SERAMAI orang pergi menonton sekaten, para pengunjung gedung
olahraga Kridosono Selasa pekan lalu padat. Meskipun harga
karcis--untuk ukuran Yogya -- termasuk mahal: Rp 1.000 untuk
kelas VIP dan Rp 400 untuk tribun. Rupanya orang Yogya ingin
menvaksikan tontonan baru, yang namanya, hmmm, Poetry Dancing
Manusiawi. Apa to, mas?
Sekitar selusin wadam (atau banci? atau waria?) Yogya malam itu
mengadakan pertunjukan baca puisi karangan mereka sendiri. Dalam
pertunjukan yang baru pertama kali terjadi di Yogya mungkin pula
di Indonesia ini, tata panggung cukup unik. Ada dua tangga besar
di kanan dan kiri pentas. Di tengah, di bidang yang seakan
merupakan lorong, tergeletak sepeda -- tunggangan populer untuk
penduduk Yogya. Dan di atasnya, ada tulisan cukup menyolok
Start.
Dengan alunan musik dari grup Asdrafi (Akademi Seni Drama dan
Film) dan diwarnai dengan lampu kelap-kelip bagaikan dalam
disko, para wadam menari, sementara seorang di antara mereka
membaca puisi.
Beberapa wadam dengan pakaian kebaya, rok atau celana panjang
turun dari tangga memenuhi panggung. Kemudian mereka menyanyi
bersama, sayup-sayup, sementara seorang di antaranya tampil ke
depan corong mikropon, membaca baris-baris ini:
Alam menjadikan kami/Hingga kami begini/dan kami juga punya
hak asasi/Bersatulah kaum wadam/Dau kibarkan panji-panji
wadammu/ Masa/Kita barus selalu timbul/Dalam kegelapan/
Sedang, setiap hari selalu ada matahari/Yang timbul dari timur/
Mari kita buktikan/Siapa yang lebib mampu dalam hal ini/Kami
kaum wadam, atau anda.
Tepuk tangan riuh membahana. Puisi itu jelas bernada protes
protes kepada aparat keamanan yang selalu merazia mereka. Protes
kepada anggapan bahwa kerja wadam cuma di tempat remang
menunggu mangsa lelaki yang mau dihiburnya. Protes kepada
masyarakat yang memberi nama mereka dengan nada menghina,
seperti "ac/dc "bencong", "banci", "waria", dan sebagainya.
Toko Hien
Salah seorang wadam bahkan membacakan puisi protes terhadap
pemilihan ratu kecantikan Tuban/Untuk apa aku dilabirkan seperti
ini/Orang mengejek dan mencemobkan/Tuhan Padahal Kau/Melahirkan
wanita ang konon sempurna/Tapi dirinya dijadikan obyek
murahan/Atas nama pemilihan ratu-ratu kecantikan ....
Malam baca puisi ini dipimpin oleh Yosie Hanna, 36 tahun, anak
ke-10 dari pemilik Toko Hien di Malioboro. Yosie tamatan SMA.
Beberapa orang mengatakan bahwa dia pernah bersekolah diIKIP.
Untuk kegiatannya ini, Yosie mendapat restu dari orangtuanya.
Bahkan sebuah kamar di atas di Toko Hien resmi dijadikan kantor
para wadam.
Sejak bulan Mei lalu, Yosie dan teman-temannya berniat untuk
mendirikan organisasi wadam yang resmi. Tapi niatnya ini tak
mendapat sambutan dari pemerintah daerah. Kebetulan anak-anak
dari teater Republik bersimpati kepada mereka dan sanggup
melatih mereka selama satu bulan bagaimana caranya membaca
puisi, bagaimana mengadakan gerakan-gerakan di panggung dan
bagaimana mengatur panggung itu sendiri.
Baru dua minggu berlatih, mereka kemudian mendatangi Balai
Wartawan Yogya. Di depan para wartawan, mereka mengudarkan semua
isi hati. Pengurus IWI (Persatuan Wartawan, tentu saja, bukan
Persatuan Wadam) kemudian menghimbau berbagai instansi, agar mau
menerima organisasi wadam ini. Sementara itu, latihan tetap
diteruskan di gedung kebudayaan Kota Baru, milik Departemen
P&K. Dan lahirlah pertunjukan ini.
Pertunjukan yang cukup menarik ini jelas merupakan proklamasi
dari kelompok yang terpojok ini. Sambil membaca sajak tersebut
di atas, emosi pun melimpah-ruah. Bahkan ada yang menangis
meraung-raung (benar-benar) di atas panggung. "Habis, semua
pihak selama ini menganggap para wadam orang yang tersingkir,"
kata salah seorang wadam sambil menutup mukanya.
"Dan tidak semuanya punya profesi murahan sebagai penghibur
lelaki, mas .... " ujar seorang wadam yang disebut Henny, dengan
suara berapi-api. Pekerjaan sehari-hari guru pada seluruh STM
negeri di Yogya. Raut mukanya persis perempuan, dengan paras
lumayan. Dalam mengajar pun dia mengenakan pakaian perempuan.
Kata Henny lagi "Kami ini yang cacar dan cuma anunya, yang lain
sehat semua." Jabatan Henny: sekretaris Warung Wadam,
perkumpulan tersebut, organisasi yang mereka dirikan baru-baru
ini.
Di Yogya, diperkirakan ada 100 orang wadam, termasuk mereka yang
mengadakan "operasi malam" di sekitar Stadion Baciro. Henny
berpendapat bahwa mereka yang bekerja malam itu cuma sekitar 15
orang. Sisanya banyak yang menjadi penjahit, penata rambut,
pedagang kecil dan banyak pula yang mempunyai suara lumayan
untuk menyanyi.
Warung Wadam
Yetti Novita, misalnya, selain membaca sajak dia juga menyanyi.
Anak Melan yang dibuang oleh keluarganya ini, kini bersekolah
di SMA. Usianya telah 22 tahun dan kalau ke sekolah, selalu
mengenakan baju perempuan. Ketika pertama kali sampai di Yogya,
Yetti Novita yang berparas lumayan ini hampir saja melacurkan
diri di seputar Baciro. Untung sekali ada Henny dan Yosie yang
selalu membimbing Novita, bahwa masih ada lapangan kerja dan
kesempatan belajar seperti manusia lainnya.
"Kesulitan kami ialah bagaimana mengajak rekan-rekan kami masuk
ke dalam organisasi Warung Wadam," kata osie. Meski pun nama
warung mencoba mengesankan "merakyat", dari kalangan menengah ke
bawah, seperti dikatakan Yosie, sambutan datang. orang tua kaum
wadam dari kelas ahli melarang anaknya ikut dalam organisasi.
Tapi Warung Wadam akan mencoba membimbing mereka yang beroperasi
malam di Baciro, untuk mengalihkan mereka ke profesi lain yang
"lebih genah".
Jalan pertama lewat Poetry Dancins lanusiawi telah dibuka.
Hasil bersiil tidak kurang dari Rp 1,5 juta. "Mudahmudahan
mereka yang melacur itu mau menggabung dengan kami," kata Yosie.
Di masa mendatang, mereka merencanakan untuk mengadakan malam
drama, malam peragaan pakaian dan pertunjukan-pertunjukan lain.
Rencana jangka pendek ini ialah pertunjukan keliling. Dan Kota
Semarang dijadikan tujuan pertama, setelah Yogya. Teater
Republik dengan sutradara Yoyok Ario tetap bersedia akan
membantu. Yosie Hanna, di kamarnya di atas toko orang tuanya,
kini konon sedang sibuk mengarang sandiwara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini