MEREKA sering dituding sebagai perusak keindahan, membuat kota kotor, dan lalu lintas semrawut. Mereka menyebar di mana-mana sebagai tukang becak, pedagang kaki lima, pemburuh, perajin, dan berpuluh pekerjaan lainnya. Mereka itulah yang disebut pekerja sektor informal, yang sering digebah petugas kamtib karena dianggap merusakkan ketertiban. Pokoknya, mereka -- terutama pedagang kaki lima dan tukang becak -- sering dituding sebagai "parasit", sehingga layak dicampakkan. Karena itu, menarik sekali ketika dalam bahan-bahan mengenai GBHN yang disampaikan Presiden Soeharto pada sidang DPR/MPR 1 Oktober yang lalu, disebutkan bahwa sektor informal termasuk bidang yang diarahkan untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Secara jelas ditegaskan, "Sektor informal -- selain industri kecil, industri kerajinan, dan industri tradisional -- akan terus dibina, antara lain dengan pemberian bimbingan teknis dan kepengus aan, peningkatan permodalan dan perkreditan, serta pemasaran hasil produksi." Dalam kaitan itu peranan koperasi akan ditingkatkan. Bila di bulan Maret tahun depan bahan-bahan yang diserahkan Presiden itu diterima dalam GBHN, berarti inilah pertama kali sektor informal dicantumkan dalam GBHN, yang akan menjadi pedoman arah pembangunan lima tahun mendatang. "Karenanya, penggusuran macam-macam yang tidak penting agak dikurangi. Orang-orang di sektor informal itu memangnya mau kerja di mana?" kata Akbar Tanjung, Wakil Sekjen DPP Golkar. Selama ini kisah di sektor itu cukup ramai sekaligus acap kali mengharukan. Becak, misalnya, dijadikan musuh di berbagai kota besar dengan alasan yang terkadang dipoles halus. Pemda DKI, misalnya, melarang becak beroperasi di Jakarta sejak 1 April 1985, karena, menurut Gubernur Soeprapto, sebagai sarana angkutan umum, becak "kurang manusiawi" dan tak sesuai lagi dengan kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara. Becak pun dirazia. Yang tertangkap nasibnya tragis: dibuang ke laut, di sekitar Kepulauan Seribu. Padahal, diperkirakan jumlah tukang becak di Jakarta saja pernah mencapai + 200 ribu. Di Bandung, terjadilah sebuah drama yang cepat dilupakan. Seorang tukang becak bernama Sukardal begitu putus asa setelah becaknya disita oleh Tibum (ketertiban umum) Kota Madya, Juli tahun lalu. Akhirnya dia gantung diri. Di Medan, seorang wanita pedagang kaki lima di Sentral Pasar tewas terseret truk petugas ketertiban kota, 1978. Wanita itu berusaha mempertahankan buah-buahan dagangannya yang disita petugas. Meski sering dianggap parah, sebenarnya tenaga kerja yang terlibat di sektor informal amat besar. Soetjipto Wirosardjono, Wakil Ketua Biro Pusat Statistik (BPS), pernah menaksir bahwa 30% angkatan kerja nasional (yang menurut survei penduduk antarsensus, Supas, 1985, berjumlah 63,8 juta) berkecimpung di sektor informal. Menaker Sudomo berpendapat, jumlah itu 40-50%. Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Linkunan, Unpad. Hidayat, membuat proyeksi jumlah pekerja di sektor informal pada 1987 sekitar 42,2 juta. Kalau proyeksi itu tepat, berarti jumlah tenaga yang ditampung di sektor informal sekitar 66% dari angkatan kerja. Bila dilihat dari aspek peuyediaan lapangan kerja, peranan sektor informal itu amat mengagumkan. BPS memproyeksikan, selama Pelita IV ini (1984-1989) akan masuk 9,3 juta tenaga kerja baru ke pasaran kerja. Padahal, dengan target pertumbuhan selama Pelita IV yang 5% per tahun, hanya akan tertampung 6,1 juta tenaga kerja. Ke mana sisanya yang berjumlah tiga jutaan itu mencari kerja? Belum dihitung tenaga kerja yang tidak tertampung sebelumnya. Apalagi kalau dilihat, karena -- antara lain -- anjloknya harga minyak bumi, target pertumbuhan yang 5% itu tak mungkin dicapai. Artinya, kemampuan menyerap tenaga kerja tentulah di bawah angka di atas. Keadaan itu akan terasa lebih serius bila dipersoalkan pula tenaga setengah menganggur. Pada 1983, diperhitungkan bahwa jumlahnya ada 16 juta atau 25% dari angkatan kerja. Yang menarik: sebagian besar penganggur atau setengah penganggur itu adalah anak-anak muda. Ini disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi, 2,15% per tahun. Pada 1980 diperkirakan sekitar 40,3% dari jumlah penduduk adalah anak-anak di bawah umur 14 tahun. Menyempitnya lapangan kerja bisa dilihat dari berjubelnya anak-anak muda di berbagai kantor yang membuka celah lowongan kerja. Sedikitnya 15 orang pingsan ketika ribuan pencari kerja berdesakan untuk mengambil formulir calon pegawai administrasi di lingkungan UGM Yogyakarta, 3 September yang lalu. Lowongan yang tersedia hanya untuk 200an calon. Padahal, pada hari itu saja sekitar 5.000 pencari kerja berdesakan berebut formulir. Fenomena membanjirnya angkatan kerja muda yang pendidikannya relatif lebih baik itu tampaknya akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang. Arus urbanisasi juga akan makin mendorong mereka membanjiri dan menyesakkan kota-kota. Lahan yang menyempit, ditambah laju pembangunan, pasti akan menambah sengketa pertanahan. Bisa diduga, inilah persoalan-persoalan yang akan mencengkam Indonesia di tahun-tahun mendatang. Memang, masalah yang harus kita hadapi nanti bukanlah konflik politik atau ideologi. Masalah-masalah masa depan kita adalah yang berkaitan dengan sosial ekonomi: pemerataan, keadilan, kekebasan. Meski konflik itu nantinya dikemas dalam "kerangka Pancasila", tidaklah berarti tidak akan ada letupan-letupan. Berbagai kasus yang menyangkut pertanahan, soal "pemaksaan" penanaman tebu TRI di Jawa Timur, misalnya, menunjukkan bahwa percikan itu bisa gampang tersulut. Catatan bahwa ada sekitar seratus kasus tanah yang dilaporkan langsung oleh rakyat ke DPR Pusat tahun lalu mencerminkan besarnya potensi konflik tersebut. Peningkatan taraf hidup sebagai buah pembangunan membawa konsekuensi meningkatnya pula tuntutan akan kebutuhan. Kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, "Jika sekarang kau kenyang, permintaanmu akan meningkat. Yang muncul bukan lagi bagaimana sekarang bisa lebih baik dari kemarin, tapi apakah besok ada pekerjaan dan pendidikan buat saya." Manusia memang tidak akan puas hanya dengan makan cukup saja. Semakin tinggi pendidikan dan kesadarannya, tuntutannya akan pula semakin meningkat. Kita memang hidup dalam zaman dengan tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat. Lebih lagi, di Indonesia, bagian terbesar dari "penuntut" ini adalah anak-anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba, yang tak pernah mengecap kepahitan hidup di zaman sebelumnya. Mereka juga punya dinamika sendiri. Mereka lebih spontan, lebih terbuka. Menurut Akbar Tanjung, yang terpantau sepanjang kampanye pemilu yang lalu, tuntutan anak-anak muda itu bukan sekadar pendidikan dan lapangan kerja, atau hal-hal yang bisa digolongkan bersifat materiil, tapi juga yang nonmateriil. "Misalnya soal kebebasan," ujarnya. Tuntutan yang wajar. Anak-anak muda itu setidaknya belum terlibat dalam pergulatan hidup, pemikiran mereka masih murni dan idealistis. "Sehingga, mereka tidak tahan setiap kali mendengar atau membaca terjadinya penyelewengan, korupsi, komersialisasi jabatan, kesenjangan dan ketimpangan dalam jumlah-jumlah yang sangat besar," kata Kwik Kian Gie, anggota Badan Pekerja MPR dari PDI. Kwik tak terlalu khawatir, karena menurut dia lembaga sospol yang ada mampu menampung aspirasi anak-anak muda. "Caranya, ajak mereka berdialog, tapi bukan dengan sloganisme, eufimisme, atau kalimat-kalimat yang indah tapi kalau dikaji sebenarnya hampa," kata Kwik. Lalu bagaimana mengatasi ini? "Ini merupakan tantangan bagi anggota DPR/MPR untuk menangkap dan menyalurkan aspirasi mereka, sehingga menjadi kekuatan yang kreatif dan dinamis," ujar Menmud Sekkab Moerdiono. Diingatkannya, dalam pidatonya di MPR 1 Oktober lalu, Presidn juga menyinggung adanya aspirasi dan dinamika yang meningkat dalam masyarakat sekarang. "Dan ini tantangan yang harus diberi jawaban." Menurut Emil Salim, adanya penekanan prioritas dalam GBHN yang menggeser pada pembangunan keadilan sosial menunjukkan adanya suatu komitmen politik pemerintah. "Nah, persoalannya bagaimana kita menerjemahkannya dalam rencana pelaksanaan dan pedoman Repelita V," ujarnya. Sedang Alfian melihat, keinginan-keinginan yang semakin meningkat dari generasi muda akan menjurus ke arah tuntutan untuk diberikannya kelonggaran politik, kesempatan menyuarakan pikiran, dan kesempatan berbicara lebih besar. "Masyarakat akan menginginkan agar keterbukaan lebih dilonggarkan. Di samping itu, mereka juga akan meminta kontrol sosial yang lebih besar," katanya. Dua bidang yang menurut Alfian akan dituntut agar ditinjau kembali adalah kebebasan berbicara di kampus dan prinsip massa mengambang. "Untuk itu, tampaknya perlu peninjauan kembali sejumlah aturan untuk mengurangi konflik serta diadakannya dialog-dialog yang lebih banyak," kata Alfian. Dialog memang bisa membantu mencari jalan keluar. Pada akhirnya, semua tantangan toh memerlukan jawaban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini