Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kelebihan Utang, Bangkrutkah ?

Agen mobil PT Innismo pernah dinyatakan bangkrut oleh pemerintah. Tapi banyak perusahaan lain yang utangnya kelewat besar tetap berjalan. ketentuan uu bangkrut dipertanyakan.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGKRUT atau tak bangkrut, bukan lagi soalnya. Kemelut di PT Innismo (Indokaya Nissan Motors), agen tunggal mobil Nissan dan Datsun, berakhir sudah. Usul pemerintah agar pemegang saham terbesar perseroan tetsebut, yaitu keluarga Affan, memperkecil saja jumlah andilnya (dari 60% menjadi tinggal 10%) dan mundur dari kepengurusan, akhirnya diterima juga. (TEMPO, 18 Oktober, Ekonomi & Bisnis). Tapi ada masalah hukum yang masih tertinggal. Yaitu pernyataan Departemen Perindustrian, bahwa Innismo "menurut hukum sudah harus dinyatakan bangkrut". Pernyataan ini dapat menjadi bahan diskusi: kapan dan oleh siapa perseroan bisa dinyatakan pailit? Menurut pemerintah, setelah dilakukan perhitungan oleh sebuah tim yang dibentuk Departemen Perindustrian, hutang Innismo kepada berbagai pihak sudah kelewat besar kurang lebih Rp 17,5 milyar. Ditambah lagi, bila seluruh kekayaan perseroan dijual, masih belum mencapai 75% dari seluruh utangnya yang sudah jatuh tempo. Keadaan yang demikian, menurut hukum dagang (pasal 47 KUHD), "perseroan itu, demi hukum bubar . . . " Keluarga Affan keberatan perseroannya dinyatakan pailit. Bangkrut dan tidaknya sebuah perusahaan, begitu tanggapannya, harus "dinyatakan oleh suatu keputusan pengadilan". Dan lagi, lanjutnya, Innismo bisa membuktikan kemampuannya memenuhi kewajiban membayar utang. Baik berupa piutang di luar maupun klaim sah yang sedang dituntutnya dari Marubeni/Nissan (Tokyo). Perusahaan Jepang tersebut merupakan kawan usaha yang tiba-tiba menghentikan pengiriman suku cadang bagi Innismo. Bahwa Innismo mengalami kerugian pada 1978/1979, menurut bantahan Affan Bersaudara terhadap keterangan Dept. Perindustrian, benar adanya. Untuk sementara perusahaannya boleh dibilang macet. Tapi kemacetan itu, menurut pengurus Innismo, "tidaklah identik dengan suatu keadaan bangkrut". Toh, lanjutnya, Innismo dapat membuktikan diri sebagai perusahaan yang secara operasional masih menguntungkan. Ketentuan hukum dagang memang menyatakan, apabila perseroan menderita kerugian sampai sebesar 50% dari modalnya, harus segera diumumkan dalam register yang diselenggarakan di kepaniteraan pengadilan dan Berita Negara. Dan jika kerugian mencapai 75% perseroan bubar demi hukum. Karena itu, menurut konsultan Innismo, Drs. Utomo, Mulia & Co., perusahaan itu punya dalih untuk mengelak dari tuduhan pailit. Sebab selama ini belum pernah ada pendakwaan yang berwajib terhadap perusahaan yang mcmpunyai utang yang terlalu besar. Mengutip keterangan seorang ahli hukum, Prof. Kardono dari Universitas Indonesia, menampilkan pasal KUHD tentang bangkrut, "merupakan suatu ketentuan yang mati". Karena, kenyataannya, memang sulit menentukan titik dan saat yang tepat jatuhnya modal di bawah 50% atau 75%. Sebab penurunan bisa bersifat sementara, sedangkan modal dapat diperbesar. Tidak Otomatis Begitu juga pendapat Sardjono dari kantor akuntan Drs. Sardjono & Co yang mengaudit Innismo. Ia pernah memeriksa buku-buku berbagai perusahaan yang--seperti halnya Innismo--dalam keadaan rugi di atas 75% dari modalnya. Tapi semuanya, katanya, tidak otomatis bubar seperti ditentukan KUHD. Lalu apa artinya pasal 47 KUHD? Sardjono enggan menafsirkan. "Saya bukan ahli hukum," katanya. Tapi "bangkrut atau tidaknya sebuah perusahaan bukan urusan akuntan," lanjutnya. "Tapi hakimlah yang berhak menilai." Itu dibenarkan oleh Hakim J.Z. Loudoe dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan, katanya, tak bisa begitu saja menyatakan dirinya bangkrut untuk menghindari tagihan krediturnya. Begitu juga sebaliknya. Permohonan harus diajukan oleh pengurus perseroan atau kreditur untuk memperoleh penetapan pailit dari pengadilan. Hakim akan menilai apakah perusahaan patut dinyatakan pailit atau tidak. Penetapan diperoleh, menurut Loudoe, disertai perintah pengadilan agar Balai Harta Peninggalan melakukan pembagian harta kekayaan perseroan kepada para kreditur. Baik kreditur maupun pengurus perseroan boleh saja tidak menerima putusan Pengadilan Negeri. Untuk itu perkara boleh dimintakan kasasi pada Mahkamah Agung. Bantahan juga bisa dilakukan selagi perkara di tingkat pertama. Misalnya terjadi dalam kasus PT Arafat. Perusahaan pelayaran tersebut, menurut Hakim Suwandono, pernah minta agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkannya pailit. Tapi krediturnya mengajukan keberatan. Mereka minta agar Arafat, walaupun utangnya sudah lebih 75% dari modal, diberi kesempatan hidup. Dengan begitu kreditur tetap dapat menagih piutangnya--walaupun Arafat harus membayarnya secara mengangsur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus