BANGKRUT atau tak bangkrut, bukan lagi soalnya. Kemelut di PT
Innismo (Indokaya Nissan Motors), agen tunggal mobil Nissan dan
Datsun, berakhir sudah. Usul pemerintah agar pemegang saham
terbesar perseroan tetsebut, yaitu keluarga Affan, memperkecil
saja jumlah andilnya (dari 60% menjadi tinggal 10%) dan mundur
dari kepengurusan, akhirnya diterima juga. (TEMPO, 18 Oktober,
Ekonomi & Bisnis).
Tapi ada masalah hukum yang masih tertinggal. Yaitu pernyataan
Departemen Perindustrian, bahwa Innismo "menurut hukum sudah
harus dinyatakan bangkrut". Pernyataan ini dapat menjadi bahan
diskusi: kapan dan oleh siapa perseroan bisa dinyatakan pailit?
Menurut pemerintah, setelah dilakukan perhitungan oleh sebuah
tim yang dibentuk Departemen Perindustrian, hutang Innismo
kepada berbagai pihak sudah kelewat besar kurang lebih Rp 17,5
milyar. Ditambah lagi, bila seluruh kekayaan perseroan dijual,
masih belum mencapai 75% dari seluruh utangnya yang sudah jatuh
tempo. Keadaan yang demikian, menurut hukum dagang (pasal 47
KUHD), "perseroan itu, demi hukum bubar . . . "
Keluarga Affan keberatan perseroannya dinyatakan pailit.
Bangkrut dan tidaknya sebuah perusahaan, begitu tanggapannya,
harus "dinyatakan oleh suatu keputusan pengadilan". Dan lagi,
lanjutnya, Innismo bisa membuktikan kemampuannya memenuhi
kewajiban membayar utang. Baik berupa piutang di luar maupun
klaim sah yang sedang dituntutnya dari Marubeni/Nissan (Tokyo).
Perusahaan Jepang tersebut merupakan kawan usaha yang tiba-tiba
menghentikan pengiriman suku cadang bagi Innismo.
Bahwa Innismo mengalami kerugian pada 1978/1979, menurut
bantahan Affan Bersaudara terhadap keterangan Dept.
Perindustrian, benar adanya. Untuk sementara perusahaannya boleh
dibilang macet. Tapi kemacetan itu, menurut pengurus Innismo,
"tidaklah identik dengan suatu keadaan bangkrut". Toh,
lanjutnya, Innismo dapat membuktikan diri sebagai perusahaan
yang secara operasional masih menguntungkan.
Ketentuan hukum dagang memang menyatakan, apabila perseroan
menderita kerugian sampai sebesar 50% dari modalnya, harus
segera diumumkan dalam register yang diselenggarakan di
kepaniteraan pengadilan dan Berita Negara. Dan jika kerugian
mencapai 75% perseroan bubar demi hukum.
Karena itu, menurut konsultan Innismo, Drs. Utomo, Mulia & Co.,
perusahaan itu punya dalih untuk mengelak dari tuduhan pailit.
Sebab selama ini belum pernah ada pendakwaan yang berwajib
terhadap perusahaan yang mcmpunyai utang yang terlalu besar.
Mengutip keterangan seorang ahli hukum, Prof. Kardono dari
Universitas Indonesia, menampilkan pasal KUHD tentang bangkrut,
"merupakan suatu ketentuan yang mati". Karena, kenyataannya,
memang sulit menentukan titik dan saat yang tepat jatuhnya modal
di bawah 50% atau 75%. Sebab penurunan bisa bersifat sementara,
sedangkan modal dapat diperbesar.
Tidak Otomatis
Begitu juga pendapat Sardjono dari kantor akuntan Drs. Sardjono
& Co yang mengaudit Innismo. Ia pernah memeriksa buku-buku
berbagai perusahaan yang--seperti halnya Innismo--dalam keadaan
rugi di atas 75% dari modalnya. Tapi semuanya, katanya, tidak
otomatis bubar seperti ditentukan KUHD.
Lalu apa artinya pasal 47 KUHD? Sardjono enggan menafsirkan.
"Saya bukan ahli hukum," katanya. Tapi "bangkrut atau tidaknya
sebuah perusahaan bukan urusan akuntan," lanjutnya. "Tapi
hakimlah yang berhak menilai." Itu dibenarkan oleh Hakim J.Z.
Loudoe dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan,
katanya, tak bisa begitu saja menyatakan dirinya bangkrut untuk
menghindari tagihan krediturnya. Begitu juga sebaliknya.
Permohonan harus diajukan oleh pengurus perseroan atau kreditur
untuk memperoleh penetapan pailit dari pengadilan. Hakim akan
menilai apakah perusahaan patut dinyatakan pailit atau tidak.
Penetapan diperoleh, menurut Loudoe, disertai perintah
pengadilan agar Balai Harta Peninggalan melakukan pembagian
harta kekayaan perseroan kepada para kreditur. Baik kreditur
maupun pengurus perseroan boleh saja tidak menerima putusan
Pengadilan Negeri. Untuk itu perkara boleh dimintakan kasasi
pada Mahkamah Agung.
Bantahan juga bisa dilakukan selagi perkara di tingkat pertama.
Misalnya terjadi dalam kasus PT Arafat. Perusahaan pelayaran
tersebut, menurut Hakim Suwandono, pernah minta agar Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menetapkannya pailit. Tapi krediturnya
mengajukan keberatan. Mereka minta agar Arafat, walaupun
utangnya sudah lebih 75% dari modal, diberi kesempatan hidup.
Dengan begitu kreditur tetap dapat menagih piutangnya--walaupun
Arafat harus membayarnya secara mengangsur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini