Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Polisi menangkap pembeli TBS yang berasal dari kebun sawit warga Desa Air Bangis.
Massa memprotes penangkapan warga hingga berujung bentrokan di lapangan.
Warga Desa Air Bangis sudah puluhan tahun berkebun sebelum kebunnya ditetapkan kawasan hutan.
ADI, 38 tahun, bergegas menuju pelataran Koperasi Hutan Rakyat (HTR) Desa Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Kamis sore lalu. Di sana, sudah ramai ratusan warga lainnya. Mereka sengaja berkumpul setelah mendengar kabar bahwa polisi sudah menangkap lima pembeli tandan buah segar (TBS) sawit, yang berasal dari kebun milik warga Air Bangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka lantas berembuk. Mereka menyimpulkan bahwa penangkapan tersebut tidak dapat diterima. Selanjutnya, warga beramai-ramai menuju kantor Kepolisian Sektor Sungai Beremas yang tak jauh dari kampung mereka. “Saat kami di Kampung Lubuk Buaya, ratusan polisi bersenjata lengkap menghalau kami,” kata Adi, Jumat, 21 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adi mengatakan massa lantas menuntut ratusan polisi yang menghalaunya membebaskan lima pembeli TBS tersebut. Namun polisi membantah telah menangkap kelimanya. Tiga dari lima warga tersebut bernama Robi Nico, Sukri, dan Masrul. Dua orang lainnya belum diketahui identitasnya.
“Mereka bilang yang menangkap personel Polda Sumatera Barat,” ujar Adi.
Namun, kata Adi, massa tak percaya begitu saja penjelasan pihak Polsek Sungai Baremas tersebut. Massa memilih bertahan hingga berganti hari. Sekitar jam setengah dua pagi, terjadi bentrokan antara massa dan personel kepolisian. Pemicu bentrokan akibat polisi menangkap seorang pengunjuk rasa dengan tuduhan sebagai provokator. “Bentrokan itu membuat tiga warga luka-luka,” kata Adi.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Barat, Komisaris Besar Dwi Sulistyawan, membantah pernyataan menangkap lima warga, melainkan hanya dua orang. Keduanya ditangkap karena diduga mengambil buah sawit di kawasan hutan lindung. “Alat bukti yang kami punya adalah mobil berisi buah sawit,” kata Dwi, kemarin.
Ia menepis tudingan bahwa kepolisian sudah mengkriminalkan warga setempat. Menurut Dwi, polisi menangkap warga yang melakukan tindak kejahatan.
Petani Nagari Air Bangis berunjuk rasa di Koperasi HTR menolak lima warga ditangkap kepolisian, 20 Juli 2023. Dok. Walhi Sumbar
Konflik agraria di Desa Air Bangis ini berawal ketika pemerintah menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu kepada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) kepada Koperasi Hutan Rakyat Air Bangis pada 2014 seluas 1.590 hektare. Izin yang didapat koperasi ini tumpang-tindih dengan perkebunan sawit masyarakat.
Sebelum menerbitkan IUPHHK-HTR kepada Koperasi Hutan Rakyat, pemerintah lebih dulu menetapkan kawasan hutan seluas 19 ribu hektare di wilayah tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat mencatat lebih dari 10 ribu hektare lahan warga masuk dalam kawasan hutan yang baru ditetapkan itu.
Sebagian lahan warga itu merupakan area perkebunan sawit. Setiap warga rata-rata memiliki 4-5 hektare kebun sawit. Sebagian kecil lagi dari area tersebut merupakan permukiman penduduk.
Warga setempat menanam sawit sejak 1980-an. Sebelum menjadi kebun sawit, warga lebih dulu bercocok tanam palawija, berkebun cokelat dan cengkeh, serta menjadi area persawahan.
Pendamping warga Desa Air Bangis, Jimmy Rianto, mengatakan, setelah Koperasi Hutan Rakyat mendapat IUPHHK-HTR, mereka lantas melarang warga menanam sawit di lahan tersebut, kecuali warga yang bersedia menjadi anggota koperasi. Selain wajib menjadi anggota koperasi, warga setempat harus menjual hasil panen ke koperasi.
Namun, kata Jimmy, menjadi masalah karena koperasi memonopoli harga sawit. “Koperasi membeli TBS dengan harga lebih murah ketimbang harga pasar,” kata Jimmy.
Warga Desa Air Bangis, Suharso, 58 tahun, mengatakan selama ini pihak koperasi memang melarang warga setempat menjual TBS ke pihak lainnya. Namun banyak petani tak mau menjual TBS ke koperasi karena harganya terlalu murah. “Perbedaannya Rp 200 per kilogram dari harga di pasar,” kata Suharso.
Meski lebih murah, kata Suharso, petani terpaksa menjualnya ke koperasi. Sebab, polisi akan menangkap warga yang menjual TBS ke pihak lain. “Terbukti kemarin lima warga ditangkap,” ujarnya.
Menurut Suharso, penetapan status kawasan hutan di area perkebunan sawit warga membuat mereka tak berani lagi ke kebun. Suharso sendiri tak lagi ke kebunnya sejak enam bulan lalu. Kebun sawit milik Suharso seluas 4 hektare. “Warga juga sebetulnya dilarang bermukim di daerah tersebut,” ujarnya.
Ketua Koperasi Hutan Rakyat Air Bengis, Widya Afdi, belum membalas konfirmasi Tempo soal ini. Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah, juga tak merespons konfirmasi Tempo.
Penangkapan Berulang
Direktur Walhi Sumatera Barat Wengki Purwanto mengatakan Kepolisian Resor Pasaman Barat pernah mengundang masyarakat untuk menghadiri “Sosialisasi Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Kawasan Hutan di Kenagarian Air Bangis” pada 17 Februari 2022. Dalam pertemuan itu, masyarakat didorong untuk menyerahkan lahan mereka ke pemerintah atau ke Koperasi HTR Air Bengis.
Hingga pertengahan tahun ini, sekitar 1.000 hektare lahan masyarakat sudah diserahkan ke pemerintah. “Prosesnya tidak luput dari ancaman hukum pidana kehutanan,” kata Wengki.
Ia melanjutkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan konflik agraria ini pada 19 Agustus 2022. Selain petani, ikut hadir Polda Sumatera Barat, Polres Pasaman Barat, Polsek Air Bangis, dan Walhi dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM menyarankan pemerintah menerapkan program perhutanan sosial untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut. Artinya, area tersebut tetap menjadi kawasan hutan, tapi pemerintah mengizinkan warga mengelolanya.
Selanjutnya, Walhi diminta melakukan inventarisasi, pemetaan lahan, dan identifikasi warga. “Intinya melakukan obyek dan subyek untuk reforma agraria,” ujar Wengki.
Namun, kata dia, pihak kepolisian justru mengingkari hasil pertemuan tersebut. Pihak kepolisian mulai menangkap warga yang memanen di kebun sawitnya di kawasan tersebut sejak Desember 2022. Polisi mengklaim warga mencuri sawit di kawasan hutan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumatera Barat, Ihsan Riswandi, mengatakan kerap terjadi tindak kriminalisasi terhadap warga setempat. Ia mencontohkan penangkapan terhadap Febrian Teguh Julianto pada Maret 2023. Polisi menangkap Teguh karena membeli sawit masyarakat yang berasal dari Kampung Jorong Pigogah Patibubur. Polisi juga menangkap tiga orang lainnya dengan tuduhan mengangkut, membeli, atau memasarkan hasil kebun sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo