Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pergulatan arus atas dan bawah

Budi hardjono,54, calon ketua umum PDI mendapat dukungan pemerintah. di kalangan anggota, ia ditentang. sekilas profil dan pengalamannya di organisasi.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGAKUAN Budi Hardjono bahwa dirinya mendapat angin dari atas, bawah, kiri, dan kanan perlu dibuktikan dalam kongres di Surabaya nanti. Ketika tampil berpidato dalam Rapat Kerja Daerah PDI Jawa Timur, di Hotel Montana, Malang, Jumat pekan lalu, mewakili caretaker, ia mendapat pengalaman tak sedap. Belum panjang ia bicara, peserta rapat telah menerornya dengan teriakan, ''Turun, turun. Wis (sudah), wis...!'' Sebagian lainnya berteriak, ''Budi dukung Mega. Dukung Mega.'' Tak lebih dari sepuluh menit bicara, Budi, yang konon dijagokan arus atas (Pemerintah) itu, turun panggung. Budi, lahir di Pacitan, Jawa Timur, 54 tahun lalu, termasuk senior bagi warga PDI. Sejak muda ia pendukung setia PNI. Sewaktu di SMA, 1957-1958, ia sudah sibuk mengurusi Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), onderbouw PNI. Dua tahun kemudian, ia menjadi ketua anak cabang Pemuda Demokrat Pacitan. Ia suka menyebut ''nama besar'' karena rumah ayahnya sempat menjadi tempat menginap Jenderal Soedirman beberapa hari pada tahun 1949. Pada awal 1960-an, Budi hijrah ke Jakarta, dan masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tahun 1965 ia ikut mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada tahun yang sama ia pun aktif sebagai Ketua GMNI Komisariat Fakultas Hukum UI. Ia sempat menjadi Ketua GMNI Jakarta (tahun 19671968), lalu Ketua I GMNI Pusat saat itu ketua umumnya Soerjadi. Budi dikenal pula sebagai salah seorang pemrakarsa Kelompok Cipayung, forum dialog bagi aktivis 66. Ia juga turut membidani lahirnya KNPI, menandatangani ''Deklarasi Pemuda'', dan menjadi salah satu ketua KNPI sampai 1975. Di awal kelahiran PDI, ia menjadi kepala sekretariat DPP. Dalam soal pekerjaan, Budi pernah menjabat asisten personalia Pertamina Pusat (19751978) pengalaman yang membuatnya pas sebagai anggota Komisi VI DPR, yang antara lain mengurusi soal minyak dan energi. Ia kemudian pindah pos menjadi asisten Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olahraga, hingga 1984, lalu kembali ke Pertamina. Tapi, sejak terpilih sebagai anggota DPR, 1987, Budi melepaskan kesibukannya di Pertamina. Selain aktif di fraksi, ia ikut pula di Majelis Pertimbangan Partai PDI. Sebagai pemimpin Komisi VI DPR, dan Wakil Ketua Fraksi PDI, penampilannya tak mengecewakan. Kritik-kritiknya yang tajam kepada Pemerintah sering muncul. Lain dengan pembawaannya yang kalem, menjelang kongres di Surabaya ini, ketika dukungan buat pesaingnya, Megawati, kian marak, ia melemparkan tudingan memojokkan. ''Kalau bodoh, mengaku saja bodoh. Kalau rajin, ya, mengaku rajin,'' kata Budi. Ia mengkritik kelemahan Megawati, yang jarang nongol di DPR, dan sikapnya yang feodal. ''Untuk masa jabatan sekarang, Mega baru hadir dua kali,'' ujarnya. Megawati, yang diserang Budi, tampaknya tak mau menyerang balik. ''Masya Allah. Apa iya diri saya sebegitu rupa, tak ada bagus-bagusnya, ya. Mari kita lihat bagaimana realitanya.'' Bahwa ada tuduhan Mega miskin pengalaman politik, itu memang sulit dibantah. Ia baru terjun ke gelanggang kepartaian tahun 1987. Ketika itu, untuk pertama kalinya ia terjun ke panggung kampanye di pelbagai daerah, terutama Jawa Tengah. Hasilnya? Ribuan massa berduyung menyambutnya. Kehadiran Mega terasa lebih penting dibandingkan dengan tokoh PDI mana pun. Pada Pemilu 1982, Mega tak bersedia masuk PDI. Ketika itu, ia terikat komitmen keluarga untuk tidak masuk salah satu kekuatan politik. Tapi, pada 1987, komitmen itu dianggap tak mengikat lagi. ''Semuanya telah berasaskan sama, yaitu Pancasila,'' kata Mega suatu kali. Mega lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947, sebagai anak kedua Presiden Soekarno dari Ibu Fatmawati. Ketika Mega lahir, Bung Karno dan Nyonya Fatmawati sedang mengungsikan ibu kota negara ke Yogya. Masa kanak-kanaknya dilewatkan di Istana Negara, diisi dengan belajar menari dan membaca. Ketika remaja, Mega sering menari untuk tamu-tamu negara. Ia menamatkan pendidikan SD sampai SMA di Perguruan Cikini, Jakarta, lalu masuk Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, 1965. Sempat aktif di GMNI. Tapi ia putus kuliah tahun 1967, kembali ke Jakarta, dan menemani Bung Karno, yang ketika itu dikenai karantina politik. Setelah keadaan mulai membaik, ia kembali kuliah, masuk Fakultas Psikologi UI, 19701972. Kuliahnya putus lagi. Maklum, saat itu Mega sudah punya momongan, Moh. Rizki Pratama, kini 24 tahun, mahasiswa Arsitektur ITB. Suaminya Moh. Taufiq Keimas, 50 tahun, pengusaha pompa bensin. Pasangan ini punya tiga putra. Anak kedua dan ketiga, Moh. Prananda dan Puan Maharani, kuliah di FISIP UI. Di PDI, karier Mega dimulai sebagai Wakil Ketua Cabang Jakarta Pusat. Lantas, bersama suaminya, Mega menjadi anggota DPR, sejak 1987. Ia mengaku, selama 1993 ini secara fisik sering tak hadir di Senayan. ''Tapi saya melakukan tugas saya dalam bentuk yang lain. Lobi ke sana-kemari. Kadang itu lebih bermanfaat,'' ujarnya. Mega memang bebas dari konflik. Ketika kelompok Soerjadi berantem melawan kubu Marsoesi-Duddy Singadilaga, Mega memilih berdiri di sudut netral. Begitu pula, ketika Soerjadi didongkel ramai-ramai oleh Latief Pudjosakti, Ismunandar, Budi Hardjono, dan kawan-kawan, ia diam. Dan kini ia menantang Budi Hardjono di arena kongres. Mega disebut-sebut mewakili arus bawah. Ardian taufik Gesuri, Putut Trihusodo, dan Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum