Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sore itu udara terasa sejuk de-ngan angin semilir, tapi Ahmad Khoiri, 35 tahun, membiarkan tu-buhnya bertelanjang dada. Dia se-olah sengaja memamerkan tubuh kekarnya kepada setiap orang yang ber-ada di sekitarnya. Matanya tajam menatap setiap orang yang lewat. Bibirnya te-rus menjepit rokok di depan salah satu kios di Pasar Porong Baru, Sidoarjo.
”Pak Ahmad sedang terbakar cembu-ru,” kata Sugiono, 45 tahun, kepada Tem-po, Jumat dua pekan lalu. Hatinya mung-kin sepanas lumpur yang disemburkan PT Lapindo. Sebelumnya, Ahmad dan Su-giono tinggal di Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka pergi gara-gara lumpur panas yang terus menyembur dari sumur yang dibuat PT Lapindo sejak 29 Mei lalu. Bersama sekitar 2.100 kepala keluarga mereka terpak-sa mengungsi, separuh di antaranya -me-ngisi kios-kios yang baru dibangun di Pasar Porong Baru.
Masalahnya, di Pasar Porong Baru ha-nya terdapat sekitar 300 kios plus 50 ruko. Jumlah ini tak sepadan dengan jum-lah kepala keluarga yang mengungsi. Setiap kios yang seukuran kamar kos ditempati tiga keluarga. Mereka hanya dipisahkan dengan selembar kain yang digantung.
Keluarga Ahmad dengan seorang anak mendapat jatah kios Q III, bersa-ma keluarga Sugiono yang mempu-nyai empat anak, dan keluarga Buaji, 40 tahun, dengan tiga anaknya. Awalnya me-reka berupaya menyesuaikan diri de-ngan situasi darurat. Apalagi, kebutuhan dasar mereka tercukupi. Setiap peng-ungsi mendapat santunan Rp 300 ri-bu. Pekerja yang menganggur gara-ga-ra pabriknya tergenang lumpur panas mendapat uang ganti kerja Rp 700 ribu setiap bulan. Mereka juga mendapat jatah makan tiga kali sehari lengkap de-ngan lauk daging atau telur.
Tapi kehidupan berjubel dalam satu kios sempit, lama-kelamaan, menimbul-kan masalah. Ini dialami keluarga- Ahmad. Setiap hari Ahmad harus meninggalkan tempat pengungsian un-tuk- bekerja sebagai kuli bangunan di Su-ra-baya. Hamidah, istrinya yang se-mula bekerja di pabrik rotan PT Victory Rotanindo sekarang menganggur di peng-ung-sian setelah pabriknya terge-nang lumpur panas. Hamidah termasuk yang mendapat uang ganti kerja. Sementara- itu, Jumarni, istri Buaji, juga harus be-kerja sementara suaminya menganggur.
Nah, pada siang hari Buaji dan Hamidah menghabiskan waktu tinggal di kios. ”Mereka kelihatannya ada hubung-an tertentu,” kata Sugiono, teman satu kios. Sugiono mencium hubungan akrab itu setelah dua minggu mereka pindah ke penampungan. Sebab, Sugiono sendi-ri termasuk yang menganggur setelah pabrik krupuk tempatnya bekerja ikut terendam lumpur. Namun, dia berupaya menutup mata hingga akhirnya Ahmad mengetahui sendiri perubahan sikap -is-trinya, tiga pekan lalu. Sang suami -me-naruh curiga setelah melihat kede-katan yang berlebihan antara Hamidah dan Buaji.
Rumah tangga Ahmad dan Jumarni yang sudah terbina selama lima tahun mengalami krisis paling berat. Ahmad akhirnya berhenti dari pekerjaan yang memberinya upah Rp 450 ribu setiap bulan sejak dua pekan silam. Hari-harinya dihabiskan hanya dengan duduk-duduk di depan kios sambil memamerkan tubuh kekarnya. Sayang, dia tidak berkenan saat Tempo berusaha menemuinya. Hamidah juga tak peduli pada perilaku suaminya dan tampak sibuk di depan te-levisi umum yang tersedia di penampungan.
Lumpur panas PT Lapindo telah mem-bawa akibat jauh hingga merusak rumah tangga. Laporan yang masuk ke koordinator pengungsi, sudah delapan keluarga yang resmi meminta dipin-dahkan dengan alasan keharmonisan ke-luarga yang terganggu. Tapi beberapa pengungsi mengatakan, keluarga yang bermasalah dengan pasangannya jumlahnya bisa mencapai lima kali lipat da-ri yang melapor. ”Mereka kebanyakan malu karena sudah ada yang ditolak pindah,” kata seorang pengungsi.
Mursidi, salah satu koordinator forum silaturahmi korban lumpur, meng-akuinya. ”Kami memang tidak memiliki data pasti, tapi kami mendengar ada puluhan keluarga yang hubungan rumah tangganya mulai retak,” katanya.- Koordinator sudah mengupayakan adanya bilik mesra. Bilik sebanyak lima ruang yang bisa dipergunakan sebagai tempat hubungan intim suami-istri itu ternyata tidak banyak dimanfaatkan. Gara-garanya, lokasi bilik itu agak terbuka sehingga yang masuk ke sana pasti akan terlihat pengungsi lain. ”Kami kan ma-lu,” kata seorang pengungsi.
Masalah keretakan rumah tangga- pengungsi bukan hanya terjadi di pe-nampungan Pasar Porong Baru. Sekitar- seratusan pengungsi lainnya tinggal di Balai Desa Renokenongo. Para pengung-si ini bahkan berada dalam satu ruang-an besar bersama. Melihat situasi sudah tidak lagi nyaman, beberapa keluarga memilih mendirikan tenda darurat di de-pan balai desa. Mereka memboyong keluarganya agar tidak bercampur dengan keluarga lain.
Sejumlah organisasi yang mem-bantu pengungsi khawatir akan semakin banyak keluarga yang bermasalah di peng-ungsian. Mereka kemudian mendesak PT Lapindo segera merumahkan peng-ungsi. ”Kami khawa-tir kalau sampai ter-jadi perceraian massal,” kata Anang Siroj, Ketua Forum Ulama dan Masya-ra-kat Sidoarjo. Untuk- sementara, yang bisa dilakukan para re-la-wan hanya memper-banyak ceramah agama di setiap usai salat lima waktu. Sa-lat pun me-reka upayakan berja-maah di tengah lokasi pasar.
Tuntutan segera me-rumahkan peng-ungsi akhirnya dipe-nuhi. PT Lapindo men-cairkan bantuan- Rp 5 juta rupiah untuk sewa rumah sela-ma dua tahun, Rabu pekan lalu. Selain itu, jatah makan pe-ngungsi diganti de-ngan uang Rp 10 ri-bu- bagi setiap perut saban hari sela-ma enam bulan. Tapi tuntutan ganti rugi sewa tanah yang ter-genang lumpur Rp 1,8 juta per hektare untuk sekali musim panen belum terpe-nuhi. ”Kami berha-rap Lapindo memba-yar untuk enam musim panen sekaligus,” kata Bupati Si-doarjo, Win Hendarso.
Pencairan uang sewa rumah itu mele-gakan hati Sugiono. Dia berharap konflik keluarga Ahmad dan Buaji yang mulai memanas bisa reda. ”Jika di rumah sendi-ri, meski ngontrak, kehidupan rumah tang-ga bisa berjalan normal,” katanya. Namun, hingga akhir pekan lalu, belum sa-tu pun pengungsi yang meninggalkan penampungan. Mereka masih sibuk mengurus pembukaan re-kening baru di bank untuk pengambil-an uang tersebut.
Jumlah pengungsi sendiri terus ber-tam-bah, karena luapan lumpur panas -be-lum juga berhasil disumbat. Hingga- saat ini lumpur itu telah menyebar lebih- dari 200 hektare lahan di tiga kecamat-an. Jika korban-korban baru yang muncul setiap hari tidak segera diperhatikan, bisa jadi cerita seperti yang dialami keluarga Ahmad Khoiri dan Buaji akan muncul lagi.
Agung Rulianto, Rohman Taufiq (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo