Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Luka bekas panah di Jayawijaya

4 mahasiswa dari klub pecinta alam aranyacala, universitas trisakti tewas selagi mendaki puncak cars tenz di ir-ja. diduga dibunuh gerombolan pengacau. mula-mula mereka dikabarkan hilang.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-mula mereka dikabarkan hilang di puncak Jayakusuma, Irian Jaya. Berminggu-minggu berlalu, sejak pertengahan Maret lalu, tapi tidak ada juga kabar yang pasti. Lalu pekan silam, datanglah berita itu: empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tersebut sudah meninggal. "Keempatnya memang sudah tewas," ujar Wakil Gubernur Irian Jaya Soegijono kepada TEMPO. Dengan tewasnya keempat orang itu berarti jumlah korban pendakian gunung bertambah. Maret lalu, enam siswa STM Pembangunan Jakarta tewas diGunung Salak, Jawa Barat. Seperti juga siswa STM itu, keempat mahasiswa Trisakti tersebut meninggal dalam cuaca dingin. Sayangnya, mereka tewas sebelum tujuan mereka tercapai: menaklukkan puncak setinggi 4.884 meter itu. Keluarga mahasiswa yang malang itu uga sudah menerima kepastjan nasib anaknya. "Kami baru menerima berita duka. Mereka akan sampai di sini hari Kamis," ujar Darwis, ayah Darma Surya Purnama, salah seorang dari empat mahasiswa itu, Senin pekan ini. Wiraswastawan ini tampak sangat terpukul akibat kepergian Darma. Ibunya juga menderita stress cukup berat. Maklumlah, Darma,23 tahun, sudah duduk di tingkat IV Jurusan Geologi Trisakti. Darma bersama dengan Kacuk, 22 tahun, Irwan Fauzi, 23 tahun, dan Agus Putra, 22 tahun, memulai ekspedisi itu awal Maret yang lalu. Keempatnya tergabung dalam klub pecinta alam Aranyacala yang bernaung di bawah Universitas Trisakti. Seperti citacita setiap pendaki gunung, empat anak ini pergi dengan satu tujuan: menancapkan bendera Aranyacala di puncak Jayakusuma. Puncak berselimut salju abadi di Pegunungan Jayawijaya yang lebih dikenal dengan nama puncak Carstenz itu memang merupakan puncak yang bergengsi. Sebab, inilah puncak yang pahng sulit didaki di Indonesia. Apalagi lewat dinding sebelah selatan. Baru kelompok Skygers dari Bandung yang mampu melewati dinding selatan ini pada 1982. Darma, sudah dikenal sebagai pendaki yang tangguh. Hampir semua gunung di Jawa Barat sudah ditaklukkannya. "Ia juga sudah pernah mendaki Gunung Kerinci, Singgalang, dan Merapi," ujar Darwis mengenang pengalaman anaknya. Kacuk, mahasiswa semester VIII Jurusan Arsitektur, juga punya pengalaman cukup banyak. Hampir semua gunung di Jawa dan Bali sudah pernah dijajalnya. Agus Putra, mahasiswa tingkat IV Seni Rupa, bahkan pernah ikut Sekolah Pendaki Gunung yang diadakan klub beken Wanadri. Semua gunung di Jawa sudah tak asing lagi baginya. "Tiap hari Minggu Agus berlatih. Sering kali di Citatah, dilatih Skygers," ujar Azis, salah seorang adik Agus. Citatah adalah bukit tempat berlatih mendaki tebing di dekat Bandung. Irwan Fauzi juga sudah pernah mendaki gunung di Jawa dan luar Jawa. Anak karyawan perusahaan pengeboran minyak Huffco ini mengikuti jejak ayahnya, memilih Jurusan Teknik Perminyakan. Tahun ini adalah tahun keempatnya di Trisakti. Irwan dan ketiga rekannya bcrmaksud memanfaatkan waktu libur mereka. Sayang, sebelum niat mereka sampai, ajal sudah menjemput. Bukan karena badai salju, kelaparan, atau kekurangan oksigen. Atau kedinglnan - konon suhu di puncak mendekati 0 derajat Celsius - atau terperosok di salju. Tapi, diduga keempatnya tewas dibunuh. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, pada mayat mereka ada luka bekas panah. Tampaknya, kata sumber tadi, rombongan dengan 170 orang porter (pembawa barang) asal Kecamatan Ilaga, Kabupaten Paniai kecamatan terakhir untuk memulai pendakian berketinggian 2.300 meter - itu diserang gerombolan pengacau liar. Bersama empat mahasiswa, tiga orang porter orang Ilaga juga tewas. Sisanya sudah lebih dulu melarikan diri kembali ke Ilaga. Belum jelas benar apa motif penyerangan itu. Hanya diberitakan, pada 14 Maret lalu-setelah menempuh empat hari perjalanan enam orang porter sudah kembali ke Ilaga. Dari mereka inilah diketahui bahwa para mahasiswa Trisakti itu ditahan oleh gerombolan. Anehnya, pada 19 Maret, ada putra daerah yang berpapasan dengan rombongan Trisakti. Ia menyatakan keadaan rombongan baik-baik saja. Walaupun begitu, sehari kemudian, satu regu Kopassus dan satu regu Brimob mulai bergerak mencari. Tapi, rupanya, anak-anak Trisakti itu sudah keburu disudahi oleh gerombolan. Puncak Jayakusuma memang sudah banyak meminta korban. Ekspedisi Mapala UI pada 1981, yang dipimpin pendaki gunung terkenal Norman Edwin, harus kehilangan seorang anggota. Hartono Basuki tewas dalam upaya menaklukkan puncak. Tim ekspedisi Wapeala (mahasiswa pecinta alam) Universitas Diponegoro Semarang juga mengalami musibah, akhir Februari lalu. Ekspedisi yang dinamakan "Ndugundugu" ini berangkat dengan anggota 10 orang. Berbekal dana Rp 5 juta dan peralatan seberat 500 kg, ekspedisi ini selain ingin menaklukkan Jayakusuma juga melakukan penelitian kesehatan. Yaitu pengaruh kekurangan oksigen pada fisik pendaki. Ternyata, izin tak mudah diperoleh. Capa Ismail, Komandan Koramil Kecamatan Ilaga, hanya memberi izin mendaki daerah sekitar Ilaga saja. Alasannya, seperti dituturkan seorang anggota tim pada TEMPO, pada saat menjelang pemilu kegiatan gerakan pengacau agak meningkat. "Tapi kami malu untuk pulang tanpa hasil. Biayanya 'kan kami dapat dan universitas dan sponsor," kata Fajar, anggota ekspedisi. Akhirnya, setelah membuat perjanjian dengan aparat keamanan, bahwa mereka bersedia menanggung risiko sendiri, rombongan itu nekat mendaki sampai ke puncak. Mulanya, untuk menilik situasi keamanan, tiga orang dari mereka mendaki Gunung Kelabu (3.815 meter). Malang, pada ketinggian 3.500 meter, Rustam dan Burhan yang naik lebih dulu diserang badai salju. Sialnya, pesawat handy talky juga tak bisa berhubungan lagi dengan pos komando. Kondisi Rustam makin memburuk. Akhirnya, Burhan memutuskan untuk meninggalkan rekannya di pinggir sungai. Ia segera turun mencari bantuan. Buasnya medan dan terjalnya tebing menyebabkan baru dua hari kemudian bantuan datang. Terlambat. Rustam sudah tak bernapas lagi. Gerombolan pengacau manakah yang menamatkan riwayat mahasiswa Trisakti tadi? Belum jelas benar. Sampai awal pekan ini, keempat jenazah mereka masih berada di lokasi, ditunggui penduduk asli. Evakuasi jenazah akan dilakukan dengan helikopter. Empat peti jenazah sudah disiapkan buat mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus