NAMA Ali Said berkibar sejak menjadi hakim ketua Mahmilub Jakarta pada 1966. Waktu itu, Hakim Ali Said, yang sebelumnya menjadi jaksa pengadilan militerselama pemberontakan Permesta, mengadili tokoh PKI Njono dan Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio. Dua terdakwa subversif itu ia jatuhi hukuman mati, meski belakangan Subandrio memperoleh grasi lalu remisi hukuman. Pengalaman masa Mahmilub itu rupanya sangat berkesan baginya. Maka, ketika TVRI menayangkan wawancara Subandrio pada waktu kunjungan Menteri Kehakiman IsmailSaleh ke LP Cipinang, Jakarta, Lebaran tiga bulan lalu kontan Ali meradang. "TVRI keterlaluan. Tanya pejabat Departemen Penerangan, tahu nggak merekariwayat Subandrio," ujar Ali, yang kelahiran Magelang 12 Juni 1927 itu. Lulusan Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) yang terakhir berpangkat letnan jenderal itu bergaya kalem meski sikapnya keras. Bahkan ia mengakui dirinyakoppig alias kepala batu. Akibat sikapnya itu, ia bersilang pendapat dengan Menteri Ismail Saleh garagara ia tetap berpihak pada wadah tunggal advokat Ikadin yang ia rintis pembentukannya. Sementara itu, Ismail Saleh mendukung Asosiasi Advokat Indonesia, yang menyempal dari Ikadin dua tahun silam. Padahal, tahun 1980-an, Ismail Saleh dan Ali Said, bersama almarhum Mudjono masing-masing Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, dan Ketua Mahkamah Agung dikenalamat kompak sebagai triumvirat di bidang hukum atau Mahkeja (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung). Mereka bahkan menyebut diri punakawan Semar (Mudjono), Petruk (Ali Said), Gareng (Ismail) bahu-membahu membersihkan wajah hukum yang babak-belur kala itu. Lalu Ali Said menggantikan mendiang Mudjono sebagai Ketua MA. Maka, kakek empat cucu ini menduduki hampir semua pucuk pimpinan bidang hukum di Indonesia: Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, dan Ketua Mahkamah Agung. Iamelanjutkan "Operasi Kikis" yang dimulai Mudjono untuk memangkas berkas perkara yang menumpuk. Tapi, berkas kasasi masih juga berjejal hingga ia pensiun per 1 Juli lalu. Walau terkesan pendiam, sebenarnya Ali suka ceplas-ceplos dan berhumor. Selama tiga jam, diselingi celetukan humornya, Ali Said yang bertubuh ceking itumenerima Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO di rumahnya, kompleks perumahan pejabat tinggi, Jakarta, Ahad malam lalu. Berikutpetikannya: Sebelum serah terima, bukankah de facto ketua MA masih Anda pegang? Memang, sebelum serah terima saya masih bisa dimintai tanggung jawab, kendati saya manusia pensiunan. Teken juga sudah tidak. Kalau saya ikut sidang majelis, nanti malah bisa digugat, karena tak sah. Terhitung 1 Juli sudah tak ada kewenangan apa pun. Pimpinan tinggal wakil ketua dan para ketua muda. Anda terima SK pensiun 8 Juli berlaku surut mulai 1 Juli. Tapi kapan persisnya Pak Harto tanda tangan? Tanggal 6 atau 7 Juli. Kenapa terjadi keterlambatan? Itu hanya soal administrasi. Toh dalam SK disebutkan, pensiun berlaku mulai 1 Juli 1992, sudah sesuai dengan ketentuan perundangan. Tak ada unsur kealpaan. Bukannya karena eksekutif meremehkan lembaga peradilan? Orang yang suka komentar saja yang mungkin mengatakan begitu. Pencalonan ketua MA yang baru juga terlambat prosesnya. Kenapa hal ini bisa terjadi? Yang memulai proses pencalonan, menurut UU, itu ya DPR. Pasal 8 UU MA menunjuk, DPR mengajukan calon itu kepada presiden selaku kepala negara, setelah mendengar pemerintah, dalam hal ini Kehakiman atau MA. Dia yangmencalonkan, maka inisiatifnya dari dia. Dia kan harusnya mendatangi kami, harus ada approach yang aktif mengontak pemerintah dan MA. Ketika masa pensiun Anda sudah berlaku, dan Anda tak ke kantor, kabarnya Wakil Ketua Poerwoto memimpin rapat terbatas di MA? Itu karena dia didatangi Sekjen DPR yang minta nama-nama dan daftar riwayat hidup hakim agung dari A sampai Z. Tapi hasilnya nihil, tak ada putusan calontunggalnya, karena keputusannya, kata Poerwoto, tak sah jika tak diteken Pak Ali Said. Jadi, tak ada surat putusan apa-apa. Hanya catatan kepada MenteriMoerdiono, yang juga dilaporkan kepada saya. Isinya, tak ada calon, karena menunggu saya yang masih sakit. Siapa calon pengganti yang Anda usulkan? Dalam pertemuan terakhir saya dengan Pak Harto, bulan lalu, saya bilang, saya tak ingin celometan di depan Bapak. Bahkan di depan siapa pun saya tak inginmengubah kata-kata yang saya ucapkan. Di lingkungan MA ada yang namanya wakil ketua, lembaga yang diciptakan untuk mewakili. Singkatnya, baguslah kalau wakil ketua ini memperoleh perhatian untuk diangkat menjadi ketua. Yang kedua,di MA ada aturan tak tertulis, seyogyanya kombinasi dibuat. Misalnya, bila ketuanya ahli pidana, wakilnya dari perdata, atau sebaliknya. Kepada Pak Harto saya katakan, di sana sudah ada Ketua Muda Pidana Adi Andojo Soetjipto. Pak Harto bilang, kalau diperpanjang kan sudah pernah. Tapi saya ingatkan, itu bukan tradisi, tapi preseden. Soalnya, justru karena jabatan ketua MA semasa Oemar Senoadji yang diperpanjang terus itulah lahir UU MA ini. Bukankah Pak Harto menginginkan M. Djaelani jadi ketua MA? Di antara para hakim agung, Djaelani itu termasuk yunior, lepas dari jasa-jasanya mengembalikan citra Republik di forum internasional. Akhirnya, PakHarto pasrah bongkokan soal calon itu kepada saya. Saya merenungkannya, sambil ngumpet di Bali. Karena saya tak ingin beranjak dari pendapat saya semula, lalu saya sampaikan kesimpulan begini. Alternatif pertama, pasangan Poerwoto dan Adi, kedua, Poerwoto dan Djaelani. Selanjutnya, terserah Pak Harto. Untuk pertama kalinya, ketika Anda dilantik, Ketua MA mengambil sumpah di depan Presiden sebagai kepala negara, bukan diambil sumpahnya. Tapi, pada praktek kenegaraan, kenapa posisi MA seperti di bawah eksekutif dan legislatif? Dari sudut anggaran (APBN) itu cocok. Lihat saja berapa anggaran untuk hukum dan keadilan. MA memang betul betul kurang diperhatikan. Juga dalam hak uji,yang dibatasi kewenangannya. Paraturan yang bisa diuji itu di bawah UU, itu pun harus melalui perkara. Bayangkan, betapa pembatasan itu, walau memangfungsi yudikatif itu di mana pun kewenangan utamanya pada pemutusan perkara. Tapi, pembatasan hak uji itu bisa membuat apatis. Ada yang sampai bilang: Biar saja mereka bikin UU yang nyekek orang, sebodo amat, bukan urusan kita. Bukankah hak uji UU perlu diberikan kepada MA agar posisi Ketua MA sejajar dengan Presiden dan Ketua DPR? Alangkah baiknya begitu. Sebab, UU itu kan produk pemerintah dan DPR, biarlah MA sebagai kaki ketiga yang jadi pengamat kebenaran pelaksanaan UU itu. Berikan hak uji UU kepada MA. Kini, yang ada hanya hak uji di bawah UU, ditambah lagi di bawah suatu perkara. Ini kan sulit. Contoh kongkret, beberapa tahun lalu, Surya Paloh datang pada saya karena korannya Prioritas dibredel. Saya bilang, pembredelan itu digugat saja ke pengadilan. Tapi, itu tak ia lakukan. Apa MA pernah mempermasalahkan hak uji ini? Jawabnya, UU sudah telanjur. Maaf kalau terlalu ekstrem, wong kita sudah dipreteli, apa kemampuan kita? Jangan terlalu diharap. DPR itu kan wakil rakyat, jangan diklaim sebagai wakil rakyat dong kalau tak mampu menangkap gejolak yang ada di hati rakyat. Kalau kita punya hak uji di bawah UU tanpa perkara, lumayan. Ini masih harus melalui perkara. Sulit dan tak praktis. Ada,sih, peraturan daerah yang sudah kita putuskan hukumnya supaya dicabut. Lha, kalau tak ada yang menggugat? Jadi, pasal di UU mengenai hak uji perlu ditinjau? Ini tergantung DPR, yang bersama pemerintah adalah pembentuk UU. Keduanyalah yang mampu mengadakan introspeksinya untuk mengatakan ini patut, ini patut.Lalu untuk mengatakan: Mari kita berikan kepada pihak ketiga wewenang itu. Pihak ketiga dalam hal ini yudikatif. Tinggal mengubah UU, kok, kalau itusudah menjadi tekad politik. Masalahnya, harus dibulatkan menjadi tekad politik dulu. Nyatanya hak uji itu belum diberi. Ini kan mengecilkan arti yudikatif? Memang sejak semula tak pernah ada pemikiran hak kontrol itu ada pada MA. Makanya, hak uji itu untuk sekadar peraturan dan lewat perkara. Padahal, UUitu kan mengatur tata kehidupan manusia banyak, mestinya diperhatikan. Karena DPR bilang "saya kan wakil rakyat", kalau sampai UU ini tak dapat diterima masyarakat, merekalah yang pertama mendengarnya, dan akan memasalahkan kembali dengan pemerintah. Kenyataannya juga enggak. Kalau hak uji UU itu diberikan, fungsi saling kontrol lebih efektif? Ya jelas. UU mengatur tata kehidupan orang banyak. Mesti diperhatikan. Kalau hak itu benar-benar diberikan, siapa yang mengontrol MA? MA itu ibaratnya sidang terbuka, ada saksi-saksi. Teorinya, rakyatnya akan mengontrol. Sementara itu, kenapa banyak tugas MA yang tumpang-tindih dengan Departemen Kehakiman? Betul. Saya pernah bicara dengan Mas Ismail. Memang, administrasi hakim ditangani Departemen Kehakiman. Dia ngurusi hakim sejak dulu. Suatu ketika memang kebutuhan dari sudut pembinaan teknis kadang enggak cocok. Maka,diperlukan sesuatu untuk bisa mengatasi. Kesepakatannya, Dirjen Peradilan selalu orang MA. Duludulu hakim tinggi, kini mulai dijabat hakim agung. Masalahnya, jika MA juga harus dibebani administrasi, akan menjadi unit yangamat sangat besar. Jadinya hakim seperti berkepala dua? Soal ini, dulunya, sudah pernah saya obrolkan dengan mendiang Pak Mudjono, tapi belum ada usul kongkret. Dengan Mas Ismail Saleh, akhirnya kami atasisejalan dengan posisi Dirjen Peradilan itu. Tiap putusan, apakah mutasi, teknis, atau yang lainnya, sejalan dengan usulan Dirjen yang kemudian dibawake Menteri Kehakiman dan saya. Lalu kami bicara. Tapi posisi itu menyebabkan MA serba tanggung, tak bergigi dalam kasus mafia peradilan, belum lagi soal contempt of court? Sebenarnya sih masih ada. Tapi kan kami tak memiliki Irjen. Itu termasuk tugas administrasi ke departemen. Saya tak ingin menutup kenyataan adanya hakim yang nakal. Tetapi, jangan diabaikan, banyak juga masyarakat yang merusak hakim. Karena pengin menang, lalu jles (tangan Ali masuk ke saku baju wartawan TEMPO). Pertama atau kedua kali masih audzubillah, astaghfirullah.Tapi setelah kesepuluh, alhamdulillah. Saya minta tolong, hakim ini jangan dirusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini