Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Si Mini, Mana Tahan ?

Masalah traktor bantuan presiden di sulawesi selatan. traktor pembajak banyak turun ke sawah, karena anggaran semakin langkanya tenaga penggarap.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Soeharto nampak gembira ketika mencoba membajak sawah dengan traktor mini di Desa Sidenreng, Kabupaten Sidenreng-Rappang, Sul-Sel. Ketika itu, 1978, Sul-Sel sudah 4 tahun jadi tempat percobaan pertama mekanisasi pertanian. Daerah ini dianggap semakin kekurangan tenaga penggarap sawah, baik manusia maupun ternak. Penduduk Sul-Sel yang 6 juta jiwa dianggap tidak mampu mengolah areal sawah seluas juta ha lebih. Di Kabupaten Sidenreng-Rappang (Sidrap), hanya 25.000 ha dari 45.000 ha sawah bisa diolah. Setelah traktor masuk, areal sawah yang bisa digarap bertambah jadi 39.000 ha. Selebihnya belum juga berproduksi. Kesulitan mengolah tanah itu akan lebih terasa kalau cara bertanam serentak mulai diterapkan. Belum lagi kalau sekitar 100 ha sawah baru di kabupaten tersebut dicetak tahun ini. Maka traktor pun dipakai, juga untuk mempercepat pengolahan sawah untuk mengejar tibanya musim hujan. Dan setelah mekanisasi pertanian itu, beberapa petani Sul-Sel kabarnya berhasil panen dua kali setahun. Demikianlah sejak 1974 sekitar 1.500 traktor bantuan Presiden mendarat di Sul-Sel. Tapi 6 tahun kemudian, seorang konsultan IRRI (Pusat Penelitian Padi Internasional) mengungkapkan 55% dari traktor-traktor itu tidak jalan. Selain kesulitan, suku cadang, juga kurangnya pemeliharaan atau kurang trampilnya pemakai. Sinyalemen itu dibntah oleh M. Parawansa, Ketua Tim Mekanisasi Pertanian di Sul-Sel. "Memang ada beberapa traktor yang rusak tapi tidak sampai 55%," katanya. Nenurutnya, dari 1.500 traktor, baru 745 buah yang disalurkan. Dan menutut perhitungan, umur teknis traktor itu memang 6 tahun. Meskipun demikian, traktor--selain mencoba memecahkan problem--juga menimbulkan problem. Traktor milik A. Paliwangi d.ari Desa Mattirodeceng (Kecamatan Sawitto, Pinrang) misalnya, ngambek di sawah. Biaya perbaikannya diperkirakan Rp 700.000, sedang tunggakan kreditnya nyaris Rp 1 juta. "Saya tahunya ini barang baru meski saya tahu tanah berlumpur, ya saya main hantam saja," katanya. Kerja main hantam itu bukan tanpa sebab. Menurut Kepala Desa Mattirodeceng, Hamid A. Djabbar, "mereka ingin mengejar pembayaran angsuran kredit, hingga traktor dipaksa kerja siang malam tanpa memperhatikan pemeliharaan." Sementara itu untuk memelihara kerbau mekanis yang haus solar itu, petani juga membutuhkan duit. H.S. Abdullah misalnya, petani dari Desa Allakuang (Kecamatan Maritengngae, Sidrap), memiliki sawah 20 ha. Traktornya selain dipakai sendiri juga disewakan. Membajak dari pagi hingga larut malam, setiap 5 ha sawah dibutuhkan 2,5 liter oli mesin dan 30 liter slar. Setengah bulan sekali oli gardan harus diganti. Mana tahan? Haji Range, juga petani Sidrap, juga harus memelihara traktornya dengan ongkos tinggi. Traktornya bekerja sejak pagi hingga petang, membajak sawah 40 ha, yang diselesaikannya dalam 40 hari. Mesin pembajak itu minum 20 liter solar sehari, 2 liter oli mesin seminggu dan 9 liter oli gardan sebulan. Dalam dua musim panen, pisau bajak dan rantainya rusak. Harga pisau bajak sekitar Rp 20.000, ongkos reparasi Rp 100.000. Semula traktor itu memang dimaksud untuk membantu petani kecil. Harganya yang mahal, sekitar Rp 4 juta, dicoba diatasi. Presiden misalnya menganjurkan agar petani berkelompok (5-10 orang) untuk mendapat kredit lewat BUUD/KUD. Tapi adakah petani kecil mendapat manfaat dari traktor? Beberapa ahli ada yang menyangsikan. Traktor belum tentu merupakan salah satu cara yang baik untuk memecahkan persoalan pertanian. Meskipun demikian, Zahid Hussein, Kepala Biro Bantuan Presiden, tetap berpendapat, bahwa traktor turun ke sawah karena semakin langkanya tenaga penggarap. Atasan Zahid, yaitu Sholihin G.P., Sekretaris Pengendalian Operasionil Pembangunan (Sekdalopbang) juga menegaskan, penggunaan traktor tidak akan "merebut" sumber pencarian buruh-tani pencangkul. "Penggarapan sawah tidak bisa tergantung pada mereka, sebab buruh-tani semakin berkurang," kata Sholihin. Bulan lalu ia menyerahkan 51 traktor untuk daerah pengairan Jatiluhur, Ja-Bar. Seperti Pukat Harimau Tapi menurut dua peneliti dari Bogor, M. Husein Sawit dan Yusuf Saefudin, dalam tulisannya untuk majalah bulanan Prisma, nomor yang baru terbit, "di sektor pertanian belum terlihat adanya gejala kekurangan tenaga kerja, malah ada kecenderungan kesempatan kerja yang semakin memburuk." Husein dan Yusuf, staf peneliti Studi Agro Ekonomi (SAE) Bogor itu pcrnah meneliti penggunaan traktor di DAS (daerah aliran sungai) Cimanuk, Ja-Bar. Kalaupun ada kekurangan tenaga, sifatnya hanya sementara, dan harus dipecahkan dengan meningkatkan arus mobilitas tenaga setempat. Kedua penulis juga berpendapat upah riil buruh tani malah turun dalam 3 tahun terakhir. Hingga penggunaan traktor bisa mendesak buruh tani dan "mendorong mereka untuk berimigrasi ke kota." Seperti halnya Husein dan Yusuf, Ketua SAE Dr. Ir. Rudolf S. Sinaga MSc juga berpendapat sebaiknya traktor digunakan di daerah transmigrasi. "Karena tanahnya masih keras, penduduk belum padat dan hasil setiap ha-nya masih rendah," katanya. Dosen IPB tamatan Universitas Montana (AS) ini, yang pernah meneliti kehidupan petani di kawasan Jatiluhur. Di Jatiluhur, petani tidak menraktor tanah lagi setelah irigasi membaik. Traktor hanya digunakan pada masa tanam pertama. "Pada masa tanam kedua mereka hanya melakukan walik jerami -- membabat batang padi lalu menumpanginya dengan tanaman padi yang baru," katanya. "Dan hasilnya sama saja, diolah dengan traktor atau tidak," tambahnya. Sinaga khawatir nasib traktor kelak seperti halnya pukat harimau. Mula-mula dianjurkan, setelah merugikan rakyat kecil, lantas dilarang. Pokoknya, menurut Sinaga, "pertanian kita tidak harus dipecahkan dengan traktor."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus