Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tarian tanpa Tabuhan Tifa

Perang antarsuku di Mimika menelan sembilan nyawa. Permusuhan klasik yang tak berkesudahan.

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teriakan mereka melengking membelah kesunyian. Di Kelurah-an Harapan, Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru, Kabupa-ten Mi-mika, Papua, puluhan lelaki berloncat-loncat ringan, lalu berlarian ke sana kemari. Mereka berkulit gelap, menenteng busur dan tombak. Mereka sedang memperagakan tarian perang.

Ada dua kelompok di sini. Yang sa-tu bertempat di lapangan sepak bola Kwam-ki Lama sebagai penantang, satu lagi berada di pintu masuk kampung yang sama menyambut tantangan. Tak ada tabuhan tifa, tak pula terdengar tiup-an tabura. Tubuh penari tanpa riasan relief fas-fas karerin, hanya berbalut T-shirt, banyak juga yang telanjang dada. Di wajah mereka ada corat-coret kapur putih.

Dengan sinar mata penuh dendam,- -mereka terus menari. Makin lama rit-menya makin tinggi. Ini memang bu-kan pertunjukan seni. Selanjutnya, be-terbang-anlah anak busur dan tombak da-ri dua kelompok yang saling berhadapan itu.

Tiga jam berperang, puluhan korban luka-luka bergelimpangan. Lalu sunyi. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Ada yang menggotong korban ke rumah sakit terdekat. Siapa yang berseteru itu? Suku Dani dan suku Damal yang saling berhadapan dalam perang tra-disional pada pagi Jumat pekan lalu itu.

Perang ini adalah serial kisruh yang -su-dah meletus sejak Jumat dua pekan lalu. Hingga akhir pekan lalu, menurut data Kepolisian Resort Mimika, sudah sem-bilan orang tewas dalam keributan itu.

Kisruh dua suku ini terjadi setelah se-orang anak, putra Nataniel Murib, Kepala Kampung Satuan Pemukiman (SP) XIII, Distrik Kuala Kencana, Kabupa-ten Mimika, tewas gara-gara terjerem-bab ke dalam sungai ketika mandi di SP XIII, Kamis dua pekan lalu.

Sebenarnya, tak ada yang salah dalam kematian anak itu. Kamis dua pekan la-lu, anak pengidap epilepsi itu mandi di sungai. Saat itulah penyakitnya kambuh sehingga dia nyasar ke dasar sungai. Se-orang kerabatnya berupaya menye-la-matkannya. Dia dilarikan ke Rumah Sa-kit Mitra Masyarakat Timika, namun nyawanya tak tertolong.

Setelah si anak meninggal, ayahnya yang dari suku Damal berselisih de-ngan ibunya yang berasal dari suku Dani. Mereka saling menyalahkan dalam menjaga anak. Dari sinilah kemudian membesar menjadi perseteruan antarsuku.

Sehari kemudian, beberapa kerabat ayah korban dari Kwamki Lama (suku Damal) melayat ke rumah duka. Gawatnya, mereka datang membawa busur dan anak panah. Terjadilah salah pengerti-an di tengah suku Dani yang bermukim di pintu masuk Kwamki Lama.

Akibatnya, salah seorang keluarga pa-man korban, Yonis Mom, dipanah dan tewas. ”Waktu itu sebenarnya sudah ada kesepakatan antara kepala suku, tokoh agama, dan beberapa tokoh masyarakat untuk tidak melanjutkan masalah ini,” kata Yulianus Wakerkwa, warga Kwamki Lama.

Namun, dua hari berselang, Albinus Kogoya dari suku Dani, tewas dibacok. ”Inilah yang memicu perang,” kata Yulianus. Apalagi, suku Damal tak menghiraukan permintaan warga Kwamki Lama yang menginginkan jenazah Albinus dipulangkan. Mereka marah ketika mengetahui jenazah Albinus diper-abukan.

Kematian kedua warga suku Dani itu cepat menyebar. Sore Minggu itu ju-ga, ra-tusan warga Dani yang menempati dua lokasi di bagian utara dan selatan Kwamki Lama mempersiapkan alat perang. Mereka seolah mengepung Kwamki Lama yang memang berada di tengah-tengah pemukiman suku Dani. Akhir-nya, perang sengit pun meletus dan korban tewas maupun luka-luka terus berjatuhan.

Esoknya, dua pimpinan suku mengum-pulkan warganya. Kepala Perang Suku Dani, Yakobus Kagoya, terlihat memim-pin upacara di kelompok suku Dani. Dia berpidato dalam bahasa daerah menyangkut perang. Ratusan orang yang lengkap dengan peralatan perang merapat. Mereka menyampaikan rasa berkabung ke kerabatnya yang tewas.

Di kelompok suku Damal, tampil Yunus Alom, Ketua Suku Damal, dalam upa-cara yang sama. Setelah itu, pada Senin itu juga, kedua suku berhadapan dan meletuslah perang sengit. Sembilan nyawa berjatuhan, ratusan luka-luka.

Kepala Kepolisian Resort Mimika, Ajun Komisaris Besar Polisi Jantje Jimmy Tuilan SE, bersama beberapa tokoh agama seperti Pendeta Abdiel Tinal dan Lukas Hagabal mendatangi suku Da-mal di lapangan bola kaki Kwamki Lama, Rabu pekan lalu.

Massa yang duduk melingkar mendengar pidato Abdiel Tinal. Intinya dia minta perang dihentikan. ”Jangan balas sakit hati dengan angkat panah. Sekarang bukan masanya lagi,” katanya.

Namun, pihak Damal yang bermarkas di lapangan sepak bola yang juga di tengah-tengah permukiman suku Da-ni mengajukan beberapa syarat damai. ”Kami mau berdamai asalkan mu-suh kami yang ada di jalan keluar-masuk Kwamki Lama dipindahkan ke tempat lain,” kata Yunus Alom, Ketua Suku Damal. Alasannya, perkampungan mereka yang terjepit di tengah-te-ngah suku Dani membuat warga yang tak ikut perang susah mencari bahan makanan. ”Musuh hanya bisa dibunuh di saat baku panah. Orang-orang yang tidak ikut perang, terutama para ibu dan anak-anak, tidak boleh diganggu,” kata Alom.

Selain itu, suku Damal juga keberatan dengan damai, sebab jumlah yang mati belum seimbang. Dari suku Damal yang telah tewas lima orang, sedangkan dari suku Dani empat orang. ”Jumlahnya harus sama, baru bisa damai,” katanya.

Upaya damai juga diusahakan Wakil Kepala Polres Mimika, Komisaris Polisi Jan Makatita. Dia mendekati suku Dani yang berkumpul di Pasar Harian, Kwamki Lama.

Jan Makatita sempat melihat ratus-an warga suku Dani berlari-lari di Jalan Kwamki Lama. Mereka berteriak-te-riak, mirip tarian perang. Seusai pa-gelaran adat, kepala perang suku Dani, Yakobus Kagoya, menjumpai Jan Makaita. ”Ini artinya kami siap berdamai. Ji-ka mereka (suku Damal) ingin perang, ka-mi juga siap,” kata Yakobus kepada Jan Katita.

Seusai pertemuan, suku Dani tetap siaga perang. ”Kami baku jaga. Salah satu pihak angkat panah, berarti kami baku panah lagi. Jadi, diam di markas bukan berarti damai,” kata Willem, salah seorang suku Dani.

Sampai di sini, perang antarsuku memang terlihat belum selesai. Itulah sebabnya, Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Be-sar Paulus Waterpau, sampai perlu berkunjung lagi ke kawasan yang berjarak 7 kilometer dari Timika itu.

Paulus memang pernah menjabat sebagai Kepala Polres Mimika. Pada 2004- itu, dia sudah mendamaikan empat- ka-li perang suku di wilayahnya. ”Ini memang- wilayah panas,” katanya. Waterpau memang mengetahui di sana bermukim be-berapa suku yang belum membaur meskipun tinggal berdekatan.

Menurut informasi dari Kwamki La-ma, riwayat perang antara Dani dan Da-mal memang sebuah cerita panjang. Bahkan mereka pernah terlibat perang yang lama pada 1920-1935. Perang itu dikenal dengan sebutan Perang Taganit. Perang ini melibatkan semua keturunan di dua suku itu.

Perang itu terhenti bukan karena damai, melainkan kelelahan. Kemudian, dua suku ini mulai saling mengadakan kontak pada 1977 di saat mereka mulai bermukim di Kwamki Lama. Di sini mereka mulai saling berkomunikasi.

Konflik muncul lagi saat PT Freeport Indonesia mengucurkan dana satu persen pada 1996. Mereka saling curiga, bahwa satu suku mendapat dana lebih besar dari suku lainnya. Hingga kini benih permusuhan masih tersemai. Begitu ada pemantiknya, maka jadilah perang se-perti yang terjadi pekan lalu.

Untuk meredakan peperangan, Polres telah mengirim sekitar 200 anggota Brimob dari Satuan II Pelopor Kedung Halang, Bogor, Jawa Barat, yang saat ini sedang bertugas di Mimika. Brimob datang dengan tameng dan senjata api.

Sebenarnya, bukannya tak ada jalan keluar untuk mengatasi perang suku. Apalagi, kedua belah pihak sudah meminta agar polisi mengusut siapa yang memantik perang. Dia harus dihukum.

Soal jumlah korban yang harus sama, menurut Pendeta Abdiel Tinal, bisa ditu-kar dengan denda berupa materi. ”Saya sudah sampaikan kepada masyarakat bahwa kalau kepala ganti kepala, maka itu akan menambah jumlah korban, le-bih baik hentikan perang saja,” kata Abdiel Tinal.

Nurlis E. Meuko, dan Marselus Dou (Timika)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus