Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bu lurah yang urung telanjang

Ekses pemilu di berbagai daerah. ada kertas suara ppp & pdi hanyut di sungai lurah di aceh timur mengintimidasi rakyat di madiun ada desa dengan kemenangan golkar 100%, padahal tak semua menusuk.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR dua pekan pesta demokrasi pemilu usai, tapi suara yang menggerutu terus saja terdengar. Tak jarang kekurangpuasan tadi merembet menjadi protes. Lazimnya, unjuk rasa kritis itu dilakukan oleh PPP dan PDI. Sementara itu, Golkar kelihatan tenang-tenang saja. Yang tercatat mengirimkan nota protes antara lain DPW PPP Aceh, tiga hari setelah pemungutan suara dilakukan. Beberapa hal yang dicatat PPP Aceh sebagai kecurangan, misalnya, beredarnya formulir C yang melebihi pemilih terdaftar dan pemilih tambahan. Ironisnya, banyak penduduk yang menjadi simpatisan partai Bintang itu yan tak mendapat surat panggilan. Selain itu, aparat pemerintah, yang semestinya netral, pada waktu pencoblosan jelas berlaku tidak adil. Misalnya yang terjadi di sebuah desa di Aceh Timur. Menurut laporan PPP itu, seorang kepala desa di sana berdiri di depan bilik suara dan "mengingatkan" warganya untuk menusuk Golkar. Protes senada juga dilansir DPW PPP Sum-Ut. Dalam suratnya kepada PPD (Panitia Pemilihan Daerah) I, PPP mencatat 44 kasus yang terjadi di delapan kabupaten/kota madya selama pemilu lalu. Salah satu kasus yang menarik adalah ditemukannya 600 lembar surat suara PPP dan PDI yang telah dicoblos, hanyut di sungai. Peristiwa itu, menurut catatan DPW PPP terjadi di Labuhanbatu. Di Madiun, Jawa Timur, ratusan masyarakat pendukung PPP dan PDI melakukan protes ke kantor cabang partai, Jumat pekan silam. Mereka menyatakan tidak bisa menerima hasil pemilu yang menurut mereka berbeda dengan yang terjadi. Di TPS 7 Duku Gemuruh, Kecamatan Gemarang Madiun, Golkar dilaporkan menang 100%. "Padahal, kami jelas tak mencoblos tengah," ujar massa yang memprotes. Ada juga pelanggaran yang tak tercatat dalam nota protes parpol. Tapi korbannya jelas, jiwa manusia. Misalnya nasib nahas yang menimpa Washington Sianturi, Komisaris Pembantu PDI di Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Tapanuli Utara, Sum-Ut. Adalah Washington yang sepuluh hari menjelang pemilu tewas ditusuk pisau Padapotan Manulang. Sesudah tubuh Washington terkapar, kemaluannya ditulisi PDI. Simpul pertengkaran terjadi akibat niat Washington yang ingin menjadi saksi di TPS di luar kecamatannya. Karena itu, ia harus meminta formulir AB kepada Serdin Manullang, kepala desa yang masih famili dengan Washington. Kabarnya, formulir itu tak sempat diberikan karena korban berlaku kasar bahkan sempat menampar kepala desa dan istrinya. Di Batak, kepala desa dianggap sebagai raja. "Masa ada seorang rakyat berani menampar rajanya," ujar seorang penduduk. Ulah Washington itu yang membuat masyarakat benci yang akhirnya berbuah pembunuhan itu. Selain mendapat santunan DPP PDI Rp 500 ribu, Washington juga dinyatakan sebagai pejuang PDI. Korban jiwa juga menimpa Golkar di Sum-Ut. Dali Ginting, 28, tewas ditikam Lesman Sitepu pada akhir minggu tenang. Hansip desa Hutambaru itu kabarnya dituduh penikamnya pernah merobek tanda gambar Banteng. Di Jawa Timur, ekses pemilu juga terjadi. Di provinsi yang menjadi basis NU itu kini masih tersisa dampak penggembosan. Sebelum pemilu berlangsung, sempat beredar isu yang menyatakan ada fatwa K.H. As'ad, rais am NU, bahwa orang orang yang melakukan penggembosan terhadap partai Bintang itu telah melanggar syariat Islam. 'Fatwa" ini sempat beredar luas karena harian Suara Indonesia, koran terbitan Malang, memberitakannya pertengahan April lalu. "Barang siapa yang suka menggembosi, maka tidak sah baginya menjadi imam salat dan menjadi wali pernikahan anaknya. Karena hukumnya sudah menjadi fasiq (rusak)." Itulah konon fatwa sang kiai yang dimuat di SI. Akibatnya memang luas. Tokoh-tokoh penggembosan kabarnya ada yang ditolak jamaah ketika akan memimpin salat. Bahkan K.H. Latifi, seorang tokoh NU di Malang, ditolak ketika akan menjadi wali perkawinan. Ya, astaghfirullah, penolakan itu datang dari seorang ulama juga, K.H. Zabur. Alasannya memang bukan alasan hukum Islam, tetapi, "Karena dia itu penggembos. Dan menurut fatwa As'ad dia 'kan sudah fasiq," ujar Kiai Zabur. Syarat untuk tak fasiq, bukan main-main, harus membaca syahadat, dan istighfar berkali-kali. Menurut Anwar Nurris, keponakan K.H. As'ad yang juga Sekjen PB NU, fatwa itu palsu. "Itu untuk mengacau keadaan dan untuk merebut suara NU," katanya. Ekses pemilu yang terjadi di Jawa Tengah cukup kocak. Seperti yang terjadi di Desa Kasinoman, Kecamatan Kalibening, Banjarnegara. Karena mendukung PDI, Nyonya Santi sekeluarga disekap kepala desanya. Dengan disaksikan penduduk, pendukung Banteng itu diancam dihukum mengemis, sembari mengucapkan kata-kata: "Banteng ngemis...banteng ngemis...". Untung, hukuman itu urung dan pada waktu pemilu lalu, "Saya dan keluarga tetap mencoblos PDI," kata nyonya pendukung PDI sejak 1972 itu. Kejadian lucu juga terjadi di Kelurahan Sangkrah, Solo. Nyonya Lurah Sangkrah, yang bernadar bila PDI menang akan telanjang, tak jadi mewujudkan niatnya itu. Padahal, banyak penduduk menantikannya. Awalnya, menurut sebuah sumber, keluarga lurah itu panas, ketika rombongan kampanye PDI lewat rumah mereka dan menyanyikan yel-yel yang menyinggung perasaan mereka. "Lir, ilir, Pak Lurah pergi ke Silir. Rakyat tak dipikir dan Bu Lurah mesti digilir...." Konon, begitulah ulah pemuda Banteng. Tentu saja Pak dan Bu Lurah keki. Sebab Silir di Solo terkenal sebagai tempat lokalisasi WTS. Karena panas, kabarnya Bu Mudjiyanto, ya bu lurah itu, sempat bernadar, ia akan telanjang kalau PDI menang. Hasil pemilu di Sangkrah memang mengagetkan: PDI berhasil mengumpulkan 2.307 suara, mengungguli Golkar yang hanya 2.100. Kenaikan suara PDI itu konon juga karena keinginan masyarakat untuk melihat bu lurah yang berhidung mancung dan berkulit kuning itu tampil tanpa busana. "Saya ikut nyoblos PDI karena ingin melihat Bu Lurah telanjang," ujar seorang pemuda mengakui. A. Luqman, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus