Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Giliran pak dawud bicara soal agama

Setiap agama memiliki naluri keibuan yang kuat, pemelihara kekayaan rokhani, pengasuh kehidupan serta penjaga kesatuan umat. tak ada kekuatan spiritual lain yang lebih teguh dari agama dalam kesetiannya.

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Giliran pak dawud bicara soal agama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PAK Dawud jebolan sekolah menteri pengairan. Punya milik, punya hidup, punya hak. Udara segar, matahari bersinar dan keindahan alam adalah miliknya. Bangun pagi, mengolah tanah, tahu bersyukur adalah hidupnya. Sebab itu umur panjang dan kedamaian telah ditambahkan Tuhan sebagai haknya. Sepanjang pagi ia mengurus tanaman luncang di ladang. Pagi makan ubi, siang ditentukan sang istri. Dan daun kubis tua adalah kegemarannya. Ikan asin atau sepotong daging hanya ia ambil harumnya saja. Begitulah ia menjaga badan dan kebahagiaannya. Pak Dawud suka membaca. Suka memberi tanda pada larik-larik huruf di bukunya. Segala rupa buku tersimpan baik di rak kamarnya. Bila tiba masanya membaca (yaitu kalau seluruh tugasnya hari itu dianggap selesai), ia duduk tepekur di tepi jendela kamarnya, seperti sedang mendoa. Begitulah Pak Dawud mengurus kesukaannya. Sebab itu pula ia bagai mata air yang tak pernah kering bagi para tetangganya. Di suatu senja yang sejuk Pak Dawud duduk seperti pangeran tua. Di atas tikarnya yang tergelar mengkilat karena geseran pantat. Para tetangga dan tetamu pun segera mengambil tempat. Angin gunung masuk ruang tengah menyembur dingin seperti baru saja melewati bongkah-bongkah es di sekeliling rumah. Pak Dawud mengancing leher surjannya. Sarung hitam ia rapatkan. Pak Dawud: Begini (Pak Dawud mulai dengan ringan). Kalian tentu pernah mendengar cerita dari India. Sebuah cerita tentang agama. Begini. Ada lima orang buta ingin tahu seperti apa binatang gajah. Satu memegang kuping, satu belalai, satu perut, sisanya dapat ekor dan kakinya. Gajah itu seperti kipas, kata yang memegang kuping. Gajah itu seperti pokok bambu besar, kata pemegang kaki. Gajah itu seperti tali timba, teriak yang mendapat ekor. Gajah seperti tembok, tukas yang kebagian perut. Bagaimana bisa, menurut perasaanku gajah itu seperti pipa karet besar, teriak yang terakhir sambil memegangi belalai sang gajah. Nah, andaikata di situ ada orang -- biar cuma punya satu mata - apa kira-kira komentarnya? Dan menurut kalian, gajah itu seperti apa? Tetangga I: Gajah ya seperti gajah. Soalnya kami tidak buta pak! Dan saya kira tak seorang pun sekarang ini mau dikatakan orang buta, lebih-lebih orang-orang beragama. Pak Dawud: (Menghangat karena kesal intronya cepat terpotong) Dengarlah dahulu. Cerita tadi juga tidak bermaksud mengatakan semua orang beragama adalah orang buta. Tapi sedikitnya ia memberi gambaran tentang apa yang disebut kemajemukan agama. Mungkin tidak menjadi soal kalau kelima orang buta tadi diam-diam, nampaknya tidak. Kelanjutan cerita adalah pertengkaran mereka yang ramai. Bahkan dilanjutkan lagi dengan perkelahian mereka berlima. Masing-masing saling bertahan bahwa gajah adalah seperti tembok, seperti tali timba, seperti pokok bambu besar dan lain sebagainya. Ingat, cerita itu baru menjadi cerita karena pertengkaran kelima orang buta tersebut! Tetangga II: (Memancing. Menghangat) Nah, kalau begitu menurut bapak siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah di antara mereka berlima? Tetangga III: (Sambil menahan dingin) Jelas pertanyaan salah. Karena tentu tidak ada yang paling salah, tidak ada pula yang paling benar. Tidak ada yang paling. Untuk sebagian mereka masing-masing benar, tapi untuk keseluruhan mereka semuanya salah. Nah Pak Dawud, sekarang pertanyaan saya adalah siapakah yang sebenarnya berperan sebagai si mata satu dalam cerita itu, dan apa pula peranannya kemudian dalam cerita itu? Tetangga I: (Suaranya gemetar karena dingin dan karena emosi) Katakanlah dulu pendapat kalian: kenapa Tuhan membuat atau menurunkan begitu banyak agama! (Ia merasa berani dengan pertanyaan itu. Tapi kemudian berangsur-angsur menyesal, karena merasa terlampau berani) maksud saya, kenapa orang harus bertengkar dan berkelahi, dengan atau tanpa agama? Pak Dawud: (Pak Dawud mengambil haknya sebagai tetua. Menggunakan miliknya sebagai penyabar) Setiap cerita ada batas tafsirannya. Kalau cerita dari India tadi membuat kalian bertanya-tanya, cukuplah itu bagi saya. Saya membuka cerita itu justru karena saya juga masih ingin bertanya. Asal jangan kalian lupa bahwa sebagai pemelihara kekayaan rohani, pembawa dan penyimpan kebenaran, sebagai pengasuh kehidupan serta penjaga kesatuan umat, setiap agama memiliki naluri keibuan yang kuat. Sudah berabad-abad lamanya tugas-tugas itu dilakukan oleh agama-agama dengan amat setianya. Naluri keibuan dari agama ini sering muncul dalam bentuk keberangan atau kecemburuan, khususnya kalau mereka merasa harus menjaga keselamatan dan keutuhan umatnya. Dalam keadaan semacam itu pertemuan antar agama sering menjadi seperti pertemuan para ibu yang layaknya saling memamerkan kelebihan-kelebihan mereka serta menunjukkan kelemahan-kelemahan pihak lainnya. Meskipun hal itu sering pula terjadi tanpa sengaja. Alhasil ejek-mengejek tak jarang terjadi, bahkan saling menyeringai pun jadi. Nah, tapi selemah-lemahnya seorang ibu ia kuasa menanggung seluruh duka cita anak-anaknya. Tak ada kekuatan spiritual lain yang lebih teguh dari agama dalam kesetiaannya menemani kehidupan anak manusia. Sampai ke ajal mereka. (Malam pun benar-benar terasa dingin).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus