PRESIDEN Soeharto nampak gembira ketika mencoba membajak sawah
dengan traktor mini di Desa Sidenreng, Kabupaten
Sidenreng-Rappang, Sul-Sel. Ketika itu, 1978, Sul-Sel sudah 4
tahun jadi tempat percobaan pertama mekanisasi pertanian. Daerah
ini dianggap semakin kekurangan tenaga penggarap sawah, baik
manusia maupun ternak.
Penduduk Sul-Sel yang 6 juta jiwa dianggap tidak mampu mengolah
areal sawah seluas juta ha lebih. Di Kabupaten
Sidenreng-Rappang (Sidrap), hanya 25.000 ha dari 45.000 ha sawah
bisa diolah. Setelah traktor masuk, areal sawah yang bisa
digarap bertambah jadi 39.000 ha. Selebihnya belum juga
berproduksi.
Kesulitan mengolah tanah itu akan lebih terasa kalau cara
bertanam serentak mulai diterapkan. Belum lagi kalau sekitar
100 ha sawah baru di kabupaten tersebut dicetak tahun ini. Maka
traktor pun dipakai, juga untuk mempercepat pengolahan sawah
untuk mengejar tibanya musim hujan. Dan setelah mekanisasi
pertanian itu, beberapa petani Sul-Sel kabarnya berhasil panen
dua kali setahun.
Demikianlah sejak 1974 sekitar 1.500 traktor bantuan Presiden
mendarat di Sul-Sel. Tapi 6 tahun kemudian, seorang konsultan
IRRI (Pusat Penelitian Padi Internasional) mengungkapkan 55%
dari traktor-traktor itu tidak jalan. Selain kesulitan, suku
cadang, juga kurangnya pemeliharaan atau kurang trampilnya
pemakai.
Sinyalemen itu dibntah oleh M. Parawansa, Ketua Tim Mekanisasi
Pertanian di Sul-Sel. "Memang ada beberapa traktor yang rusak
tapi tidak sampai 55%," katanya. Nenurutnya, dari 1.500
traktor, baru 745 buah yang disalurkan. Dan menutut perhitungan,
umur teknis traktor itu memang 6 tahun.
Meskipun demikian, traktor--selain mencoba memecahkan
problem--juga menimbulkan problem. Traktor milik A. Paliwangi
d.ari Desa Mattirodeceng (Kecamatan Sawitto, Pinrang) misalnya,
ngambek di sawah. Biaya perbaikannya diperkirakan Rp 700.000,
sedang tunggakan kreditnya nyaris Rp 1 juta. "Saya tahunya ini
barang baru meski saya tahu tanah berlumpur, ya saya main hantam
saja," katanya.
Kerja main hantam itu bukan tanpa sebab. Menurut Kepala Desa
Mattirodeceng, Hamid A. Djabbar, "mereka ingin mengejar
pembayaran angsuran kredit, hingga traktor dipaksa kerja siang
malam tanpa memperhatikan pemeliharaan." Sementara itu untuk
memelihara kerbau mekanis yang haus solar itu, petani juga
membutuhkan duit.
H.S. Abdullah misalnya, petani dari Desa Allakuang (Kecamatan
Maritengngae, Sidrap), memiliki sawah 20 ha. Traktornya selain
dipakai sendiri juga disewakan. Membajak dari pagi hingga larut
malam, setiap 5 ha sawah dibutuhkan 2,5 liter oli mesin dan 30
liter slar. Setengah bulan sekali oli gardan harus diganti.
Mana tahan?
Haji Range, juga petani Sidrap, juga harus memelihara traktornya
dengan ongkos tinggi. Traktornya bekerja sejak pagi hingga
petang, membajak sawah 40 ha, yang diselesaikannya dalam 40
hari. Mesin pembajak itu minum 20 liter solar sehari, 2 liter
oli mesin seminggu dan 9 liter oli gardan sebulan. Dalam dua
musim panen, pisau bajak dan rantainya rusak. Harga pisau bajak
sekitar Rp 20.000, ongkos reparasi Rp 100.000.
Semula traktor itu memang dimaksud untuk membantu petani kecil.
Harganya yang mahal, sekitar Rp 4 juta, dicoba diatasi. Presiden
misalnya menganjurkan agar petani berkelompok (5-10 orang) untuk
mendapat kredit lewat BUUD/KUD.
Tapi adakah petani kecil mendapat manfaat dari traktor? Beberapa
ahli ada yang menyangsikan. Traktor belum tentu merupakan salah
satu cara yang baik untuk memecahkan persoalan pertanian.
Meskipun demikian, Zahid Hussein, Kepala Biro Bantuan Presiden,
tetap berpendapat, bahwa traktor turun ke sawah karena semakin
langkanya tenaga penggarap.
Atasan Zahid, yaitu Sholihin G.P., Sekretaris Pengendalian
Operasionil Pembangunan (Sekdalopbang) juga menegaskan,
penggunaan traktor tidak akan "merebut" sumber pencarian
buruh-tani pencangkul. "Penggarapan sawah tidak bisa tergantung
pada mereka, sebab buruh-tani semakin berkurang," kata Sholihin.
Bulan lalu ia menyerahkan 51 traktor untuk daerah pengairan
Jatiluhur, Ja-Bar.
Seperti Pukat Harimau
Tapi menurut dua peneliti dari Bogor, M. Husein Sawit dan Yusuf
Saefudin, dalam tulisannya untuk majalah bulanan Prisma, nomor
yang baru terbit, "di sektor pertanian belum terlihat adanya
gejala kekurangan tenaga kerja, malah ada kecenderungan
kesempatan kerja yang semakin memburuk." Husein dan Yusuf, staf
peneliti Studi Agro Ekonomi (SAE) Bogor itu pcrnah meneliti
penggunaan traktor di DAS (daerah aliran sungai) Cimanuk,
Ja-Bar.
Kalaupun ada kekurangan tenaga, sifatnya hanya sementara, dan
harus dipecahkan dengan meningkatkan arus mobilitas tenaga
setempat. Kedua penulis juga berpendapat upah riil buruh tani
malah turun dalam 3 tahun terakhir. Hingga penggunaan traktor
bisa mendesak buruh tani dan "mendorong mereka untuk berimigrasi
ke kota."
Seperti halnya Husein dan Yusuf, Ketua SAE Dr. Ir. Rudolf S.
Sinaga MSc juga berpendapat sebaiknya traktor digunakan di
daerah transmigrasi. "Karena tanahnya masih keras, penduduk
belum padat dan hasil setiap ha-nya masih rendah," katanya.
Dosen IPB tamatan Universitas Montana (AS) ini, yang pernah
meneliti kehidupan petani di kawasan Jatiluhur.
Di Jatiluhur, petani tidak menraktor tanah lagi setelah irigasi
membaik. Traktor hanya digunakan pada masa tanam pertama. "Pada
masa tanam kedua mereka hanya melakukan walik jerami -- membabat
batang padi lalu menumpanginya dengan tanaman padi yang baru,"
katanya. "Dan hasilnya sama saja, diolah dengan traktor atau
tidak," tambahnya.
Sinaga khawatir nasib traktor kelak seperti halnya pukat
harimau. Mula-mula dianjurkan, setelah merugikan rakyat kecil,
lantas dilarang. Pokoknya, menurut Sinaga, "pertanian kita tidak
harus dipecahkan dengan traktor."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini