SEBUAH seminar menarik pekan lalu berlangsung di Yogyakarta. Penyelenggaranya Universitas Gadjah Mada bersama Departemen Luar Negeri. Bukan untuk membicarakan soal "lepas landas" atau disiplin nasional, tapi untuk memperingati 40 tahun politik bebas aktif yang dianut Indonesia. Politik luar negeri yang bebas aktif untuk pertama kali dilontarkan secara resmi oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, 2 September 1948. Hatta waktu itu antara lain mempersoalkan: mestikah bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain yang bisa diambil dalam mengejar cita-cita dan memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia Merdeka seluruhnya? Pidato itu kemudian diterbitkan Kementerian Penerangan dengan judul Mendayung Antara Dua Karang. Ia meletakkan dasar pemikiran bahwa pelaksanaan kebijaksanaan politik luar negeri harus dipertimbangkan dari sudut kepentingan nasional. Rupanya, Hatta mampu melihat kemungkinan konstelasi politik global di masa datang dan posisi Indonesia serta peran yang bisa dimainkan kelak. Ketika itu, AS dan US yang semula bersekutu melawan Nazi Jerman dan keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, sama-sama bersaing merebut pengaruh. Sementara itu, pertikaian antara partai-partai politik di dalam negeri ketika itu juga meruncing, terutama lantaran oposisi yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat. Hanya beberapa hari menjelang meletusnya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September, FDR mendesak agar RI berpihak pada Soviet Rusia untuk menentang imperialisme. Tapi politik luar negeri yang dasarnya terumus dalam Pembukaan UUD 45 itu empat tahun kemudian, sempat diselewengkan ketika Kabinet Sukiman menandatangani Mutual Security Act dengan AS (1952) yang mengakibatkan kabinet jatuh. Persis empat tahun kemudian, penyelewengan kedua terjadi ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo menandatangani joint statement dengan Moskow. "pernyataan bersama dengan Moskow 1956 itu merupakan permulaan daerah bahaya di tepi kiri dari politik bebas aktif, sedang perjanjian MSA 1952 merupakan tepi kanan daerah bahaya," kata bekas Menlu Dr. H. Roeslan Abdulgani dalam seminar. Prestasi luar biasa dari politik luar negeri bebas aktif adalah mobilisasi semangat dan kekuatan bebas aktif di seluruh dunia dalam Konperensi Asia-Afrika (1955) yang diprakarsai Indonesia. Dan lima tahun kemudian, Presiden Soekarno -- atas nama Nasser (Mesir), Nehru (India), Tito (Yugoslavia), Nkrumah (Ghana) -- dalam pidatonya pada Sidang Umum PBB yang berjudul To Build the World Anew, antara lain menyerukan perundingan antara Eisenhower (AS) dan Khrushchev (US). Karena seruan itu tidak ditanggapi, diselenggarakanlah KTT Non-Blok di Beograd (1961), dihadiri lebih dari 100 negara, yang melahirkan istilah non-alignment, yang tiada lain merupakan politik bebas aktif Indonesia. Tapi Bung Karno sendiri pernah menyelewengkan politik luar negeri yang bebas dan aktif, ketika menetapkan "poros Jakarta-Peking" (1963). Hingga kini politik bebas aktif tetap konsisten dilaksanakan, terakhir dengan diselenggarakannya Jakarta Informal Meeting. Tapi apakah relevansi politik bebas dan aktif dalam perkembangan politik internasional kini? Bukankah situasi dunia sudah jauh berbeda dari 40 tahun silam? Konstelasi politik dunia saat ini sudah beralih dari bipolar antara AS dan US ke sistem multipolar dengan munculnya "karang-karang baru" seperti RRC, Jepang, dan Eropa Barat yang semakin bersatu. Dalam makalahnya, Menlu Ali Alatas menyatakan, kini tengah terjadi perubahan pesat dan mendasar di pentas dunia, hingga masalahnya lebih kompleks dan kait-mengait. "Tapi justru dalam keadaan demikian diperlukan keteguhan sikap dan ketajaman visi politik nonblok, dengan pendekatan koeksistensi damai atas dasar multilateralisme dan persamaan hak," ujarnya. Menurut Menlu, politik bebas aktif bukanlah politik "netral" yang pasif tidak memihak. Bukan pula politik yang "tak acuh" atau menjauhkan diri dari perkembangan dan permasalahan dunia, atau "mengambil jarak seimbang". Bukan pula hanya sebagai penengah. Dasar politik ini terletak pada sikap positifnya meredam ketajaman perselisihan dan persaingan antara kekuatan-kekuatan besar dengan memberi alternatif pendekatan terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia. Juga terletak pada aktifnya menyumbang terwujudnya tatanan dan hubungan internasional yang baru, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, keadilan, kesejahteraan, melalui kerja sama internasional, tanpa membeda-bedakan ideologi, sistem politik, atau sistem ekonomi negara masing-masing. Menurut Menlu Alatas, tingkat konsolidasi politik dan ekonomi yang dapat kita capai kini memungkinkan Indonesia mengambil peran dalam percaturan internasional. Bukan hanya sekadar partisipasiaktif, tapi juga kepeloporan, bahkan kepemimpinan. Indonesia kini memiliki posisi dan potensi yang cukup menonjol di antara negara-negara Dunia Ketiga. Itu sebabnya, dalam KTT Harare, Indonesia mencalonkan diri sebagai ketua dan tuan rumah bagi KTT Non-Blok tahun depan. Ada dua negara yang mencalonkan diri: Indonesia dan Nikaragua. Ali Alatas sendiri optimistis, Indonesia akan terpilih, sebab merupakan salah satu pendiri Gerakan Non Blok. Repotnya, tradisi pemilihan ketua Gerakan Non-Blok selama ini selalu dengan konsensus. Menurut bekas Menlu Mochtar Kusuma Atmadja, kalau keputusan itu diambil melalui pemungutan suara, dua pertiga anggota akan mendukung Indonesia. "Kalau kedua calon itu tidak terpilih, dan tidak ada konsensus, saya kira Yugoslavia merupakan alternatif terbaik. Tapi itu pendapat saya pribadi," katanya. Budiman S. Hartoyo (Jakarta) Djafar Bushiri (Kairo), dan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini