Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Para Penjual Kematian

Senjata dari Cipacing tak hanya dipakai teroris, tapi juga dibeli aparat. Dari pistol rakitan hingga senapan impor.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBARI membetulkan leher kausnya yang sudah kendur, Iqbal Khusaeni memulai cerita penangkapan dirinya pada 20 Agustus lalu. Ia diringkus Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI di rumahnya di Cipayung, Jakarta Timur. Tuduhannya menembak Ajun Inspektur Satu Kushendratna dan Brigadir Kepala Ahmad Maulana hingga tewas di Pondok Aren, Tangerang Selatan, tiga hari sebelum penangkapan. "Saya diminta mengakui karena sketsa wajah tersangka mirip saya," kata Iqbal.

Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke Tempo. "Memang mirip, ya?" Ditemui di penjara Kepolisian Daerah Metro Jaya pada awal Oktober lalu, Iqbal mengatakan sedang menyetir mobil dari Lampung ke Jakarta ketika penembakan di Pondok Aren terjadi. Punya alibi kuat, Iqbal batal dijerat dengan pasal menebar teror. Namun ia tak bisa mengelak dari tuduhan lain: menyimpan senjata api ilegal.

Di rumahnya di Cipayung, polisi tidak hanya menemukan dua airsoft gun dan 100 butir peluru, tapi juga mendapati sebuah Walther PPK 765 serta satu Baikal Makarov kaliber 32. Kedua pistol lancung itu dibeli Iqbal dari seseorang bernama Ikik di Cipacing, Sumedang, Jawa Barat. "Senjata Cipacing bagus-bagus," ujar Iqbal, yang memiliki nama samaran Rambo alias Ramli.

Cipacing tersohor sebagai sentra senjata rakitan. Sugeng Suprianto, pemilik toko senapan angin Pipik Air Rifle di sana, bercerita. Cipacing sudah memproduksi senjata rakitan sejak zaman Belanda. Pada 1950-an, pemerintah melarang senjata api beredar di masyarakat. Perakit senjata di Cipacing kemudian beralih jadi pembuat senapan angin, hingga sekarang. Namun senjata api rakitan tetap bisa dipesan lewat jalur belakang.

Ikik yang dimaksud Iqbal tadi adalah Atep Sofyan alias Kiki Sofyansyah. Ia ditangkap pada akhir 2010 karena kedapatan menjual dua pistol FN rakitan kaliber 9 milimeter. Menurut polisi, selain menjual senjata, Ikik pernah berlatih menggunakan senjata api di Gunung Haruman, Garut, Jawa Barat, bersama kelompok Negara Islam Indonesia wilayah Cipacing.

Salah seorang pelatihnya Cucu Suryaman alias Apih. Dia Ketua Paguyuban Perajin Senjata Cipacing. Cucu ditangkap pada 15 September lalu di rumah mertuanya di Bandung. Menurut polisi, dia adalah pemasok senjata bagi kelompok Mujahidin Indonesia Barat, jaringan yang dipimpin Amat Untung Hidayat alias Abu Roban. Pria ini tewas ditembak polisi dalam penyergapan di Batang, Jawa Tengah, pada Mei lalu.

Kelompok itulah yang diidentifikasi sebagai penembak polisi belakangan ini, termasuk di Pondok Aren dan di Cirendeu, Tangerang Selatan, pada Agustus lalu, yang menewaskan Ajun Inspektur Satu Dwiyatno. Eksekutornya diduga Nurul Haq alias Jeck dan Hendi Albar, yang kini buron. "Mereka sedang kami ikuti," kata Kepala Polri Jenderal Sutarman, Selasa pekan lalu.

Senjata dari Cucu Suryaman tak langsung diterima Nurul Haq dan Hendi. Ketika diperiksa polisi, Cucu mengaku menjual sebelas pucuk senjata kepada William Maksum alias Alan, anggota kelompok Abu Roban yang ditangkap di Bandung pada Mei lalu. Senjata itu terdiri atas tujuh FN rakitan, tiga revolver rakitan, dan sebuah senjata laras panjang asli jenis US Karaben.

FN dan revolver rakitan dijual Cucu kepada William dengan harga Rp 3,5 juta. Sedangkan US Karaben asli buatan Amerika dibanderol Rp 42 juta. Cucu bukan perakit senjata, melainkan makelar. Ia memperoleh senjata dari Cipacing, antara lain dari Kurnia Ayong—yang juga sudah ditangkap pada September lalu. Dari pembuatnya, FN dan revolver rakitan dibeli Rp 1,6-2,2 juta. Adapun US Karaben bisa diperoleh dengan harga Rp 15-20 juta.

Cucu tak hanya menjual senjata kepada kelompok Abu Roban. Ia juga melego tujuh beceng rakitan—empat FN dan tiga revolver—kepada Hendrik, yang mengaku sebagai anggota TNI Angkatan Darat yang bertugas di Lahat, Sumatera Selatan. Setiap pucuk senjata dihargai Rp 3 juta. Seorang tentara yang mengaku bernama Jo Pahmi dari Cimahi, Jawa Barat, membeli tujuh FN dan tiga revolver, yang juga rakitan, dengan harga Rp 2,6 juta.

Seorang pria bernama Tijar, yang mengklaim sebagai polisi di Palembang, membeli dua FN dan dua revolver dengan harga Rp 3 juta per pucuk. Dua lelaki bernama Yudi dan Yona juga membeli enam FN dan sebuah revolver dari Cucu. Senjata dari Cucu memuaskan pembeli. Sebelum ditukar dengan uang, senjata itu dijajal Cucu dan calon pembelinya di Gunung Haruman, Garut. Tak aneh, Hendrik, tentara dari Lahat, kembali memesan dua pucuk FN.

Pedagang senjata made in Cipacing yang lain adalah Phiong King Lay alias Kim Lay. Ia punya toko senapan angin di Pasar Baru, Jakarta. Kim Lay ditangkap pada 26 Agustus lalu di tokonya. Polisi menuduhnya menjual senjata api kepada Iqbal Khusaeni alias Ramli. Mereka berdua kini satu sel di penjara Polda Metro Jaya.

Menurut polisi, Kim Lay memperoleh senjata itu antara lain dari Asep Barkah, perajin di Cipacing. Senjata itu berasal dari airsoft gun yang dimodifikasi. Setelah dirakit Asep, senjata dijual Kim Lay kepada Iqbal Khusaeni. Dari perajin lain, Kim Lay mendapat pasokan pistol Makarov dan Walther. Kedua senjata lancung ini pun disalurkan kepada Iqbal.

Ketika ditemui di penjara pada awal Oktober lalu, Kim Lay menyangkal menjual senjata kepada Iqbal. Versi Kim Lay, polisi hanya menyangkanya memiliki empat senjata api ilegal. Senjata itu ditemukan di loteng rumah Kim Lay di Cipacing. Padahal, kata Kim Lay, rumah itu sudah dua tahun tak ia kunjungi. Sehari-hari ia tinggal di Kelapa Gading, Jakarta. "Mau dijual, tapi enggak laku-laku," ujarnya.

Polisi memang tak menemukan senjata dari Kim Lay di rumah Iqbal di Cipayung pada penggerebekan Agustus lalu. Ada tujuh senjata yang dijual Kim Lay kepada Iqbal. Menurut polisi, senjata itu telah dijajakan lagi oleh Iqbal kepada sejumlah orang, termasuk anak buah Abu Roban bernama Hasan Ansori alias Agus Martin, yang ditangkap di Lamongan, Jawa Timur, akhir Agustus lalu.

Kepada Agus Martin, Iqbal menjual empat senjata senilai Rp 20 juta. Harga senjata ia pukul rata Rp 5 juta per pucuk. Ditambah dari pemasok selain Kim Lay, polisi menuduh Iqbal menjual 16 pucuk senjata. Pembelinya yang lain—setelah Agus Martin—adalah Kriswahyudi, yang ditangkap di Bekasi pada akhir Agustus lalu. Ia berbelanja dua senjata.

Iqbal mengatakan tak mengetahui pembelinya teroris. Menurut Iqbal, ia berjualan senjata hanya untuk menyambung hidup. Pembelinya pun masyarakat umum. "Buat apa mereka membeli bukan urusan saya," katanya. Ia menggambarkan dirinya sebagai pengecer senjata. "Saya beli dari pemasok besar di Cipacing, lalu saya jual lagi."

Karena itu, Iqbal menjual senjata kepada siapa saja yang berani menawar tak kurang dari Rp 5 juta sepucuk. Salah seorang pembeli memperkenalkan diri bernama Eka, personel intelijen Komando Daerah Militer Pattimura di Ambon. Eka merogoh Rp 15 juta untuk memborong tiga pistol. Alasan dia membeli pistol sungguh keterlaluan. Ia bermaksud melapor kepada atasannya bahwa ia telah menemukan senjata milik teroris.

Kini, di dalam sel, Iqbal tetap tampak kalem—meski hukuman menantinya. Ia mengatakan sudah tahu risiko dalam bisnis ini. "Kalau enggak mati dibunuh, ya, dipenjara."

Anton Septian, Setri Yasra, Tri Artining Putri


Perajin Senjata di Kaki Gunung

DI bengkel 4 x 4 meter di belakang rumahnya, Dedi Sudjana membolak-balik besi bulat berlubang. Matanya memicing memeriksa alur dalam lubang itu. Laki-laki 57 tahun itu lalu memukul besi dengan palu di lantai, memeriksa lubang, memukulnya lagi. "Ini laras senapan, jadi harus lurus betul lubangnya," kata warga Cipa­cing, Sumedang, Jawa Barat, itu pertengahan September lalu.

Di bengkel Dedi itu ada tiga mesin bor untuk membuat lubang-lubang besi bulat. Dibantu empat pekerja, Dedi menghasilkan sepuluh laras senapan angin berukuran 30-50 sentimeter dalam sehari. Ia mewarisi usaha itu dari ayahnya, yang sudah meninggal. Laras-laras itu kemudian dijual ke perajin senapan di Cipacing.

Usaha rumahan membuat senapan di kaki Gunung Manglayang sudah bukan rahasia. Di hampir semua rumah, ada perajin senapan angin. Dedi Sudjana satu-satunya perajin yang membuat laras—yang lainnya membuat popor berbahan kayu. Salah satu perajin besar yang menampung onderdil senapan di Cipacing adalah Dedi Hambali.

Ketua Rukun Warga III Cipacing itu menjadi perajin senapan sejak pindah ke desa ini setahun lalu. Di bengkelnya yang hanya 3 x 2 meter, satu senapan utuh siap pakai bisa dia selesaikan dalam tiga hari. Senapan-senapan itu kemudian ia jual secara eceran ke toko-toko di Sumedang atau Bandung. Harganya mulai Rp 150 ribu hingga Rp 2 juta. "Tergantung bentuk senapannya," ujarnya.

Seperti Dedi Sudjana, perajin senapan di Cipacing umumnya memperoleh keahlian secara turun-temurun. Mereka bergabung dalam Koperasi Bina Karya yang dipimpin Idih Suhaedi. Laki-laki 70 tahun ini juga punya bengkel senapan. Pada 1959, ayahnya memasok senapan ke PT Pindad yang masih bernama Pabrik Senjata dan Mesiu di Bandung.

Kerja sama dengan Pindad itu, menurut Idih, mendorong tumbuhnya perajin senapan di Cipacing. Sampai 1980 setidaknya ada 29 bengkel yang memasok senjata atau onderdil senapan ke PT Pindad. Bahkan mereka pernah memasok pistol door lock yang bisa memuntahkan beberapa peluru sekali tembak.

Selain menerima pasokan onderdil senapan, PT Pindad memberikan modal kepada perajin rumahan itu untuk membeli bahan baku. "Ada juga pelatihan manajemen industri rumahan," kata Tuning Rudyati, juru bicara Pindad. Kerja sama itu berakhir pada 1980, ketika pemerintah Orde Baru membuat Operasi Sapu Jagat dengan melarang masyarakat membuat senjata api.

Larangan pemerintah tak menyurutkan usaha perajin senapan Cipacing. Meski tak lagi memasok ke Pindad, mereka tetap membuat senapan untuk dijual ke toko-toko. Jumlahnya juga makin banyak. Kini perajin yang berhimpun dalam Koperasi Bina Karya mencapai 149 bengkel. "Jenis senapan juga makin variatif," ujar Idih.

Sebelumnya hanya senapan angin, senjata made in Cipa­cing kini merambah senjata berkokang pompa, per, hingga gas. Konsumennya juga merambah hingga luar Jawa, seperti Sumatera, bahkan sampai ke Papua.

Geliat industri senapan itu sempat mandek ketika polisi mencokok sejumlah warga Cipacing karena dugaan memasok senjata ke teroris pada awal September lalu. Menurut Idih, mandeknya bisnis ini sama dengan ketika perajin senapan berhenti membuat senjata saat krisis ekonomi 1998. Harga besi yang mahal dan penjualan seret membuat perajin menghentikan produksi.

Salah satu warga Cipacing adalah Cucu Suryaman. Laki-laki 39 tahun itu dibekuk di rumahnya di RT 02 RW 03 karena dituduh memberikan senjata untuk teroris yang menembak polisi di Jakarta dan Tangerang. Cucu kini ditahan di penjara Markas Kepolisian Daerah Jakarta.

Menurut Dedi Hambali, para perajin sudah biasa membuat senjata dan akrab dengan cara kerja mesiu sehingga pasti bisa membuat pistol juga. Setelah penangkapan Cucu mereda dari pemberitaan, kata dia, beberapa perajin mulai membuat onderdil senapan lagi.

Rusman Paraqbueq, Tri Artining Putri (Jakarta), Persiana Galih (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus