DI sebuah ruangan ber-AC, beberapa pemuda mengerumuni sebuah
alat mirip mesin tulis yang dilengkapi pesawat teve. Inilah satu
gambaran kegiatan pendidikan komputer. "Mesin tulis" itu sebuah
komputer mini buatan Amerika Serikat, seharga Rp 10 juta.
"Mereka sedang praktek," kata Ariyanto Santoso, pimpinan Course
& Study Group (CSG) yang menyelenggarakan kursus komputer di
Slipi, Jakarta. Komputer itu konon baru saja dibeli untuk
menambah komputer lain yang sudah ada--"karena peminat kursus
terus meningkat."
Tahun 1973, waktu CSG baru dibuka, peserta cuma beberapa orang.
Kini CSG sudah membuka cabang di Senen dan Kebayoran Baru, dan
peserta kursus komputernya 210 orang.
Akademi llmu Komputer (AIK) di Lapangan Banteng pun, sebuah
lembaga lain, kebanjiran peminat. Jumlah mahasiswa kini 1.500
orang, lebih 10 kali lipat dibanding ketika AIK didirikan dua
tahun lalu.
Dan Institut llmu Komputer (IIK) Grogol--juga berdiri
1978--tahun ini menerima mahasiswa baru 240 orang. Padahal yang
mendaftar 3 kali lipat. "IIK memang bukan usaha komersial,"
tutur Soetirto Sadikin MA, Dekan Fakultas Informatika IIK itu.
Di waktu dekat, IIK akan membuka fakultas teknologi komputer dan
manajemen komputer.
Remaja Bandung ternyata tak kalah. Indonesian Computer lnstitute
(ICI) punya 400 siswa, walau biaya belajar cukup mahal di sini.
Mulai tingkat dasar sampai analisa sistem, menurut Dadang
Hermawan, Direktur bidang pendidikannya, perlu biaya Rp 500
ribu.
Bahasa Inggris & Eksakta
Juga Pendidikan Ahli Teknik (PAT) ITB punya jurusan komputer Dan
lembaga kursus lain seperti Institute Computer Bandung alias ICB
(nama ini kacau, memang), Patuba College dan Gelanggang Remaja,
masing-masing paling sedikit punya 100 peserta.
Di Yogya ada Akademi Aplikasi Komputer (Akakom). Berdiri 1
Oktober tahun lalu, belum lagiberstatus terdaftar --seperti juga
AIK dan IIK--mahasiswanya lumayan: 216.
Kursus atau pendidikan komputer, nampaknya baru muncul setelah
1970-an, bersamaan dengan makin banyaknya komputer digunakan di
negeri ini. Dan peminatnya semakin banyak, meski ada tuntutan
penguasaan bahasa Inggris dan pengetahuan ilmu eksakta (tak
mutlak).
"Karena instruksi bagi komputer mesti diberikan dalam bahasa
Inggris," kata Ariyanto, "penguasaan bahasa Inggris akan banyak
menolong." Juga pengetahuan dasar ilmu eksakta. Waktu IIK baru
dibuka, kata Soetirto, semua tamatan SLA boleh mendaftar. Tapi
hasilnya, yang dari jurusan Sos-Bud banyak yang mengalami
kesulitan belajar. Jadi "tahun ini kami hanya menerima tamatan
SMA IPA dan STM."
Menurut Ariyanto, para agen komputer biasanya memang memberi
semacarn kursus kepada pihak pembeli. Tapi kelihatannya jumlah
komputer yang terjual makin meningkat, sehingga service berupa
kursus harus digilir. Padahal, maunya si pembeli tentu saja
komputer itu segera bisa dimanfaatkan. Faktor inilah kira-kira,
kata Ariyanto, yang menyebabkan kursus komputer cukup kebanjiran
peminat.
Dan belajar komputer mempunyai bermacam tingkatan. Di CSG, untuk
belajar pengetahuan dasar diperlukan waktu 40 jam. Setelah itu
baru bisa belajar 'bahasa komputer', seperti basic (untuk
komputer kecil), cobol (untuk bidang bisnis) dan fortran (untuk
bidang ilmu). Terakhir belajar sistem disain dan analisa
membutuhkan waktu sekitar 50 jam.
Uang kursus hingga tahap belajar sistem disain dan analisa
relatif murah, Rp 160 ribu dan pelajaran bisa ditempuh dalam
waktu 6 bulan.
Itu berbeda dengan pendidikan yang tak hanya bersifat kursus.
Seperti di AIK misalnya, yang memungut uang kuliah lebih dari Rp
200 ribu per tahun. Dan di IIK per semester mahasiswanya harus
membayar Rp 100 ribu.
Macam-macamlah motif mereka yang belajar ketrampilan ini.
"Sekarang 'kan zaman modern," kata Budi Setiadi, siswa AIK.
"Penggunaan komputer tak mungkin lagi dihindarkan." la agaknya
optimistis: setelah lulus bisa cepat bekerja. Toh ada juga yang
ikut hanya "biar tak kelihatan mengganggur saja," seperti kata
salah seorang siswa Akakom, Yogya.
Yang menarik, seorang jebolan ICI Bandung terus terang
mengatakan, mencari kerja di bidang komputer pun "ternyata tak
semudah yang dibayangkan semula."
Dari Dinas Pengumpulan Data Angkatan Darat, yang menggunakan
komputer sebagai salah satu sarana pokok sejak tahun 60-an ada
penilaian bahwa pendidikan komputer kita masih belum ketahuan
kualitasnya. Berdasar itu, menurut instansi tersebut, hanya
lulusan PAT ITB saja yang langsung bisa kerja.
Bahkan tiga instansi lain yang dihubungi TEMPO --Bank Indonesia
Pusat, Departemen Pekerjaan Umum dan Garuda lndonesian
Airways--lebih suka mendidik sendiri tenaga yang menangani
komputer. Atau menitipkan langsung pendidikannya kepada
perusahaan komputer-- IBM, misalnya. Atau mengambil tenaga
lulusan luar negeri. Baru kalau terpaksa, sebagai pilihan
terakhir, lulusan pendidikan komputer di Jakarta sendiri.
Kepada TEMPO, ketiga instansi itu hampir senada mengatakan,
bahwa mendidik seseorang memahami komputer tak sulit. Yang
penting: adakah orang yang paham menggunakan komputer itu
menguasai bidang yang hendak dikomputerkan. Sebagai
perbandingan, belajar menggunakan sipoa tak susah. Tapi . . .
dan seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini