Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Belasan korban terduga pelecehan seksual guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atau UGM, Edy Meiyanto meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bersikap tegas, memberikan sanksi berupa pencopotan status pelaku sebagai aparatur sipil negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Rektorat UGM telah memecat pelaku karena terbukti bersalah. Pelaku dinyatakan melanggar kode etik dosen dan Pasal 3 Peraturan Rektor nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM. Universitas juga sudah melaporkan Edy ke kementerian agar memproses pelanggaran disiplin kepegawaian. Adapun Kementerian telah menugaskan UGM untuk membentuk tim pemeriksa melalui surat tertanggal 13 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam proses pencopotan status ASN, kementerian mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Seorang mahasiswa yang menjadi korban mengatakan, pemberitaan media massa membantu mereka mendapatkan kepastian ihwal sanksi Rektor UGM terhadap pelaku. Pada Ahad, 6 April 2025 Rektorat UGM merilis siaran pers yang menjelaskan tentang pemecatan Edy sebagai dosen.
Majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang menjelaskan kasus kekerasan oleh Edy Meiyanto. Edy dituduh melecehkan mahasiswa S-1, S-2, S-3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi. Peristiwa itu berlangsung di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian.
Jumlah korban yang melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ada 15 mahasiswa. Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Sejumlah korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Kampus kini tak perlu menutupi lagi. Semua orang juga sudah tahu,” kata perempuan tersebut kepada Tempo, Senin, 7 April 2025.
Pelaku yang juga penceramah itu diduga melakukan pelecehan dengan memijat tangan, memegang rambut mahasiswa dari balik jilbab, memegang pipi dan wajah, dan mencium pipi mahasiswa di rumahnya. Adapun peristiwa di kampus, modus Edy adalah menyuruh mahasiswa memeriksa tensi darah supaya dia bisa memegang tangan korban. Pelaku juga meminta korban mengirimkan foto dan memaksa mahasiswa menghubungi di luar jam mengajar, bahkan saat malam.
Pemecatan sebagai dosen UGM itu, kata korban melegakan karena mereka tidak ingin korban semakin bertambah di Fakultas Farmasi. Sementara itu, para alumni Fakultas Farmasi yang menjadi korban menyambut baik pemecatan itu. Sebagian, kata dia mengekspresikannya dengan mengunggah pemberitaan media massa di akun media sosial mereka. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” katanya.
Sebagian korban menurut dia kini menunggu kepastian sanksi pencabutan status PNS. Mereka mendengar pelaku sedang mengurus pendaftaran untuk mengajar di kampus lain. Lewat pencopotan status PNS itu, korban berharap menimbulkan efek jera pelaku dan membatasi peluangnya menyasar korban lainnya.
Korban, kata dia tak ingin membawa kasus ini ke ranah pidana karena menganggap proses pemeriksaan di kantor polisi rumit, ribet, dan membutuhkan waktu yang lama. Padahal, sebagian korban ingin fokus melanjutkan belajar di Fakultas Farmasi hingga lulus. “Kami tak mau ditangani polisi. Proses pidana menguras energi dan waktu,” kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Yudi Saptono mengatakan sudah menerima salinan putusan Satgas PPKS dan rekomendasi pencabutan status ASN dari pihak rektorat. Saat ini, tim kementerian dalam tahap mengkaji dan hampir final.
Tempo telah mencoba mengkonfirmasi ihwal peristiwa ini ke Edy. Namun berbagai upaya yang dilakukan belum mendapat tanggapan.