. Mereka tak segan mencoret penduduk yang tak lagi tinggal di Panem­bahan.

Namun pengurus komisi pemilihan kecamatan menganggap tindakan Jazuli salah. Mereka memasukkan kembali nama-nama itu dengan alasan masih tercatat dalam kartu keluarga dan tak ada keterangan pindah. "Pemilu sebelumnya saja mereka sudah tak nyoblos," ujar Jazuli masygul.

Di desa yang jumlah penduduknya ribuan, kerepotan kian menjadi. Di Batukarut, Kecamatan Arjasari, Bandung, petugas pendata hanya sanggup mengecek sepuluh penduduk setiap hari. Di desa yang pemilihnya berjumlah 7.741 ini, masalahnya lebih pelik karena banyak nama dan tanggal lahir di daftar pemilih berbeda dengan yang tertera di KTP. Belum lagi nomor kependudukan tak valid meski orangnya tinggal di sana.

Setelah data dicek silang pun belum tentu mulus karena mesti dicocokkan lagi dengan sistem data pemilih yang memakai komputer. "Panitia sudah tiga kali mengecek masih tak sesuai juga," kata Ketua Pemilihan Kecamatan Arjasari Aep Supriadi. "Bikin pusing." Ia dan para petugas, kata Aep, tak terlalu paham sistem operasi data itu sehingga pendataan menjadi lama.

Bagja Hidayat, Aseanty Pahlevi (Singkawang), Pribadi Wicaksono (Yogyakarta), Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus