Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sebuah proklamasi kaum "banci"

Kaum wadam di yogya bikin acara malam baca puisi di kridosono, yogyakarta. isi puisi sebagian besar berisi protes kemanusiaan. hasil pertunjukan cukup besar.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERAMAI orang pergi menonton sekaten, para pengunjung gedung olahraga Kridosono Selasa pekan lalu padat. Meskipun harga karcis--untuk ukuran Yogya -- termasuk mahal: Rp 1.000 untuk kelas VIP dan Rp 400 untuk tribun. Rupanya orang Yogya ingin menvaksikan tontonan baru, yang namanya, hmmm, Poetry Dancing Manusiawi. Apa to, mas? Sekitar selusin wadam (atau banci? atau waria?) Yogya malam itu mengadakan pertunjukan baca puisi karangan mereka sendiri. Dalam pertunjukan yang baru pertama kali terjadi di Yogya mungkin pula di Indonesia ini, tata panggung cukup unik. Ada dua tangga besar di kanan dan kiri pentas. Di tengah, di bidang yang seakan merupakan lorong, tergeletak sepeda -- tunggangan populer untuk penduduk Yogya. Dan di atasnya, ada tulisan cukup menyolok Start. Dengan alunan musik dari grup Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) dan diwarnai dengan lampu kelap-kelip bagaikan dalam disko, para wadam menari, sementara seorang di antara mereka membaca puisi. Beberapa wadam dengan pakaian kebaya, rok atau celana panjang turun dari tangga memenuhi panggung. Kemudian mereka menyanyi bersama, sayup-sayup, sementara seorang di antaranya tampil ke depan corong mikropon, membaca baris-baris ini: Alam menjadikan kami/Hingga kami begini/dan kami juga punya hak asasi/Bersatulah kaum wadam/Dau kibarkan panji-panji wadammu/ Masa/Kita barus selalu timbul/Dalam kegelapan/ Sedang, setiap hari selalu ada matahari/Yang timbul dari timur/ Mari kita buktikan/Siapa yang lebib mampu dalam hal ini/Kami kaum wadam, atau anda. Tepuk tangan riuh membahana. Puisi itu jelas bernada protes protes kepada aparat keamanan yang selalu merazia mereka. Protes kepada anggapan bahwa kerja wadam cuma di tempat remang menunggu mangsa lelaki yang mau dihiburnya. Protes kepada masyarakat yang memberi nama mereka dengan nada menghina, seperti "ac/dc "bencong", "banci", "waria", dan sebagainya. Toko Hien Salah seorang wadam bahkan membacakan puisi protes terhadap pemilihan ratu kecantikan Tuban/Untuk apa aku dilabirkan seperti ini/Orang mengejek dan mencemobkan/Tuhan Padahal Kau/Melahirkan wanita ang konon sempurna/Tapi dirinya dijadikan obyek murahan/Atas nama pemilihan ratu-ratu kecantikan .... Malam baca puisi ini dipimpin oleh Yosie Hanna, 36 tahun, anak ke-10 dari pemilik Toko Hien di Malioboro. Yosie tamatan SMA. Beberapa orang mengatakan bahwa dia pernah bersekolah diIKIP. Untuk kegiatannya ini, Yosie mendapat restu dari orangtuanya. Bahkan sebuah kamar di atas di Toko Hien resmi dijadikan kantor para wadam. Sejak bulan Mei lalu, Yosie dan teman-temannya berniat untuk mendirikan organisasi wadam yang resmi. Tapi niatnya ini tak mendapat sambutan dari pemerintah daerah. Kebetulan anak-anak dari teater Republik bersimpati kepada mereka dan sanggup melatih mereka selama satu bulan bagaimana caranya membaca puisi, bagaimana mengadakan gerakan-gerakan di panggung dan bagaimana mengatur panggung itu sendiri. Baru dua minggu berlatih, mereka kemudian mendatangi Balai Wartawan Yogya. Di depan para wartawan, mereka mengudarkan semua isi hati. Pengurus IWI (Persatuan Wartawan, tentu saja, bukan Persatuan Wadam) kemudian menghimbau berbagai instansi, agar mau menerima organisasi wadam ini. Sementara itu, latihan tetap diteruskan di gedung kebudayaan Kota Baru, milik Departemen P&K. Dan lahirlah pertunjukan ini. Pertunjukan yang cukup menarik ini jelas merupakan proklamasi dari kelompok yang terpojok ini. Sambil membaca sajak tersebut di atas, emosi pun melimpah-ruah. Bahkan ada yang menangis meraung-raung (benar-benar) di atas panggung. "Habis, semua pihak selama ini menganggap para wadam orang yang tersingkir," kata salah seorang wadam sambil menutup mukanya. "Dan tidak semuanya punya profesi murahan sebagai penghibur lelaki, mas .... " ujar seorang wadam yang disebut Henny, dengan suara berapi-api. Pekerjaan sehari-hari guru pada seluruh STM negeri di Yogya. Raut mukanya persis perempuan, dengan paras lumayan. Dalam mengajar pun dia mengenakan pakaian perempuan. Kata Henny lagi "Kami ini yang cacar dan cuma anunya, yang lain sehat semua." Jabatan Henny: sekretaris Warung Wadam, perkumpulan tersebut, organisasi yang mereka dirikan baru-baru ini. Di Yogya, diperkirakan ada 100 orang wadam, termasuk mereka yang mengadakan "operasi malam" di sekitar Stadion Baciro. Henny berpendapat bahwa mereka yang bekerja malam itu cuma sekitar 15 orang. Sisanya banyak yang menjadi penjahit, penata rambut, pedagang kecil dan banyak pula yang mempunyai suara lumayan untuk menyanyi. Warung Wadam Yetti Novita, misalnya, selain membaca sajak dia juga menyanyi. Anak Melan yang dibuang oleh keluarganya ini, kini bersekolah di SMA. Usianya telah 22 tahun dan kalau ke sekolah, selalu mengenakan baju perempuan. Ketika pertama kali sampai di Yogya, Yetti Novita yang berparas lumayan ini hampir saja melacurkan diri di seputar Baciro. Untung sekali ada Henny dan Yosie yang selalu membimbing Novita, bahwa masih ada lapangan kerja dan kesempatan belajar seperti manusia lainnya. "Kesulitan kami ialah bagaimana mengajak rekan-rekan kami masuk ke dalam organisasi Warung Wadam," kata osie. Meski pun nama warung mencoba mengesankan "merakyat", dari kalangan menengah ke bawah, seperti dikatakan Yosie, sambutan datang. orang tua kaum wadam dari kelas ahli melarang anaknya ikut dalam organisasi. Tapi Warung Wadam akan mencoba membimbing mereka yang beroperasi malam di Baciro, untuk mengalihkan mereka ke profesi lain yang "lebih genah". Jalan pertama lewat Poetry Dancins lanusiawi telah dibuka. Hasil bersiil tidak kurang dari Rp 1,5 juta. "Mudahmudahan mereka yang melacur itu mau menggabung dengan kami," kata Yosie. Di masa mendatang, mereka merencanakan untuk mengadakan malam drama, malam peragaan pakaian dan pertunjukan-pertunjukan lain. Rencana jangka pendek ini ialah pertunjukan keliling. Dan Kota Semarang dijadikan tujuan pertama, setelah Yogya. Teater Republik dengan sutradara Yoyok Ario tetap bersedia akan membantu. Yosie Hanna, di kamarnya di atas toko orang tuanya, kini konon sedang sibuk mengarang sandiwara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus