TIADA kongres tanpa ribut-ribut. Itulah mungkin ciri Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Setiap mau memilih ketuanya, selalu saja angin ribut datang. Kali ini, setelah kongres di Medan yang telah memilih Soerjadi sebagai ketuanya dinyatakan tak sah, akan terjadi di kongres luar biasa Surabaya. Dalam konferensi cabang khusus untuk menentukan utusan ke kongres luar biasa itu, sudah ada skenario agak transparan. Mereka mesti memilih calon yang sudah direstui, yakni Budi Hardjono. Tapi, dalam dua pekan terakhir ini, muncul dukungan di luar dugaan, yakni bagi Megawati Soekarnoputri. Putri Bung Karno, presiden pertama Indonesia, ini memang tak termasuk agenda yang digariskan dalam konferensi tingkat cabang. Namun, dalam gerak di lapangan, Mega dengan cepat mendapat dukungan. Setidaknya, pendapat umum sudah terarah bahwa Mega adalah calon terkuat. Cepatnya nama Mega melambung tentu tak lepas dari nama besar ayahandanya, Bung Karno. Orang, terutama di lingkungan PDI, yang mengenal Bung Karno berharap figur Mega tak jauh dari asalnya. Dan rupanya, inilah daya tarik yang tiba-tiba menguat pada Mega untuk maju sebagai calon ketua. Tampilnya anak Bung Karno di arena kongres PDI itu tentu ''mengganggu'' skenario yang sudah disiapkan Pemerintah. Dan keberanian massa PDI memunculkan calon yang belum disetujui Pemerintah itulah yang menjadi dasar penulisan Laporan Utama ini. Bagian pertama (Langkah Mega Melawan Arus) membahas sekitar proses menggelindingnya dukungan bagi Mega untuk menandingi pesaingnya, calon yang telah ''diunggulkan'' Pemerintah, Budi Hardjono. Tentu ada hal yang berkaitan dengan bagaimana aparat Pemerintah menghadang menggelindingnya dukungan bagi Mega itu. Bagian ini dilengkapi dengan siapa sebenarnya dua calon utama (Mega-Budi) dan siapa yang akan tampil sebagai pemenangnya di Surabaya (Pergulatan Arus Atas dan Bawah). Melihat ribut-ribut pemilihan ketua di tubuh PDI kali ini tentu tak lepas dari sejarahnya di masa lalu. Kisah Ketua Akomodatif menggambarkan bahwa hampir semua pemilihan Ketua PDI diwarnai campur tangan Pemerintah. Sejak fusi 1973, partai itu selalu dilanda kemelut. Ketua yang tampil selalu mereka yang direstui Pemerintah. Terpilih atau tidak dalam kongres luar biasa itu, Megawati tentunya perlu mengungkap pandangan politiknya, hubungannya dengan Bung Karno, dan bagaimana ia menghadapi pergulatan pencalonan Ketua PDI di Surabaya nanti (Nama Besar di Balik Mega). Itu yang tersaji dalam wawancara khusus dengan Megawati. Laporan Utama kali ini juga dilengkapi dengan dua kolom mengenai PDI. Yang pertama ditulis Rudini, mantan Menteri Dalam Negeri, yang dulu menjadi pembina politik partai politik dan Golkar. Yang kedua adalah pemikiran dan analisa seorang pakar politik dari Universitas Gadjah Mada, Afan Gaffar. Keduanya menyoroti fenomena PDI, baik menjelang kongres pekan ini maupun tampilnya Megawati. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini