Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Libur, Dengan Iman

Mengisi waktu libur dengan bimbingan rohani terdapat di kalangan islam & kristen. hanya di islam mengalami kemunduran akibat keputusan libur sekolah dari p & k. ada "bible camp", "pesantren kilat".(pdk)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Libur, Dengan Iman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
RUANGAN itu hiruk-pikuk. Anak-anak berebut masuk mencari tempat duduk. Seorang wanita muda berdiri di depan, berteriak lewat pengeras suara: "Tenang sedikit, anak-anak!" Dan ketika dilihatnya anak-anak bergerombol menurut kelompok sekolah masing-masing, ia berseru lagi: "Jangan berkelompok sesama teman sekolah. Berbaur sajalah semuanya!" Sebentar kemudian 115 pelajar 16 SLA dari Medan, Kisaran dan Padangsidempuan, Sumatera Utara itu, pada diam. Lalu, diiringi petikan lima gitar, terdengar nyanyian bersama memuji Tuhan. Itulah suasana pembukaan Bible Camp Siswa I, Jumat sore pekan lalu di aula Perguruan Methodis, Brastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara -- sekitar 60 km dari Medan. Pengajaran Agama yang diberikan sembari berkemah dan berpariwisata di waktu libur itu dikoordinasi oleh Persekutuan Doa (PD) - organisasi dakwah Kristen Protestan di Medan yang didirikan sejak 1965. Bible Camp itu sendiri diselenggarakan baru sejak 1972. Dan yang melibatkan peserta dari banyak SLA baru kali inilah - sebelumnya peserta hanya dari satu SLA. Mereka berapi unggun, mendengarkan ceramah agama, berdiskusi dalam suasana santai. "Program Persekui tuan Doa telah menyelamatkan saya dari kehancuran," kata Yulianto, siswa SMAN I Medan. Ia tak main-main, rupanya. Jagoan berkelahi, pengisap ganja, tukang minum dan perokok sejak di SMP ini mulai ikut program PD delapan bulan lalu. Maksudnya semula: "mau mengganggu cewek yang ikut." Tapi, "tahu-tahu aku di situ ditangkap Tuhan," katanya. Dan sejak itu ia pun tak lagi suka membawa pistol ke sekolah. "Aku betul-betul mau tobat. Mengambil duit Rp 50 saja kini aku tak mau," tuturnya. Ayahnya seorang mayor polisi. Dulunya PD hanya menggarap mahasiswa. Kemudian berhasil mendekati lO SLA negeri dan swasta di Medan, dan disetujui memberikan pengajaran agama di luar kurikulum -- sekali seminggu. Dan itulah terutama bekal penyelenggaraan acara "studi tamasya" yang disebut Bible Camp (BC) itu. PD itu sendiri organisasi bebas, tak bernaung di bawah satu gereja. BC yang kali ini diadakan PD di kota pariwisata di kaki Gunung Sibayak itu, hanya berlangsung empat hari. Dari tiap peserta dipungut iuran Rp 5 ribu - untuk ongkos segalanya. Tapi "ternyata susah mendekati para remaja," tutur Victor Tobing, salah seorang pendiri yang kini menjadi Ketua PD. Karena itu para penceramah selalu diambil dari kalangan pendeta muda. Bahkan ceramah diberikan dalam bahasa remaja yang sekenanya, tapi diharap ekspresif. Brosur-brosur yang dikeluarkan PD pun khusus ditujukan kepada remaja, di-"pop"-kan. Misalnya, kutipan ayat Wahyu 20:10 berbunyi: "Mereka disiksa siang-malam, pagi-petang sampai selama-lamanya'. Komentar di bawahnya 'Aduh, duh, mana tahan'. Lalu Mat 25:41 : 'Enyahlah ke dalam api yang kekal'. Bunyi komentar: 'Tidak boleh bawa AC, nanti bisa kontak'. Bisa dipahami, agaknya, bila Damos Sihombing, siswa kelas III SMAN I, kerasan dalam PD. Ia telah empat kali menjadi peserta BC. "Di rumah saya dianggap dewasa," tuturnya bangga. "Setiap ada masalah, saya selalu diikut sertakan dan pendapat saya didengar orang tua. Saya dianggap banyak tahu soal agama karena program PD. " Biasanya, para peserta BC bahkan kemudian dikirim ke pelosok atas permintaan gereja setempat -- untuk memberi penerangan agama. Semua biaya ditanggung gereja pengundang. Juga kali ini -- yang tanggal mulainya ditetapkan 10 Juli nanti. "Yang jelas hari libur mereka tak' sia-sia," kata Victor Tobing pula. Di masyarakat Islam, ada pula program semacam -- di pesantren-pesantren. Ini boleh dikatakan telah mentradisi di sejumlah tempat, sejak lama, dengan peserta yang jauh lebih banyak tentunya. Pesantren Kilat, sebutan populer program ini, diadakan terutama di hari libur panjang. Masalahnya, karena libur panjang di pesantren sejak zaman dulu diadakan di bulan puasa (dan memang diisi dengan kunjungan orang luar ke pesantren), di tahun-tahun terakhir program 'pesantren kilat' terpaksa diubah. Yakni karena adanya perubahan libur sekolah -- sedang acara 'pesantren kilat' itu memang diadakan di masa modern ini untuk menampung anak sekolah . Itulah sebabnya beberapa pesantren terpaksa menghapus acara yang khusus anak sekolah itu. Sedang sebagian pesantren yang masih membuka program itu di bulan puasa, mengalami penyusutan peserta -- sudah tentu. Tapi 'pesantren kilat' memang agak lain dari BC. Unsur rekreasi jauh lebih minim. Seorang santri kilat harus menyesuaikan diri dengan irama kehidupan pesantren yang ditujunya -- dan itulah memang tujuan acara itu: memperkaya pengalaman dengan hal yang "lain". Biasanya santri pendatang hanya dibolehkan membawa pakaian secukupnya, tikar dan bantal untuk tidur, alat tulis menulis, piring, gelas, sendok dan Al Quran. Perhiasan, bahkan kasur, umumnya tak diizinkan. Yang dilakukan terutama memang penempaan mental - meskipun' tetap dengan gaya santai. Seorang pelajar yang pernah mengikuti Pesantren Kilat di Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat, menggambarkan Pesantren Kilat sebagai "pelajaran bagaimana seharusnya menjalani hidup sehari-hari sebagai seorang muslim." Bangun pagi, shalat, mengaji, kemudian mendiskusikan segala hal dengan pembimbing di situ, di samping menjalani hidup di desa. Tentu, mereka yang baru pertama kali mengikuti acara ini bisa beroleh macam-macam. Dua-tiga hari pertama, bagi remaja kota besar yang kaya atau biasa manja, bisa memberi kejutan. Ia harus mencuci pakaian sendiri, misalnya. Juga, tubuh bisa saja gatal-gatal -- karena harus mandi di pancuran seperti rakyat lain. Tentu saja airnya bukan seperti yang dari PAM, nyong -- meskipun sangat segar. Tapi kalau kemudian ia berniat kembali ke situ tahun berikutnya, tentulah tak hanya pengalaman gatal-gatal itu yang menghimbau. "Sekali saya tak sembahyang, serasa saya punya utang terus," kata seorang siswa SMA yang pernah ikut Pesantren Kilat Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Pokoknya, "akhirnya anak-anak itu menemukan sesuatu yang tak pernah ada di sekolah. Mereka bisa mengeluarkan isi hatinya tentang apa saja dengan bebas," tutur Ir. Hasan Babsel, Direktur Pendidikan Said Naum, perguruan Islam di Tanah Abang, Jakarta. Perguruan ini sejak 1979 justru membuka program pesantren kilat di bulan puasa. DISAYANGKAN memang, kalau program yang lebih bersifat pembinaan hidup ini terganggu. Tapi untuk membuka Pesanrren Kilat di luar bulan puasa memang repot. Soalnya pada bulan itulah pesantren relatif kosong. Kalau diadakan di bulan ketika sekolah umum libur tapi pesantren tidak, tentulah pesantren harus menyediakan ruang sendiri. Di samping itu ada kekhawatiran program itu mengganggu para santri -- seperti dituturkan Kiai Haji Masduki, pimpinan Pesantren Al Ikhlas di Desa Tambakyosowilangun, Kecamatan Tandes, Surabaya. Pesantren ini termasuk yang menghentikan program pesantren kilanya sejak 1979 -- apa boleh buat. Pesantren Pabelan, Magelang, yang tahun lalu mendapat hadiah arsitektur dari Agha Khan Foundation, tetap mengadakan pesantren kilat bulan puasa. Di masa liburan ini mereka akan memulainya pada unggal 4 Juli. Belum jelas berapa pesertanya. Tapi ada kemungkinan meningkat, karena hampir setengah bulan puasa kebetulan merupakan bagian libur panjang tahun ini. Tahun lalu, pesantren yang lingkungannya sangat enak dan tenteram itu, menerima 265 santri pendatang. Bandingkan misalnya di tahun 1978 ketika bulan puasa masih merupakan libur sekolah. Pesertanya waktu itu sekitar 700. Bila memang benar, bahwa pendidikan formal alias pendidikan sekolah masih saja cenderung menggarap segi intelektualitas, sesungguhnya semacam pesantren kilat (atau Bible Camp) merupakan pelengkap yang sungguh menolong. Program semacam itu lebih konkrit memberikan bekal rohani dan moral, berdasar agama masing-masing, yang sebenarnya diminati banyak orang. Cobalah dengar suara Yulianto atau Damos Tobing atau yang lain-lain itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus