POLITIK, menurut Ridwan Saidi, pada dasarnya adalah bagaimana ikhtiar-ikhtiar perumusan kehendak dilakukan, dan bagaimana proses perumusan itu berlangsung. Mestinya memang demikian. Sebab, bagaimana massa dan para kontestan berhubungan, jika yang ada cuma ideologi yang penuh janji yang kabur? Tapi itu pulalah yang masih terlihat mewarnai pemilu yang baru berlangsung. Tidak sulit dimengerti: program, sebagai komoditi utama pemilu, adalah barang baru bagi kontestan dan massa. Karena itu, bicara besar gaya lama memang masih sulit ditinggalkan. Tapi, siapa pun yang mencoba mengerti arti dan konsekuensi berlakunya asas tunggal, tentulah berharap melihat pemilu yang lain pada masa mendatang. Konsekuensi pertama, ideologi berakhir sebagai komoditi utama. Kedua, konsekuensi lebih lanjut: program menjadi satu-satunya komoditi politik yang ditawarkan. Tidak usahlah dikatakan bahwa penerimaan asas tunggal dan hasrat berprogram saja sudah cukup untuk mengubah bentuk pemilu. Jika diketahui bahwa cara berpolitik lewat program adalah tabiat berpolitik di negara dengan tingkat kemajuan masyarakat tertentu, jelas perkembangan masyarakat merupakan variabel yang harus hadir sebelum harapan melihat pemilu bentuk lain menjadi kenyataan. Marilah kita sekarang percaya bahwa semua syarat untuk itu bakal hadir pada satu atau dua pemilu mendatang. Bagaimana bentuk pemilu itu kelak? Kita mulai saja dugaan kita dengan bertolak dari ketiga kontestan. Karena semua sudah menerima asas Pancasila, sulit membedakan ketiga orpol ini dalam keadaan mereka diam. Mereka harus angkat bicara. Dan jika mereka tahu prinsip ekonomi, angkat bicara terutama berlangsung saat menghadapi pemilu. Supaya massa tldak bmgung membedakan yang mana singa yang mana pelanduk, sudah tentu ketiganya harus memperjelas diri dan kemauan masing-masing. Nah, kemauan inilah yang kita sebut program. Program ini berfungsi ganda: untuk menarik sebanyak mungkin-pemilih di satu pihak, dan sebagai rencana dasar untuk bertindak setelah menang pemilu di lain pihak. Tapi bagaimana program dirumuskan? Karena salah satu fungsi program adalah menjala sebanyak mungkin pemilih, logisnya program dirumuskan setelah melihat kebutuhan pemilih terbanyak. Politikus macam apa pula yang mau memboroskan waktu menyusun program untuk sejumlah kecil calon pemilih? Karena hal itu sulit dibayangkan, maka tiap kontestan tentu berusaha mempunyai sejumlah ahli yang bertugas memantau kemauan orang banyak yang akan mereka pikat. Dan karena umat Islam tergolong orang banyak yang banyak, tentu mereka jadi incaran ketiga kontestan. Tapi tidak mudah: orang Islam ada di berbagai ormas dan organisasi profesi. Kecuali dalam soal-soal paling dasar, kepentingan-kepentingan mereka jelas berbeda-beda. Diperlukan energi dan kerja keras para ahli ketiga kontestan untuk merumuskan perbedaan-perbedaan ini ke dalam sejumlah program. Untuk memikat sebanyak mungkin calon pemilih, bisa dibayangkan program-program itu nantinya bersifat umum dan sedapat mungkin menghindari hal-hal kontroversial. Apakah para kontestan sibuk sendiri? Jelas tidak. Karena umumnya para pemilih tergabung dalam berbagai ormas dan organisasai kepentingan, maka setiap organisasi - kita sebut saja subsistem, sebab ketiga kontestan tergolong dalam sistem - sibuk pula merumuskan kepentingan dan harapan para anggota. Maka NU, Muhammadiyah, Al Washliyah - sebagaimana juga Parfi, Ikahi, HKTI, Kadin - semua sibuk merumuskan kepentingan masing-masing. Kepentingan mereka tentu tidak selalu sama. Kepentingan NU, Muhammadiyah, serta ormas Islam lainnya hanya sama dalam satu hal: sepanjang menyangkut masalah Islam yang paling dasar, hal-hal yang prinsip, yang memang tidak bisa ditawar-tawar. Sisanya tergantung kepentingan anggota masing-masing. Jika NU, misalnya, mewakili orang-orang Islam pedesaan, sedang Muhammadiyah mewakili orang Islam di perkotaan, NU mungkin berkepentingan pada pembangunan masyarakat desa, sedang Muhammadiyah pada perkembangan prasarana permukiman di kota-kota. Semua itu harus mereka rumuskan dalam program. Menjelang pemilu, terjadi kontak antara sistem dan subsistem. Di sinilah politik sebagai bisnis mulai menampakkan dirinya. Dan akibat bisnis ini bisa macam-macam: NU mungkin mendukung Golkar, sedang Muhammadiyah bisa saja mendukung PDI, sementara ormas Islam lainnya memberikan dukungan kepada PPP. Tapi ini tidak lalu bersifat permanen: setiap menjelang pemilu, teradi lagi proses bisnis yang tadi. Dan jika harapan ini telah menjadi kenyataan, orang pun akan lupa apakah massa mengapung masih ada atau sudah bubar. Karena ini aman yang tidak lagi merepotkan pemerintah untuk melindungi massa dari kemungkinan "ditipu partai politik". Sebab, sebagian besar anggota masyarakat sadar akan hak dan kebutuhannya, dan karena itu menggabungkan diri dalam ormas-ormas yang dianggapnya bisa memperjuangkan kepentingannya. Zaman ini juga akan membebaskan para kontestan dari kesibukan membina kader. Akhirnya, para kontestan memang tidak lagi terutama memperhatikan orang seorang, sebab segala urusan diselesaikan lewat interaksi antara sistem dan subsistem. Maka, jika nanti masih ada apa yang kini disebut "aspirasi umat Islam", yang akan terjadi adalah musyawarah antara pimpinan ormas Islam dan para ulama serta cendekiawan Islam. Yang akan lahir dari musyawarah ini adalah perumusan kongkret dari aspirasi itu. Dan kalau orang percaya bahwa Islam pada dasarnya sesuai dengan akal sehat, besar kemungkinan "aspirasi umat Islam" itu juga di dukung orang bukan Islam. Ambillah masalah-masalah keadilan, kemaksiatan, korupsi, misalnya. Islam, Kristen, Budha, maupun golongan kebatinan, semua tentu sepakat. Yang jadi soal, tentu saja, bagaimana perumusan itu dilakukan sehingga mudah mendapat dukungan banyak pihak. Makin mudah satu program mendapat dukungan, makin tinggi nilai program itu di mata para kontestan - makin besar kemungkinan program itu diperjuangkan. Sebelum semuanya menjadi kenyataan, sedang kepentingan dasar umat Islam tersangkut di parlemen, maka yang besar kemungkinan terjadi adalah campur tangan para ulama dengan para pengikutnya setelah usaha pendekatan ormas Islam gagal. Ini jelas bukti tidak berfungsinya sistem ketlka subsistem uga belum slap, sehingga tubuh politik diterobos dan luar. Contoh klasik kejadian seperti ini adalah penyelesaian undang-undang perkawinan di luar forum parlemen. Untuk mencegah ketegangan politis macam dulu itu, adalah kepentingan dan kewajiban semua pihak untuk memfungsikan interaksi sistem serta subsistem. Ini berarti, baik politikus maupun orang banyak harus mempunyai tugas yang sama pentingnya - dalam suatu era politik yang meninggalkan ideologi dan menjagokan program.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini