Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Manisnya Gula, Pahitnya Cukai

Petani kudus lebih suka bertanam tebu dan ada juga yang mengolah sendiri menjadi gula tumbu, petani-petani ini ditarik cukai (kini telah dicabut). panen tebu melimpah.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI Kudus, Jawa Tengah, lebih suka bertanam tebu. Sebab menurut mereka risikonya tidak terlalu berat. "Dibanding bertanam padi atau palawija, tebu lebih kecil kemungkinannya dimakan hama. Selain itu juga lebih luwes " kata Rahadi, SH Kasubdit Perekonomian Kabupaten Kudus. Maksudnya: jika petani butuh uang, tebu yang masih muda bisa dijadikan jaminan untuk pinjam uang kepada pengijon. Utang akan dibayar berupa gula merah. Orang Kudus menyebutnya gula tumbu karena wadahnya tumbu alias bakul kecil) dan orang Jawa pada umumnya menyebut gula jawa. Ijon itu tentu merugikan petani kecil. Lebih separuh tanaman tebu di Kudus, yang tahun ini sekitar 6.000 ha merupakan tebu rakyat. Sebagian besar digiling jadi gula putih atau gula pasir di Pabrik Rendeng. Tak tertampung di Rendeng, karena mesin pabrik tersebut sudah tua, kelebihan terpaksa dikirim ke pabrik lain: Cepiring (Kendal) atau Madukismo (Yogya). Dan selebihnya diolah petani sendiri menjadi gula tumbu. Cara membuatnya sederhana. Tebu diperas di sebuah gubuk di tengah sawah yang bertiang bambu beratap rumbia. Airnya ditampung lantas dimasak di sebuah dapur, sekitar 8 jam, sampai kental. Setelah itu baru dituang ke dalam tumbu. Sehari, 6 orang pekerja, biasanya menghasilkan 7 - 8 kuintal gua tumbu. Di Kudus, 154 "pabrik" gula tumbu tersebar di lima kecamatan: Bae, Dae, Gebog, Jekulo dan Mejobo. 132 buah di antaranya memiliki penggiling tebu yang digerakkan dengan diesel. Selebihnya memeras tebu dngan roda besar dari batu yang diputar oleh sapi atau kerbau. Sampai kini tataniaga gula rakyat di sana banyak ditentukan tengkulak. Harganya bervariasi antara Rp 15 .000 dan Rp 17.000 per kuintal. Tapi jika terkena ijon, petani harus rela menjual gulanya antara Rp 7.000 sampai Rp 8.000. Pasaran cukup gencar. Sebagian besar untuk Jawa Barat. Ada pula yang dikirim ke Kalimantan dan Sumatera. Bukan hanya untuk kebutuhan dapur saja, melainkan juga sebagai bahan pembuat kecap, dodol, anggur dan minuman keras. Karena semakin laris, maka penjualan gula tumbu pun dikenai pajak. Perincian cukainya begini: izin giling s-lama 25 hari dikenakan Rp 4.250/ha dan 60 hari Rp 6.000/ha. Lebih dari itu dikenakan Rp 10.000/ha. Bea Cukai pun, mulai 5 bulan lalu, menarik cukai penjualan Rp 1.050,15 perkuintal. Cukai itu sebenarnya berlaku sejak 1978. "Tapi selama 2 tahun ini saya baru mengadakan penyuluhan," kata Drs. Kartiman, Kasi Cukai dari Kantor Bea dan Cukai Kudus. Pelaksanaannya? Petani mengelak. Banyak pembuat gula tumbu yang bermain kucing-kucingan menghindari petugas. Kartiman lantas melancarkan operasi. Kendaraan pengangkut gula tumbu dicegat - kalau perlu ditahan. "Tindakan itu untuk mencari siapa yang harus bertanggungjawab membayar cukai," tutur Kartiman. Tapi tindakan para petugas di lapangan salah alamat. Mereka menarik cukai dari pedagang semrawut. Akhirnya 135 pengusaha, awal Mei, diundang Bupati Kudus berembuk dengan Kepala Bea Cukai. Di situ para pembuat gula diberi kesempatan melontarkan keberatan. Bupati Wimpie memperjuangkan rakyatnya. Hasilnya: awal bulan ini Dirjen Bea Cukai mengetoli radiogram: cukai dicabut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus