PAK Dawud jebolan sekolah menteri pengairan. Punya milik, punya
hidup, punya hak. Udara segar, matahari bersinar dan keindahan
alam adalah miliknya. Bangun pagi, mengolah tanah, tahu
bersyukur adalah hidupnya.
Sebab itu umur panjang dan kedamaian telah ditambahkan Tuhan
sebagai haknya. Sepanjang pagi ia mengurus tanaman luncang di
ladang. Pagi makan ubi, siang ditentukan sang istri. Dan daun
kubis tua adalah kegemarannya. Ikan asin atau sepotong daging
hanya ia ambil harumnya saja. Begitulah ia menjaga badan dan
kebahagiaannya.
Pak Dawud suka membaca. Suka memberi tanda pada larik-larik
huruf di bukunya. Segala rupa buku tersimpan baik di rak
kamarnya. Bila tiba masanya membaca (yaitu kalau seluruh
tugasnya hari itu dianggap selesai), ia duduk tepekur di tepi
jendela kamarnya, seperti sedang mendoa. Begitulah Pak Dawud
mengurus kesukaannya. Sebab itu pula ia bagai mata air yang tak
pernah kering bagi para tetangganya.
Di suatu senja yang sejuk Pak Dawud duduk seperti pangeran tua.
Di atas tikarnya yang tergelar mengkilat karena geseran pantat.
Para tetangga dan tetamu pun segera mengambil tempat. Angin
gunung masuk ruang tengah menyembur dingin seperti baru saja
melewati bongkah-bongkah es di sekeliling rumah. Pak Dawud
mengancing leher surjannya. Sarung hitam ia rapatkan.
Pak Dawud: Begini (Pak Dawud mulai dengan ringan). Kalian tentu
pernah mendengar cerita dari India. Sebuah cerita tentang agama.
Begini. Ada lima orang buta ingin tahu seperti apa binatang
gajah. Satu memegang kuping, satu belalai, satu perut, sisanya
dapat ekor dan kakinya. Gajah itu seperti kipas, kata yang
memegang kuping. Gajah itu seperti pokok bambu besar, kata
pemegang kaki. Gajah itu seperti tali timba, teriak yang
mendapat ekor. Gajah seperti tembok, tukas yang kebagian perut.
Bagaimana bisa, menurut perasaanku gajah itu seperti pipa karet
besar, teriak yang terakhir sambil memegangi belalai sang gajah.
Nah, andaikata di situ ada orang -- biar cuma punya satu mata -
apa kira-kira komentarnya? Dan menurut kalian, gajah itu seperti
apa?
Tetangga I: Gajah ya seperti gajah. Soalnya kami tidak buta pak!
Dan saya kira tak seorang pun sekarang ini mau dikatakan orang
buta, lebih-lebih orang-orang beragama.
Pak Dawud: (Menghangat karena kesal intronya cepat terpotong)
Dengarlah dahulu. Cerita tadi juga tidak bermaksud mengatakan
semua orang beragama adalah orang buta. Tapi sedikitnya ia
memberi gambaran tentang apa yang disebut kemajemukan agama.
Mungkin tidak menjadi soal kalau kelima orang buta tadi
diam-diam, nampaknya tidak. Kelanjutan cerita adalah
pertengkaran mereka yang ramai. Bahkan dilanjutkan lagi dengan
perkelahian mereka berlima. Masing-masing saling bertahan bahwa
gajah adalah seperti tembok, seperti tali timba, seperti pokok
bambu besar dan lain sebagainya. Ingat, cerita itu baru menjadi
cerita karena pertengkaran kelima orang buta tersebut!
Tetangga II: (Memancing. Menghangat) Nah, kalau begitu menurut
bapak siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah di
antara mereka berlima?
Tetangga III: (Sambil menahan dingin) Jelas pertanyaan salah.
Karena tentu tidak ada yang paling salah, tidak ada pula yang
paling benar. Tidak ada yang paling. Untuk sebagian mereka
masing-masing benar, tapi untuk keseluruhan mereka semuanya
salah. Nah Pak Dawud, sekarang pertanyaan saya adalah siapakah
yang sebenarnya berperan sebagai si mata satu dalam cerita itu,
dan apa pula peranannya kemudian dalam cerita itu?
Tetangga I: (Suaranya gemetar karena dingin dan karena emosi)
Katakanlah dulu pendapat kalian: kenapa Tuhan membuat atau
menurunkan begitu banyak agama! (Ia merasa berani dengan
pertanyaan itu. Tapi kemudian berangsur-angsur menyesal, karena
merasa terlampau berani) maksud saya, kenapa orang harus
bertengkar dan berkelahi, dengan atau tanpa agama?
Pak Dawud: (Pak Dawud mengambil haknya sebagai tetua.
Menggunakan miliknya sebagai penyabar) Setiap cerita ada batas
tafsirannya. Kalau cerita dari India tadi membuat kalian
bertanya-tanya, cukuplah itu bagi saya. Saya membuka cerita itu
justru karena saya juga masih ingin bertanya. Asal jangan kalian
lupa bahwa sebagai pemelihara kekayaan rohani, pembawa dan
penyimpan kebenaran, sebagai pengasuh kehidupan serta penjaga
kesatuan umat, setiap agama memiliki naluri keibuan yang kuat.
Sudah berabad-abad lamanya tugas-tugas itu dilakukan oleh
agama-agama dengan amat setianya. Naluri keibuan dari agama ini
sering muncul dalam bentuk keberangan atau kecemburuan,
khususnya kalau mereka merasa harus menjaga keselamatan dan
keutuhan umatnya.
Dalam keadaan semacam itu pertemuan antar agama sering menjadi
seperti pertemuan para ibu yang layaknya saling memamerkan
kelebihan-kelebihan mereka serta menunjukkan kelemahan-kelemahan
pihak lainnya. Meskipun hal itu sering pula terjadi tanpa
sengaja.
Alhasil ejek-mengejek tak jarang terjadi, bahkan saling
menyeringai pun jadi. Nah, tapi selemah-lemahnya seorang ibu ia
kuasa menanggung seluruh duka cita anak-anaknya. Tak ada
kekuatan spiritual lain yang lebih teguh dari agama dalam
kesetiaannya menemani kehidupan anak manusia. Sampai ke ajal
mereka. (Malam pun benar-benar terasa dingin).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini