HAMPIR seribu anggota MPR baru telah dilantik, tapi bisik-bisik itu masih juga tcrtinggal: bolehkah Ketua Mahkamah Agung (MA) Ali Said melantik dan menyumpah mereka, padahal Ali Said sendiri juga anggota MPR? Selaku Ketua MA, Ali Said berkewajiban melantik dan menyumpah anggota MPR, sebaliknya sebagai anggota baru ia harus dilantik. Tentu saja Ali Said tidak bisa melantik dan menyumpah dirinya sendiri. Sebab itu, setelah menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Ali Said memutuskan: ketika melaksanakan tugas sebagai Ketua MA, ia tidak hadir sebagai anggota MPR. Kemudian ia akan dilantik sebagai anggota oleh Ketua MPR, yang 1 Oktober lalu telah dia lantik. "Ini yang pertama kali terjadi, mudah-mudahan bisa jadi preseden yang baik," ujar Ali Said. Ali Said mengaku tidak terkejut dengan pengangkatannya selaku anggota lembaga tertinggi negara itu. "Saya tidak terkejut, hanya tertawa. Aduh, sampai jauh benar dagelan ini," kata Ali Said kepada wartawan. Menurut Ali Said, sebagai seorang hakim -- apalagi Ketua MA -- ia tidak mungkin menjadi anggota MPR, tapi secara pribadi bisa. "Sebagai hakim bertentangan dengan undang-undang, sebagai anggota Kopri tidak," ujarnya. Ali Said, yang kini berusia 61 tahun dan menurut undang-undang MA masih bisa menjabat sampai empat tahun lagi, tidak keberatan jabatan barunya itu diartikan sebagai pertanda ia akan segera meninggalkan MA. "Kalau itu mau dibaca sebagai pertanda, tidak ada larangan," ujar tokoh langsing yang pernah juga menjabat jaksa agung dan menteri kehakiman ini. Buat Prof. Sri Sumantri, kejadian itu sukar dimengerti. "Apakah ketika Ali Said menjadi anggota MPR, kedudukannya sebagai Ketua MA ditinggalkannya di kursinya?" tanya guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, itu. Sri Sumantri membenarkan, dalam UUD 45 tidak diatur ketentuan jabatan rangkap semacam itu. Sebab, UUD 45 itu memang sangat singkat. Tapi ia tetap berpendapat seorang Ketua MA tidak boleh merangkap menjadi anggota MPR. "Seharusnya Ali Said itu tidak diangkat menjadi anggota MPR. Kalaupun ia harus diangkat, ia harus melepaskan diri dari Mahkamah Agung," katanya. Benarkah pendapat itu? Berbeda dengan UUD RIS (Republik Indonesia Serikat 1949-1950) dan UUD Sementara (1950-1959) -- keduanya melarang secara tegas hakim agung termasuk ketuanya menjadi anggota parlemen -- UUD 45 tidak mengatur soal itu secara terinci. Pasal-pasal UUD 45, kendati tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, menyebutkan MA adalah badan yang melaksanakan kekuasaan peradilan, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Penjabarannya diserahkan ke undang-undang. Tapi Undang-Undang MA 1985, misalnya, hanya menyebutkan seorang hakim agung tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum, pengusaha, pelaksana keputusan MA, wali, pengampu, atau memegang jabatan lain yang berhubungan dengan perkara yang ditanganinya. Sementara itu, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR dan DPR, 1969, yang direvisi lagi, 1975 dan 1985 hanya menyebutkan seorang hakim agung, termasuk ketuanya, tidak dibenarkan merangkap menjadi anggota DPR dan juga pimpinan MPR. Tapi bagaimana kalau Ketua MA merangkap menjadi anggota MPR? "Tak satu pun undang-undang yang melarang " kata Prof. Padmo Wahyono, dosen Ilmu Negara FH UI, yang kini menjadi Deputi Ketua BP-7. Berdasarkan UUD 45, kata Padmo Wahyono, tidak ada salahnya Ketua MA menjadi anggota MPR. Sebagai penyusun GBHN, kata Padmo. seharusnyalah Ketua MA mewakili jajaran hakim di MPR. "Sebab, jaksa dan pengacara sudah terwakili di lembaga itu," tambah Padmo. Pendapat Padmo itu senada dengan komentar guru besar hukum Tata Negara, FH UI, Prof. Ismail Suny. "Tidak ada peraturan yang bisa mencegah Ketua MA menjadi anggota MPR," kata Suny. Malah menurut Suny, duduknya Ali Said di MPR itu mempunyai dasar hukum, karena ia anggota Korpri. Sebagai anggota organisasi pegawai negeri itu, Ali Said mempunyai hak untuk duduk menjadi anggota MPR. Kecuali itu, kata Suny, kasus rangkapan jabatan Ali Said itu bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Di masa Orde Lama, setelah keluar dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ketua MA, ketika itu, Prof. Wirjono Prodjodikoro, juga diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Bahkan Wirjono kemudian juga diangkat Soekarno menjadi Menteri Penasihat Hukum Presiden. "Jadi, Wirjono sekaligus memegang tiga jabatan penting di bidang yudikatif, legislatif, dan eksekutif," ujar Suny. Dari segi teori pemisahan kekuasaan, yang dianut oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, kasus itu tidaklah ganjil. Ajaran yang dikenal dengan trias politika itu, ternyata, dilaksanakan di berbagai negara dengan berbagai variasi. Di Inggris -- tempat lahirnya salah seorang bapak ajaran pemisahan kekuasan, John Locke -- seorang ketua parlemen (House of Lord) yang dinamakan Lord Chancellor duduk di eksekutif sebagai menteri kehakiman. Selain itu ia juga menjabat kedudukan sebagai hakim dan mengetuai peradilan banding. "Sistem pembagian kekuasaan di Inggris, mirip dengan Indonesia, berbeda dengan sistem pemisahaan kekuasaan di Amerika Serikat. Dari kedua sistem itu tidak jelas mana yang lebih baik," kata Suny. Hanya saja idealnya, kata Suny, Ketua MA tidak menjadi anggota lembaga legislatif, termasuk MPR. "Sebab, ada asumsi seorang hakim agung tidak boleh ikut campur dalam soal-soal yang kelak mungkin mereka adili," ujar Suny. Ali Said sendiri menganggap kasusnya itu bisa menjadi kemajuan di segi Hukum Tata Negara. Bila ada manfaatnya, kata Ali Said. soal itu bisa menjadi preseden yang baik, untuk diteruskan di kemudian hari. "Kalau tidak ditemukan manfaatnya, kita harus berani meninjaunya kembali," katanya. Karni Ilyas, Putut T.H., Happy S. (Jakarta), dan Agung Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini