Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerakan mega melawan arus

Megawati dicalonkan menjadi ketua umum PDI. belum ada pelarangan resmi pencalonannya. budi hardjono didukung pemerintah.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA haru bergulir di ruang tamu kediaman Nyonya Megawati Keimas, di Kampung Kebagusan, Jakarta Selatan, Jumat siang pekan lalu. Dua puluh lelaki duduk melingkar menghadap nyonya rumah. Mereka bertangis-tangisan. ''Kami amat terharu. Cinta kami saling berpaut. Idealisme kami seiring-sejalan,'' ujar Ignatius Samiyanto, salah seorang tamu di rumah putri Bung Karno itu. Sepekan menjelang kongres, Mega banyak didatangi tamu. Kamis malam lalu, misalnya, sekitar 40 aktivis PDI Jakarta Timur datang ke rumahnya, menyatakan dukungan. Pada malam yang sama, tiga orang pemuda ceking, yang mengatasnamakan wakil mahasiswa Timor Timur di Jawa dan Bali, bertandang untuk maksud serupa. Mereka pun berharap Mega bisa menang dan menjadi pemimpin partai. ''Agar kami punya tempat mengadu, Anda yang bisa lebih mendengar suara kami,'' ujar mereka. Sabtu siang lalu putri Bung Karno itu terbang ke Surabaya dengan didampingi suaminya, Taufik Keimas, yang pengusaha pompa bensin. Di bandara, Mega dijemput puluhan pendukungnya yang mengendarai sepeda motor dan jip-jip terbuka, dan diarak ke hotel. Sebelum kongres, Mega juga mengadakan ''ziarah politik'' ke pusara Bung Karno di Blitar. Di ruang Pattaya Hotel Garuda Plaza Medan, nama Mega juga disebut-sebut. Acara itu adalah upacara penglepasan 56 orang utusan PDI Sumatera Utara, oleh Gubernur Raja Inal Siregar. Isyarat dari Raja Inal terasa samar. Gubernur Sumatera Utara itu cuma berpesan, ''Pandai-pandailah Saudara membaca tanda- tanda zaman.'' Apa pula maksudnya? Seorang pejabat Gubernuran Sum-Ut bilang bahwa tanda zaman yang dimaksud ialah isyarat politik dari Jakarta, yang tak menghendaki Mega jadi ketua partai. ''Kalau negeri ini ingin aman dan stabil, Megawati harus mengurungkan niatnya,'' ujar pejabat itu kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Perang isu memang ramai di kalangan aktivis PDI sepanjang dua pekan terakhir ini. Semuanya bermuara ke soal pencalonan. Sampai akhir pekan, cuma ada dua nama yang kuat: Megawati Soekarnoputri, 46 tahun, dan Budi Hardjono, 54 tahun. Dua- duanya anggota DPR. Mega tergolong pendiam dan Budi sering disebut suka bersuara lantang mengkritik Pemerintah. Di bawah nama itu tersebut pula Soetardjo Soerjoguritno, Latief Pudjosakti, dan Ismunandar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh di kepengurusan sementara PDI, setelah Soerjadi, ketua terpilih di kongres IV Medan, Juli lalu, didongkel ramai-ramai. Kabar yang berkembang belakangan mengatakan bahwa Budi Hardjono disukai Pemerintah, dan cukup dekat dengan kalangan ABRI. Sayang, ketokohannya tak mengakar. Di lain pihak, Megawati relatif independen, dan ia ''beruntung'' mewarisi kharisma ayahnya, Bung Karno. Tapi, sebagai politikus, Mega tidak menonjol. ''Di DPR Mega tidak ada apa-apanya,'' kata Kwik Kian Gie. Soal kekuatan kedua kubu itu, kata Kwik Kian Gie, sulit diukur. Teknis pelaksanaan di kongres agaknya bakal menentukan siapa yang lebih unggul. ''Tapi kalau dilepas, tanpa campur tangan Pemerintah, Mega bakal menang,'' kata seorang tokoh PDI. Masih banyak pimpinan cabang dan daerah di tingkat provinsi yang memang menyukai Megawati, dengan pelbagai alasan. ''Yang paling penting, Megawati itu anak Bung Karno, dia punya kharisma,'' tambahnya. Yang menderita antara lain cabang Solo. Tiga utusan yang terpilih lewat konferensi khusus, sampai akhir pekan lalu, nasibnya belum jelas. Ketiganya belum mendapat rekomendasi dari Ketua PDI Jawa Tengah, konon gara-gara tekanan dari atas. ''Kami bisa saja berangkat dengan biaya sendiri,'' ujar Ignatius Samiyanto, salah seorang utusan itu. Krisis di Solo itu sempat membuat Makyo Sumaryo patah arang. Tapi dengan cerdik ia membuat manuver. Ia menulis surat pernyataan menyesal mendukung Megawati dan Soerjadi, yang ditujukan ke Panglima Kodam Diponegoro, dengan tembusan antara lain ke Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Surat itu kemudian dikirim ke pers, dan diramaikannya. Apa boleh buat, Panglima Kodam dan Gubernur Jawa Tengah harus memberi pernyataan normatif: ''Tak ada tekanan untuk PDI Jawa Tengah'' (TEMPO, 27 November 1993). Cerita-cerita semacam itu banyak beredar. Kepala Kantor Sospol Jakarta Utara dikabarkan ''menodong'' Ketua PDI setempat menandatangani surat berisi pencalonan Budi Hardjono. Di Ponorogo, Jawa Timur, seorang camat menyuruh aktivis PDI untuk menandatangani pernyataan ABH, asal Budi Hardjono. Ganjalan bagi Mega bisa saja muncul di kongres, berupa sederet kriteria. Seperti pernah jadi fungsionaris sedikitnya 10 tahun, ''menyelamatkan'' partai dari kemelut, atau menjadi fungsionaris. Ada pula pagar lain, yakni pemilihan ketua umum ditangani oleh formatur. Usul ini sempat dikemukakan Kepala Direktorat Sospol Jawa Timur, Suryadi Setiawan, di hadapan Rapat Kerja PDI provinsi itu Jumat lalu di Hotel Montana Malang. Pemilihan dengan formatur, menurut suara di kubu Mega, dianggap memudahkan campur tangan dari luar. Isu rekayasa makin seru dengan bertiupnya kabar burung, bahwa pertengahan November silam ada instruksi ke jajaran Kepala Direktorat Sospol dari 27 provinsi, agar memberi pengertian kepada kader-kader PDI untuk ketua umumnya yakni orang yang akomodatif dengan Pemerintah. Ada lagi pengakuan sejumlah pengurus daerah bahwa mereka akan didampingi para pejabat pemerintah daerahnya. Sebab sampai perutusan bertolak ke Surabaya, konon, belum ada petunjuk untuk memangkas atau membiarkan pencalonan Mega yang melambung sejak dua pekan lalu. Memang ada upaya mengikis pencalonan Mega? Tak ada pejabat yang mau memastikan, termasuk dari Departemen Dalam Negeri. Ketika ditemui TEMPO, Dirjen Sospol Sutoyo N.K. tak bersedia memberikan komentarnya. ''Sudahlah, nanti saja setelah konggres,'' ujarnya kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Putri Bung Karno itu dianggap bisa menjadi figur pemersatu di kandang Banteng. ''Mega bersih dari konflik-konflik intern,'' tambah Agus Condro. Soal kemampuan bermain politik yang minim, dan penampilanya yang melempem di DPR, tak dirisaukan benar oleh mereka. ''Seperti Corry Aquino, dia dulunya juga ibu rumah tangga biasa,'' kata Agus Condro. Selama dua bulan ini, sekretariat pendukung Mega mengirim kliping koran dan majalah, tentang Megawati menjelang kongres Surabaya. ''Berita baik atau buruk kami kirim ke kawan-kawan di daerah,'' ujar seorang di markas Megawati itu. Menurut taksirannya, tak kurang dari 600 halaman kliping telah dikirim ke daerah, ke 1000-an alamat, termasuk ke kodim atau korem. ''Ini banyak gunanya. Pernyataan normatif Panglima ABRI dan Menteri Yogie S.M. di koran, bahwa Mega tak dicekal, banyak pengaruhnya di daerah,'' katanya. Sekretariat semacam itu muncul pula di Pura Satria Denpasar. Namanya Posko Pemenangan Megawati. Di pura bekas kediaman Raja Badung itu tinggal Anak Agung Oka Ratmadi, Ketua Cabang PDI Kabupaten Badung, dan sangat pro-Megawati. Kata Ratmadi, Posko itu dipakai sebagai pusat informasi untuk pendukung Mega di NTB, NTT, Timor Timur, dan Bali sendiri. Fosko ini yang ikut menyiarkan bahwa Megawati tak dicekal. ''Sebab, masih ada saja kesimpangsiuran,'' kata Ratmadi kepada Zed Abidien dari TEMPO. Mereka juga merasa lega setelah Panglima Udayana Mayjen Theo Syafei memesankan agar perutusan Bali tak terpengaruh isu yang beredar, dan serahkan semua itu ke kongres sendiri. Sampai pekan lalu kubu Mega konon telah mengeluarkan anggaran Rp 70 juta untuk promosi pencalonan. Jumlah itu belum termasuk pesta meriah di Hotel Indonesia, yang dihadiri sekitar 300 undangan serta belasan wartawan, untuk meluncurkan buku Mega yang judulnya merangsang: Bendera Telah Saya Kibarkan. Buku yang muncul sepekan sebelum kongres itu tampaknya isyarat bahwa Mega siap berkompetisi. Munculnya dukungan kepada Megawati secara besar-besar itu memang merupakan fenomena menarik. Kwik Kian Gie mengatakan, daya tarik terbesar Megawati ialah citranya sebagai tokoh yang independen, bebas dari pengaruh Pemerintah. ''Kalau ada teman- teman yang nurut saja apa maunya Pemerintah, silakan masuk Golkar saja,'' kata seorang aktivis. Kehadiran Mega untuk memimpin partai tampaknya memang tak mudah apalagi bagi keluarga Bung Karno. Pada 1971, misalnya, Guntur Soekarnoputra, kakak sulung Mega, konon tak mendapat izin untuk ikut kampanye PNI dalam pemilihan umum. Dan tahun lalu, sebelum Pemilu, muncul adik Megawati, Guruh Soekarnoputra. Pemuda yang berbicara manis itu mengumumkan mencalonkan diri sebagai presiden. Tak ada kelanjutnnya, tapi keberanian putra Bung Karno ini telah mewarnai lembaran sejarah politik Indonesia. Kini yang menjadi jagonya adalah Mega walau arenanya berbeda. Lepas dari nama besar Bung Karno, yang dimanfaatkan untuk mendapat dukungan emosional, Megawati bisa menjadi semacam simbol ''keberanian'' PDI untuk lebih independen. Ada usaha untuk tak bergantung dan menerima begitu saja calon ketua yang disiapkan Pemerintah. Sampai akhir pekan lalu memang belum ada usaha sistematis untuk menurunkan Mega dari panggung pencalonan. Dan mungkin agak sulit karena panggung Mega bukan cuma di arena kongres, tapi juga di pendapat umum. Apalagi, pernyataan-pernyataan para pejabat tak ada yang transparan menentang pencalonan Mega. Alasan apa lagi untuk menurunkan putri Bung Karno itu? Putut Trihusodo, Ardian T. Gesuri (Jakarta), Kelik M. Nugroho dan Widjajanto (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum