PETANI Kudus, Jawa Tengah, lebih suka bertanam tebu. Sebab
menurut mereka risikonya tidak terlalu berat. "Dibanding
bertanam padi atau palawija, tebu lebih kecil kemungkinannya
dimakan hama. Selain itu juga lebih luwes " kata Rahadi, SH
Kasubdit Perekonomian Kabupaten Kudus.
Maksudnya: jika petani butuh uang, tebu yang masih muda bisa
dijadikan jaminan untuk pinjam uang kepada pengijon. Utang akan
dibayar berupa gula merah. Orang Kudus menyebutnya gula tumbu
karena wadahnya tumbu alias bakul kecil) dan orang Jawa pada
umumnya menyebut gula jawa. Ijon itu tentu merugikan petani
kecil.
Lebih separuh tanaman tebu di Kudus, yang tahun ini sekitar
6.000 ha merupakan tebu rakyat. Sebagian besar digiling jadi
gula putih atau gula pasir di Pabrik Rendeng. Tak tertampung di
Rendeng, karena mesin pabrik tersebut sudah tua, kelebihan
terpaksa dikirim ke pabrik lain: Cepiring (Kendal) atau
Madukismo (Yogya). Dan selebihnya diolah petani sendiri menjadi
gula tumbu.
Cara membuatnya sederhana. Tebu diperas di sebuah gubuk di
tengah sawah yang bertiang bambu beratap rumbia. Airnya
ditampung lantas dimasak di sebuah dapur, sekitar 8 jam, sampai
kental. Setelah itu baru dituang ke dalam tumbu. Sehari, 6 orang
pekerja, biasanya menghasilkan 7 - 8 kuintal gua tumbu.
Di Kudus, 154 "pabrik" gula tumbu tersebar di lima kecamatan:
Bae, Dae, Gebog, Jekulo dan Mejobo. 132 buah di antaranya
memiliki penggiling tebu yang digerakkan dengan diesel.
Selebihnya memeras tebu dngan roda besar dari batu yang diputar
oleh sapi atau kerbau.
Sampai kini tataniaga gula rakyat di sana banyak ditentukan
tengkulak. Harganya bervariasi antara Rp 15 .000 dan Rp 17.000
per kuintal. Tapi jika terkena ijon, petani harus rela menjual
gulanya antara Rp 7.000 sampai Rp 8.000.
Pasaran cukup gencar. Sebagian besar untuk Jawa Barat. Ada pula
yang dikirim ke Kalimantan dan Sumatera. Bukan hanya untuk
kebutuhan dapur saja, melainkan juga sebagai bahan pembuat
kecap, dodol, anggur dan minuman keras. Karena semakin laris,
maka penjualan gula tumbu pun dikenai pajak.
Perincian cukainya begini: izin giling s-lama 25 hari dikenakan
Rp 4.250/ha dan 60 hari Rp 6.000/ha. Lebih dari itu dikenakan Rp
10.000/ha. Bea Cukai pun, mulai 5 bulan lalu, menarik cukai
penjualan Rp 1.050,15 perkuintal.
Cukai itu sebenarnya berlaku sejak 1978. "Tapi selama 2 tahun
ini saya baru mengadakan penyuluhan," kata Drs. Kartiman, Kasi
Cukai dari Kantor Bea dan Cukai Kudus. Pelaksanaannya? Petani
mengelak. Banyak pembuat gula tumbu yang bermain kucing-kucingan
menghindari petugas.
Kartiman lantas melancarkan operasi. Kendaraan pengangkut gula
tumbu dicegat - kalau perlu ditahan. "Tindakan itu untuk mencari
siapa yang harus bertanggungjawab membayar cukai," tutur
Kartiman. Tapi tindakan para petugas di lapangan salah alamat.
Mereka menarik cukai dari pedagang semrawut.
Akhirnya 135 pengusaha, awal Mei, diundang Bupati Kudus berembuk
dengan Kepala Bea Cukai. Di situ para pembuat gula diberi
kesempatan melontarkan keberatan. Bupati Wimpie memperjuangkan
rakyatnya. Hasilnya: awal bulan ini Dirjen Bea Cukai mengetoli
radiogram: cukai dicabut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini