Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
ANGGOTA Komisi III DPR Rudianto Lallo mengatakan komisi yang membidangi penegakan hukum itu berfokus membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP pada masa persidangan ketiga 2024-2025. Komisinya akan menyerap aspirasi dari berbagai pihak karena RUU tersebut sangat urgen untuk tuntas pada tahun ini.
Politikus Partai NasDem itu menuturkan RUU KUHAP harus tuntas pada 2025 untuk mengejar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mulai diberlakukan pada 2 Januari 2026.
Dia mengatakan UU KUHAP yang masih berlaku sudah ada sejak 1981. Selama itu, sudah banyak norma KUHAP yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung. “Sehingga penting RUU KUHAP tahun ini selesai supaya bisa jadi partner beriringan dengan KUHP,” kata dia saat dihubungi di Jakarta pada Selasa, 22 April 2025, seperti dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyebutkan tidak banyak perubahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparat penegak hukum (APH) dalam RUU KUHAP. Dia menyebutkan, berdasarkan draf yang diterima dari DPR, RUU KUHAP lebih banyak mengatur soal hak-hak tersangka dan pengaturan keadilan restoratif.
“Kalau saya lihat, ya, dari draf yang dari DPR terkait KUHAP itu lebih banyak terkait dengan perlindungan kepada orang yang diduga melakukan (tindak pidana). Dalam hal, ini adalah tersangka,” ujarnya di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa, 15 April 2025.
Dia pun menyebutkan RUU KUHAP didominasi pengaturan yang menyangkut soal perlindungan hak asasi manusia (HAM). Pihaknya sedang menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU itu.
Lantas, apa saja poin-poin penting usulan dalam revisi KUHAP tersebut?
Kasus Penghinaan Presiden Bisa Diselesaikan Lewat Restorative Justice
DPR menyepakati perkara penghinaan terhadap presiden dapat diselesaikan melalui restorative justice atau keadilan restoratif dalam RUU KUHAP. Ketentuan itu adalah perbaikan terhadap Pasal 77 UU KUHAP yang berlaku saat ini.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, dalam draf RUU KUHAP, DPR mencantumkan penghinaan terhadap presiden sebagai pengecualian perkara yang dapat diproses secara Keadilan restoratif. “Ada kesalahan redaksi dari draf yang kami publikasikan di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.
Politikus Partai Gerindra itu menyebutkan seluruh fraksi sepakat perkara penghinaan presiden menjadi pasal yang paling penting harus diselesaikan dengan keadilan restoratif. “Dapat dipastikan hal tersebut tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan,” tuturnya.
Adapun Anggota Komisi III DPR Bimantoro Wiyono menyebutkan pentingnya pendekatan keadilan restoratif dalam RUU KUHAP. Dia juga menuturkan pendekatan keadilan restoratif perlu menjadi bagian integral dari RUU KUHAP untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih manusiawi dan solutif.
“Restorative justice adalah bentuk keadilan yang memulihkan. Ia tidak hanya memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan pemulihan, tetapi juga mendorong pelaku bertanggung jawab secara konstruktif. Ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum acara pidana yang sedang kami dorong di DPR,” kata politikus Partai Gerindra itu di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.
Dia menuturkan langkah mengedepankan pendekatan keadilan restoratif juga penting untuk mengatasi persoalan kapasitas berlebih di lembaga pemasyarakatan sekaligus mencegah kriminalisasi terhadap masyarakat yang seharusnya dapat diselesaikan di luar proses peradilan formal.
Advokat Tidak Dapat Dituntut Saat Membela Klien
Seluruh fraksi Komisi III DPR setuju draf RUU KUHAP mengatur advokat tidak dapat dituntut saat membela kliennya. Aturan itu diusulkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Juniver Girsang dalam rapat dengar pendapat di kompleks parlemen, Senin, 24 Maret 2025.
Juniver awalnya membahas Pasal 140 yang menyatakan advokat menjalankan tugas dan fungsi membela dan mendampingi orang yang menjalani proses peradilan pidana baik dalam pemeriksaan maupun di luar pemeriksaan sesuai dengan etika profesi yang berlaku.
Kemudian, dia mengusulkan agar ditambah satu ayat dalam pasal tersebut yang menyebutkan advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya dengan iktikad baik kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Ayat itu, kata dia, penting dimasukkan ke dalam KUHAP karena ada banyak advokat yang dikriminalisasi. “Kalau ada yang mengatakan (aturan ini) ada di UU Advokat, faktanya advokat sekarang banyak yang dituntut, diminta pertanggungjawaban pada saat dia melakukan pembelaan profesi,” kata Juniver.
Merespons usulan itu, Habiburokhman langsung meminta persetujuan dari para fraksi yang hadir. “Pak Juniver, ini semua fraksi hadir. Saya pikir kita semua sepakat ketentuan yang ini. Bisa disepakati nggak kawan-kawan? Sepakat ya,” kata dia.
Dalam kesimpulan rapat, dicantumkan penjelasan istilah “iktikad baik” dari aturan tersebut, yaitu sikap dan perilaku profesional yang ditunjukkan advokat dalam menjalankan tugas pembelaan dan pendampingan hukum dengan kejujuran dan integritas yang dinilai berdasarkan kode etik profesi advokat.
Kejaksaan Tetap Berwenang Menyidik Tindak Pidana Korupsi
Habiburokhman menegaskan kejaksaan tetap berwenang menyidik tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RUU KUHAP. “Jadi kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tipikor menurut KUHAP yang baru,” kata dia dalam konferensi pers usai rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama sejumlah pakar di kompleks parlemen, Senin, 24 Maret 2025.
Dia merespons informasi yang beredar di publik perihal Pasal 6 dalam draf RUU KUHAP yang menyebutkan jaksa tak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor. “Ada yang menyebutkan kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor karena Pasal 6, penjelasannya Pasal 6 itu menyebutkan bahwa yang disebutkan adalah penyidik kejaksaan di bidang pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Untuk itu, dia mengatakan kabar yang menyebutkan jaksa tak lagi memiliki wewenang melakukan penyidikan tipikor dalam RUU KUHAP tidaklah benar.
Menurut dia, pengaturan soal kewenangan institusi tidak ikut diatur dalam RUU KUHAP, termasuk kejaksaan. “Memang KUHAP ini tidak mengatur soal kewenangan institusi, jadi dia hanya memberi contoh dari apa yang sudah berlaku,” kata dia.
Mengatur Penggunaan Kamera CCTV Selama Proses Penyidikan
Sementara itu, Habiburokhman memastikan RUU KUHAP mengatur mekanisme pengawasan menggunakan kamera CCTV selama proses pemeriksaan dan penahanan oleh penyidik. Tujuannya untuk mengurangi tindakan kekerasan oleh aparat selama proses pemeriksaan tersangka atau saksi dalam perkara pidana.
Dia mengatakan ketentuan soal penggunaan kamera atau rekaman selama proses pemeriksaan ini tidak diatur dalam KUHAP yang berlaku saat ini. “Selama ini kita kerap mendapatkan laporan soal kekerasan dalam penyelidikan maupun penyidikan. Ini akan diatur. Salah satunya dengan pengadaan CCTV atau kamera pengawas dalam setiap pemeriksaan,” kata dia di kompleks parlemen, Kamis, 20 Maret 2025.
Ketentuan soal penggunaan CCTV ini, kata dia, diatur dalam Pasal 31 draf RUU KUHAP. Ayat 2 pasal tersebut menyatakan pemeriksaan dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung.
Pasal ini juga menyebutkan rekaman kamera pengawas tersebut juga bisa digunakan untuk kepentingan tersangka, terdakwa, atau penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan hakim.
Nandito Putra, Anastasya Lavenia Y, Alfitria Nefi P, Hammam Izzuddin, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Reaksi atas Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini