MUTU film Indonesia merosot! Yang mengucapkan ini bukan sembarang orang. Menteri Penerangan Harmokolah yang mengatakan itu pada sambutan singkatnya di tengah puncak acara Fetival Film Indonesia, Sabtu pekan lalu, di Balai Sidang, Jakarta. Sebelumnya, Harmoko memuji kemajuan perfilman nasional dengan menyebut produksi yang bertambah dari tahun ke tahun, dan ditonton oleh lebih banyak orang dari hari ke hari. "Adalah tidak adil jika Pemerintah tidak menyebutkan kekurangannya," kata Harmoko kemudian. Ia lantas menyebutkan persoalan yang paling mendasar: mutu merosot. Dalam situasi seperti ini, celakanya, FFI harus tetap berlangsung. Dewan Juri FFI tetap memilih film terbaik. Maka, karya Teguh Karya, Pacar Ketinggalan Kereta, dinobatkan sebagai film terbaik yang sekaligus memboyong delapan Piala Citra. Padahal, film ini bukanlah karya terbaik Teguh. Dibandingkan Ibunda atau Doea Tanda Mata, misalnya, mutu Pacar "ketinggalan kereta". Ini film ringan, soal gosip yang dipanjang-panjangkan, soal cemburu yang bertele-tele, dan gerak nyanyi seperti dalam sandiwara Teater Koma. Lewat film ini, selain Teguh sendiri, ikut kebagian Citra adalah Tuti Indra Malaon (aktris terbaik), Niniek L. Karim (pembantu wanita terbaik), dan Rachmat Hidayat (aktor terbaik). Masalahnya, kenapa Niniek tergolong pemeran pembantu dan Tuti pemeran utama, padahal porsinya sama. Pemisahan keduanya seperti memberi kesan bahwa Pacar ingin meraup semua Citra. Apalagi dengan tampilnya Rachmat Hidayat, yang begitu mengagetkan. Aktingnya tak ada yang istimewa dalam film ini. Kekalahan Eeng Saptahadi, yang bermain bagus dalam Semua Sayang Kamu, seperti menyiratkan ada sesuatu kenapa ia harus kalah dan kenapa Rachmat harus menang. Piala Citra yang disisakan Pacar dibagi-bagi film unggulan lainnya. Pemusik Idris Sardi mendapatkan Citra kedelapan lewat film Noesa Penida. Ida Farida kebagian untuk penulisan skenario dalam Semua Sayang Kamu. Imam Tantowi mendapatkan untuk cerita asli melalui Si Badung. Sedangkan Pietradjaja Burnama meraih Citra lewat aktingnya yang bagus sebagai pelaut Bugis dalam Noesa Penida melalui kategori pemeran pembantu pria. Adapun penata fotografi -- unsur penting dalam sebuah film -- diraih W.A. Cokrowardoyo dalam Noesa Penida. Tragedi dalam FFI tahun ini menimpa film Tragedi Bintaro yang disutradarai Buce Malawau. Tak sebuah Citra pun mampir. Film ini hanya menerima penghargaan khusus Piala Kartini untuk pemeran pria anak-anak terbaik atas nama Ferry Octora. Padahal, Tragedi bukan film yang jelek dan sudah menggondol 10 nominasi. Itu kalau kita berbicara soal pemerataan Citra, bukan Citra sebagai ukuran mutu. Sebab, kalau mutu dipertaruhkan lebih tepat andai kata juri FFI 1989 meniru juri FFI 1985 di Yogya yang tidak memilih film terbaik. Memang, seperti yang juga diakui salah seorang insan film A. Rahim Latief. "Film yang merebut Citra tahun ini tak ada yang layak diikutkan dalam kompetisi pemilihan Oscar," kata Rahim. Setelah melihat hasil FFI 1989, Rahim justru khawatir Panitia Oscar akan mencabut kemudahan bagi film Indonesia mengikuti kompetisi yang bergengsi itu. Kemudahan itu adalah film Indonesia jika ikut ke arena Oscar tak lagi kena wajib putar untuk umum selama dua minggu di Los Angeles. Rahim -- pengusaha film yang kini menjadi konsultan beberapa produser -- adalah orang yang menemui Robert Wise, ketua Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences (penyelenggara Oscar) di Hollywood, 1987. Di situ Rahim meyakinkan panitia Oscar bahwa film Indonesia juga mempunyai bobot seni yang tak kalah dengan film Barat. Akhirnya, Robert Wise pun menyetujui penghapusan aturan wajib putar itu untuk film Indonesia. Berkat diplomasi Rahim, Naga Bonar, sebagai film terbaik FFI 1987, sempat unjuk gigi di percaturan internasional itu. Menyusul kemudian film terbaik FFI 1988, Tjoet Nja' Dhien. "Lha, kalau diberi kemudahan tetapi tak diimbangi dengan film bermutu, kan memalukan," kata Rahim. "Mutu film memang masih memprihatinkan," kata sekretaris dewan juri FFI 1989, Dr. Salim Said. Bahkan Salim dengan terus terang mengakui, ia kurang puas dengan apa yang dihasilkan FFI kali ini. "Saya lebih sreg ketika memilih Tjoet Nja' Dhien sebagai film terbaik tahun lalu," katanya. Menurut Salim, kemerosotan itu lebih banyak terletak pada skenario, penguasaan dramaturgi, dan kelancaran logika. Apakah merosotnya mutu film itu karena buruknya apresiasi masyarakat? Bagi Salim, masyarakat Indonesia justru merupakan potensi besar menonton film bermutu. Contohnya, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih Piala Antemas dalam FFI 1989 sebagai film unggulan FFI 1988 yang meraih penonton terbanyak. Film Barat yang bermutu, apalagi yang meraih Oscar, kenyataannya juga dibanjiri penonton di sini. Dengan bukti seperti itu, menurut Salim, apresiasi masyarakat sebenarnya sudah bagus. "Cuma mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada film Indonesia," kata Salim. "Ya, karena banyaknya film yang dibuat asal jadi." Amburadul. Budiono Darsono & Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini