PEREMPUAN bangkit untuk menjadi imam kebaktian dalam gereja. Mereka tak lagi melulu beribadat, melahirkan bayi, dan di dapur memasak nasi. Perubahan dalam tubuh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) ini direkomendasikan 8 November lalu sewaktu Konperensi Wanita (KW) HKBP -- dan menunggu 1992 Synode Godang, Muktamar Agung, HKBP mengukuhkannya. Monopoli pria selama ini bukanlah kehendak dari Yesus Kristus. "Itu karena pengaruh adat," kata Nyonya Alida boru Tobing, M.Sc., Ketua Umum KW-HKBP. Maka, suara emansipasi riuh dari 400 peserta pertemuan selama sepekan di Pematangsiantar, Sumatera Utara, sejak 1 November silam. Bahkan tak kurang dari 10 komisi menyorot adat Batak sebagai biang kerok yang banyak menghalangi eksistensi wanita. Dalam adat Batak, posisi wanita belum sama dengan pria. Bahkan fungsi sinamot (emas kawin) atau tuhor ni boru -- imbalan untuk memperoleh istri dalam pernikahan -- acap disalahartikan: perempuan seolah dibeli oleh lelaki. Penjabaran yang salah dari sistem tata nilai ini sampai membatasi gerak wanita. Misalnya, perempuan tidak boleh menjadi pendeta. "Itu jelas membunuh talenta wanita Batak," kata Nyonya Betty Sihombing, utusan dari Bandarlampung. Sedangkan peraturan HKBP tidak membedakan wanita dan pria dalam tugas pelayanan gereja. Bahkan dalam nas Galatia 3: 28 tertera, "Tidak ada perbedaan antara lelaki dan wanita. Semua adalah satu dalam Yesus Kristus." "Tapi dalam praktek, pria takut tersaingi," kata Sekretaris KW, Sella Nadeak, S.Th. Padahal, dari 2,5 juta umat HKBP, 55% perempuan. Sedang dalam setiap kebaktian Minggu, jemaatnya 80% wanita. Lalu sisanya adalah jemaat pria HKBP yang tidak lagi rajin ke gereja? "Ini krisis lelaki," kata Dr. S.A.E. Nababan. Karenanya, kebangkitan wanita disambut hangat oleh Ephorus HKBP itu. Malah ia menyangkal kebangkitan tersebut karena terpengaruh Gereja Anglikan di Inggris. Debut wanita menjadi pendeta dalam HKBP sudah sejak Hester Needham (1889-1897), seorang Inggris di Pansurnapitu, dekat Tarutung. Dan bak benang putus, 1986 tampil Norce Sihombing bersama tiga lagi pada 1987 walau yang aktif hingga kini cuma Pendeta Minaria di Gereja HKBP Menteng Lama, Jakarta. Nababan mengakui solidaritas dengan wanita dalam Program Dewan Gereja-gereja Sedunia baru dicanangkan 3 April 1988. Momen Hari Paskah ini diambil karena wanitalah -- Maria Magdalena dan Marta -- menjadi saksi utama kebangkitan Kristus kembali. Para pendeta pria tampak tak berkeberatan mendapat kerabat dari lawan jenisnya. Misalnya Pendeta H.S. Marpaung, Praeses HKBP Distrik Sumatera Timur. Ia bahkan tulus mengucapkan syalom, selamat datang. "Buktinya, pengunjung gereja memang mayoritas wanita," katanya. KW bukan saja menuntut jabatan imam dalam gereja. Mereka juga minta supaya wanita duduk dalam Parhalado -- semacam parlemen HKBP -- yang selama ini hanya dua orang diikutkan. Anggota itu nanti bahkan boleh duduk di tingkat huria (gereja), ressort (kabupaten), distrik (setingkat provinsi) dan pusat. Apalagi tugas Parhalado memang membantu ephorus (eksekutif) dalam mengawasi tatanan gereja. Wanita HKBP siap menerima jabatan imam. Calon pendeta sudah ada 10 orang. Alumnus Sekolah Tinggi Teologia itu sedang magang di beberapa gereja HKBP. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini