Tulisan ''Di Balik Kemilauan Mutiara'' dan ''Suka Duka Sang Penyelam'' (TEMPO, 6 November, Selingan) sangat menarik sekaligus mendatangkan keprihatinan. Inti tulisan itu tak lain dari ''kemiskinan'' dan ''ketidaktahuan'' yang bersatu dalam lingkaran setan yang berputar di alam bawah air. Pengetahuan penyelaman sebenarnya adalah pengetahuan ''modern'', meskipun manusia secara alamiah telah mampu mencapai dasar laut sejak awal peradaban. Dalam kata ''modern'' itu, seperti kita ketahui bersama, selain keterampilan terkandung unsur pengetahuan dan teknologi. Dengan kemampuan ekonomi rendah, jelas tidak mungkin diharapkan masyarakat mengecap pendidikan yang mampu mengadaptasi dan mengaplikasikan pengetahuan menyelam yang paling mendasar sekalipun. Mana mungkin, menyelam sebagai pekerjaan risiko tinggi hanya diperkenalkan satu minggu sebelum sang penyelam ''diterjunkan''. Sebagai gambaran, latihan untuk penyelam amatir (bukan penyelam mutiara) oleh British Sub Aqua Club memerlukan waktu intensif minimal 4 (empat) minggu. Itu dengan penekanan pada keterampilan renang (selam) serta pengertian aplikasi hukum-hukum ilmu fisika pada penyelaman. Dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar, bagaimana Toha bisa paham bagaimana cara kerja hukum fisika seperti Boyle-Charles-Archimedes yang melekat ketat pada semua bagian fisik si penyelam? Apakah Toha mengerti berbagai prosedur penyelaman yang sangat ketat, misalnya tentang dekompresi yang mengatur berapa lama seorang diperkenankan menyelam setelah menyelam sekian waktu pada kedalaman tertentu? Bagaimana pula ia tahu tentang sinyal, navigasi bawah air, dan cara kerja peralatan selam? Maka, korban penyelaman masih akan berjatuhan jika tak dilakukan tindakan pencegahan yang sifatnya mendasar. Selain berisiko tinggi, penyelam mutiara seperti ditulis TEMPO itu patut iri pada sesama penyelam dari mancanegara. Penyelam asing yang bekerja pada industri minyak, misalnya, memperoleh penghasilan sampai US$ 250 setiap jam menyelam. Sedangkan Toha dalam sebulan hanya memperoleh separuh dari jumlah itu. Belum lagi kalau kita bicara soal fasilitas, keamanan, dan kesehatan. Rata-rata dive-ship dari penyelam itu dilengkapi dengan decompression chamber yang mungkin jumlahnya di Indonesia tak lebih dari sepuluh buah. Dalam hal perlindungan tenaga kerja, terasa bidang ini belum tersentuh. Jangankan program perlindungan sosial, asuransi komersil pun rata-rata tidak meliput kecelakaan akibat penyelaman. Dengan demikian terlihat, bagaimana rawannya kehidupan penyelam kelas penyelam mutiara. Kalau kita tak ingin jatuh korban lebih banyak, Pemerintah daerah setempat harus lebih jeli melihat persoalannya. Juga lebih ngotot memperjuangkan nasib penyelam di daerahnya secara lebih mendasar dan konsepsional. BENNY DHANIOJalan Mayjen Sutoyo 7 RT 05/RW 02 Gang Sari Ulu Ujungpandang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini