RUANGAN itu hiruk-pikuk. Anak-anak berebut masuk mencari tempat
duduk. Seorang wanita muda berdiri di depan, berteriak lewat
pengeras suara: "Tenang sedikit, anak-anak!" Dan ketika
dilihatnya anak-anak bergerombol menurut kelompok sekolah
masing-masing, ia berseru lagi: "Jangan berkelompok sesama teman
sekolah. Berbaur sajalah semuanya!"
Sebentar kemudian 115 pelajar 16 SLA dari Medan, Kisaran dan
Padangsidempuan, Sumatera Utara itu, pada diam. Lalu, diiringi
petikan lima gitar, terdengar nyanyian bersama memuji Tuhan.
Itulah suasana pembukaan Bible Camp Siswa I, Jumat sore pekan
lalu di aula Perguruan Methodis, Brastagi, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara -- sekitar 60 km dari Medan. Pengajaran Agama
yang diberikan sembari berkemah dan berpariwisata di waktu libur
itu dikoordinasi oleh Persekutuan Doa (PD) - organisasi dakwah
Kristen Protestan di Medan yang didirikan sejak 1965. Bible Camp
itu sendiri diselenggarakan baru sejak 1972. Dan yang melibatkan
peserta dari banyak SLA baru kali inilah - sebelumnya peserta
hanya dari satu SLA.
Mereka berapi unggun, mendengarkan ceramah agama, berdiskusi
dalam suasana santai. "Program Persekui tuan Doa telah
menyelamatkan saya dari kehancuran," kata Yulianto, siswa SMAN
I Medan. Ia tak main-main, rupanya. Jagoan berkelahi, pengisap
ganja, tukang minum dan perokok sejak di SMP ini mulai ikut
program PD delapan bulan lalu. Maksudnya semula: "mau mengganggu
cewek yang ikut." Tapi, "tahu-tahu aku di situ ditangkap
Tuhan," katanya. Dan sejak itu ia pun tak lagi suka membawa
pistol ke sekolah. "Aku betul-betul mau tobat. Mengambil duit Rp
50 saja kini aku tak mau," tuturnya. Ayahnya seorang mayor
polisi.
Dulunya PD hanya menggarap mahasiswa. Kemudian berhasil
mendekati lO SLA negeri dan swasta di Medan, dan disetujui
memberikan pengajaran agama di luar kurikulum -- sekali
seminggu. Dan itulah terutama bekal penyelenggaraan acara "studi
tamasya" yang disebut Bible Camp (BC) itu. PD itu sendiri
organisasi bebas, tak bernaung di bawah satu gereja.
BC yang kali ini diadakan PD di kota pariwisata di kaki Gunung
Sibayak itu, hanya berlangsung empat hari. Dari tiap peserta
dipungut iuran Rp 5 ribu - untuk ongkos segalanya.
Tapi "ternyata susah mendekati para remaja," tutur Victor
Tobing, salah seorang pendiri yang kini menjadi Ketua PD. Karena
itu para penceramah selalu diambil dari kalangan pendeta muda.
Bahkan ceramah diberikan dalam bahasa remaja yang sekenanya,
tapi diharap ekspresif. Brosur-brosur yang dikeluarkan PD pun
khusus ditujukan kepada remaja, di-"pop"-kan. Misalnya, kutipan
ayat Wahyu 20:10 berbunyi: "Mereka disiksa siang-malam,
pagi-petang sampai selama-lamanya'. Komentar di bawahnya 'Aduh,
duh, mana tahan'. Lalu Mat 25:41 : 'Enyahlah ke dalam api yang
kekal'. Bunyi komentar: 'Tidak boleh bawa AC, nanti bisa
kontak'.
Bisa dipahami, agaknya, bila Damos Sihombing, siswa kelas III
SMAN I, kerasan dalam PD. Ia telah empat kali menjadi peserta
BC. "Di rumah saya dianggap dewasa," tuturnya bangga. "Setiap
ada masalah, saya selalu diikut sertakan dan pendapat saya
didengar orang tua. Saya dianggap banyak tahu soal agama karena
program PD. "
Biasanya, para peserta BC bahkan kemudian dikirim ke pelosok
atas permintaan gereja setempat -- untuk memberi penerangan
agama. Semua biaya ditanggung gereja pengundang. Juga kali ini
-- yang tanggal mulainya ditetapkan 10 Juli nanti. "Yang jelas
hari libur mereka tak' sia-sia," kata Victor Tobing pula.
Di masyarakat Islam, ada pula program semacam -- di
pesantren-pesantren. Ini boleh dikatakan telah mentradisi di
sejumlah tempat, sejak lama, dengan peserta yang jauh lebih
banyak tentunya. Pesantren Kilat, sebutan populer program ini,
diadakan terutama di hari libur panjang. Masalahnya, karena
libur panjang di pesantren sejak zaman dulu diadakan di bulan
puasa (dan memang diisi dengan kunjungan orang luar ke
pesantren), di tahun-tahun terakhir program 'pesantren kilat'
terpaksa diubah. Yakni karena adanya perubahan libur sekolah --
sedang acara 'pesantren kilat' itu memang diadakan di masa
modern ini untuk menampung anak sekolah .
Itulah sebabnya beberapa pesantren terpaksa menghapus acara yang
khusus anak sekolah itu. Sedang sebagian pesantren yang masih
membuka program itu di bulan puasa, mengalami penyusutan peserta
-- sudah tentu.
Tapi 'pesantren kilat' memang agak lain dari BC. Unsur rekreasi
jauh lebih minim. Seorang santri kilat harus menyesuaikan diri
dengan irama kehidupan pesantren yang ditujunya -- dan itulah
memang tujuan acara itu: memperkaya pengalaman dengan hal yang
"lain". Biasanya santri pendatang hanya dibolehkan membawa
pakaian secukupnya, tikar dan bantal untuk tidur, alat tulis
menulis, piring, gelas, sendok dan Al Quran. Perhiasan, bahkan
kasur, umumnya tak diizinkan. Yang dilakukan terutama memang
penempaan mental - meskipun' tetap dengan gaya santai.
Seorang pelajar yang pernah mengikuti Pesantren Kilat di
Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat, menggambarkan
Pesantren Kilat sebagai "pelajaran bagaimana seharusnya
menjalani hidup sehari-hari sebagai seorang muslim." Bangun
pagi, shalat, mengaji, kemudian mendiskusikan segala hal dengan
pembimbing di situ, di samping menjalani hidup di desa.
Tentu, mereka yang baru pertama kali mengikuti acara ini bisa
beroleh macam-macam. Dua-tiga hari pertama, bagi remaja kota
besar yang kaya atau biasa manja, bisa memberi kejutan. Ia harus
mencuci pakaian sendiri, misalnya. Juga, tubuh bisa saja
gatal-gatal -- karena harus mandi di pancuran seperti rakyat
lain. Tentu saja airnya bukan seperti yang dari PAM, nyong --
meskipun sangat segar.
Tapi kalau kemudian ia berniat kembali ke situ tahun berikutnya,
tentulah tak hanya pengalaman gatal-gatal itu yang menghimbau.
"Sekali saya tak sembahyang, serasa saya punya utang terus,"
kata seorang siswa SMA yang pernah ikut Pesantren Kilat Tebu
Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Pokoknya, "akhirnya anak-anak itu menemukan sesuatu yang tak
pernah ada di sekolah. Mereka bisa mengeluarkan isi hatinya
tentang apa saja dengan bebas," tutur Ir. Hasan Babsel, Direktur
Pendidikan Said Naum, perguruan Islam di Tanah Abang, Jakarta.
Perguruan ini sejak 1979 justru membuka program pesantren kilat
di bulan puasa.
DISAYANGKAN memang, kalau program yang lebih bersifat pembinaan
hidup ini terganggu. Tapi untuk membuka Pesanrren Kilat di luar
bulan puasa memang repot. Soalnya pada bulan itulah pesantren
relatif kosong. Kalau diadakan di bulan ketika sekolah umum
libur tapi pesantren tidak, tentulah pesantren harus menyediakan
ruang sendiri. Di samping itu ada kekhawatiran program itu
mengganggu para santri -- seperti dituturkan Kiai Haji Masduki,
pimpinan Pesantren Al Ikhlas di Desa Tambakyosowilangun,
Kecamatan Tandes, Surabaya. Pesantren ini termasuk yang
menghentikan program pesantren kilanya sejak 1979 -- apa boleh
buat.
Pesantren Pabelan, Magelang, yang tahun lalu mendapat hadiah
arsitektur dari Agha Khan Foundation, tetap mengadakan pesantren
kilat bulan puasa. Di masa liburan ini mereka akan memulainya
pada unggal 4 Juli. Belum jelas berapa pesertanya. Tapi ada
kemungkinan meningkat, karena hampir setengah bulan puasa
kebetulan merupakan bagian libur panjang tahun ini. Tahun lalu,
pesantren yang lingkungannya sangat enak dan tenteram itu,
menerima 265 santri pendatang. Bandingkan misalnya di tahun 1978
ketika bulan puasa masih merupakan libur sekolah. Pesertanya
waktu itu sekitar 700.
Bila memang benar, bahwa pendidikan formal alias pendidikan
sekolah masih saja cenderung menggarap segi intelektualitas,
sesungguhnya semacam pesantren kilat (atau Bible Camp) merupakan
pelengkap yang sungguh menolong. Program semacam itu lebih
konkrit memberikan bekal rohani dan moral, berdasar agama
masing-masing, yang sebenarnya diminati banyak orang. Cobalah
dengar suara Yulianto atau Damos Tobing atau yang lain-lain itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini