Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah naungan akasia di depan kampus Universitas Indonesia,
Salemba, Nyonya Ratna menunggu. Matanya yang tak sabar tak
lepas-lepasnya menanti anaknya keluar dari pintu gerbang.
Sekali-sekali dia mengeluarkan selampai dan menyeka keringatnya.
"Masuk UI tambah sulit saja. Anak saya yang sekarang duduk di
kelas IV fakultas ekonomi dulu, mengurusnya sendiri. Sekarang
saya harus ikut mengantar. Soalnya dia gadis dan saya takut
kalau-kalau dia dapat kesulitan dalam mendaftar. Maklumlah yang
mau masuk banyak sekali," katanya.
Ibu itu benar. Pelamar ke perguruan tinggi memang banyak
sekali. Angkatan yang dilahirkan lulusan SLA tahun ini saja
diperkirakan mencapai 110.000 di seluruh Indonesia. Belum lagi
dihitung pemuda yang gagal menduduki bangku pendidikan tinggi
tahun lalu. Sedangkan daya tampung 40 perguruan tinggi negeri
hanya 30.000. Perguruan swasta yang berjumlah 300 hanya bisa
menampung 35.000 orang. Maka jumlah yang tidak mendapat
kesempatan masuk begitu besar, dan terbagi ke dalam dua
kemungkinan. Masuk kerja atau mennganggur.
Arus pelamar itu terutama oleh perguruan tinggi yang dianggap
hebat, seperti UI, ITB, IPB, GAMA dan UNAIR yang tergabung dalam
Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU). Jumlah
pelamar sampai minggu lalu sudah mencapai 30 ribuan. Padahal
daya tampung ke lima universias hanya 6500 orang.
Rebutan bangku perguruan tinggi sesungguhnya bukan hanya cerita
saat ini. Sudah sejak bertahun-tahun ketimpangan jumlah
permintaan dan persediaan itu berjalan. Ada yang beranggapan
bertambah besarnya mereka yang tak kebagian bangku itu ada
hubungannya dengan jumlah lulusan universitas yang tetap tipis
saban tahun. "Output universita hanya 5% sedangkan indeks
kenaikan lulusan SLA mencapai sampai 15%," kata Dirjen
Pendidikan Tinggi. Prof Dody Pisnaamidjaja.
Data itu nampaknya telah merangsang Menteri P&K Sjarif Thajeb
melontarkan gagasan untuk meniadakan skripsi bagi mahasiswa
tingkat akhir. Sebah dia beranggapan penulisan skripsi yang
terus tertunda-tunda oleh "mahasiswa menetap", membuat
kemungkinan masuknya mahasiswa baru jadi sempit. Tidak banyak
kedengaran tanggapan yang bersungguh-sungguh dari kalangan
universitas terhadap gagasan menteri itu. Umumnya meragukan
mendapat ide menteri itu. Dan Sjarif Thajeb sendiri belum pernah
mengemukakan rencana pemerintah untuk menambah perguruan tinggi
yang sudah ada, dalam rangka menyambut tuntutan masyarakat yang
terus membenci itu.
Prof Tisna hanya menyebutkan niat pemerintah untuk mencambuk
perguruan tinggi supaya menyelesaikan masa kuliah dalam batas
waktu yang tegas. "Katakanlah paling lama lima atau tujuh
tahun. Dan harus dipatuhi," katanya. Dengan demikian prosentase
lulusan universitas tidak tetap tinggal 5%, tapi bisa dinaikkan
menjadi 12%. Menurut dia angka yang ideal ini sampai sekarang
hanya dicapai Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi
Bandung.
DI samping itu dalam tahun 1980 di berbagai kota besar yang
punya universitas akan di buka pula lapangan pendiikan baru
dalam rangka menyiapkan tenaga trampil yang siap-pakai dalam
lapangan industri dan pertanian (lihat: Bagi Yang Tak Gila
Gelar). Program pendidikan yang tidak memberikan gelar sarjana
itu, tapi hanya sekedar diploma ahli ini dan ahli itu,
pelaksanaannya dikaitkan dengan tenaga pendidik yang tersedia
pada universitas setempat. "Saya berharap program pendidikan itu
nantinya benar-benar menjadi pilihan dan bukan tempat drop-out,
atau pilihan kedua setelah gagal masuk universitas," kata Tisna.
UNTUK merem lajunya lulusan SLA tentu saja pekerjaan yang
mustahil. Dan tak perlu. Sebab tujuan pendidikan sekarang,
begitulah rencana pemerintah, justru perataan. "Bahwa ada yang
tidak dapat pekerjaan atau tidak bisa melanjutkan ke perguruan
tinggi, itu urusan lain. Kita ingin bebas dari sistim pendidikan
Belanda yang hanya memberikan kesempatan pendidikan terbatas
kepada bangsa kita. Karena itu jangan heran kalau nanti kita
menemukan tukang kue atau supir opelet lulusan SMA," kata
seorang pejabat-tinggi P&K bersemangat. Perataan pendidikan SLA
itu nampaknya cukup memuaskan Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Prof Dr Santoso S. Hamijoyo Msc. Katanya ada 9,3 juta
penduduk berusia sekolah lanjutan atas, dan yang mendapat
kesempatan sudah mencapa 14%.
Membanjirnya calon mahasiswa dan terbatasnya tempat duduk di
perguruan tinggi bagi SKALU yang sudah terbentuk sejak tahun
1971, merupakan kesempatan untuk membenahi standar mutu calon
mahasiswa. Pikiran mengenai standar calon mahasiswa itu.
Sebenarnya muncul pada tahun 1971. Tapi sebagaimana dikatakan
Kusmardiono SH sekretaris SKALU "baru tahun 1970 dilaksanakan
ujian bersama antara kelima universitas anggotnya. Ujian masuk
untuk ke 5 universitas cukup dilaksanakan satu kali saja dan di
satu tempat. Misalnya calon yang tinggal di Yogyakarta,
cukup ujian di sana meskipun dia ingin masuk UI atau ITB
misalnya.
Persiapan ujian bersama itu kedengarannya memakan waktu
bertahun. Namun ketika sampai pada pelaksanaan, terjadilah
hal-hal yang dianggap masyarakat sebagai kesalahan, dan menuntut
supaya ujian semacam itu ditiadakan saja.
Kecaman tersebut terutama tertuju pada pemberian predikat
"Dapat mendaftarkan di PT (Perguruan Tinggi) SKALU" dan
"Tak dapat me ndaftarkan di PT SKALU", kepada mereka yang
telah mengikuti ujian masuk. "Dapat mendaftar itu" benar-benar
berarti bahwa si pelajar memang diperbolehkan mendaftar ke
universitas yang dia gemari. Tapi nyatanya sampai di situ, dia
masih diseleksi lagi. "Kalau memang tak bisa diterima, dari dulu
saja katakan tak bisa masuk universitas," gerutu seorang pelaiar
yang gagal.
Menurut Kusmandiono, caci-maki yang pedas dan timbul dari
predikat kosong itu tak akan terulang lagi. Tahun ini, bagi
mereka yang ikut dalam ujian masuk Proyek Perintis (terdiri dari
lima universitas anggota SKALU) yang dilaksanakan serentak pada
tanggal 7 sampli 30 Desember, pada awal Pebruari sudah dapat
kepastian langsung apakah mereka bisa duduk di universitas
pilihannya atau tidak. "Jadi yang di umumkan adalah mereka
yang bisa masuk di fakultas dan universitas, sesuai dengan
pilihan," katanya. Singkat kata, masuk universitas hanya
menempuh sekali ujian, yang berarti penghematan waktu dan uang
bagi para calon yang berjumlah puluhan ribu itu.
Sekalipun terdapat kekeliruan dalam pelaksanaan ujian SKALU
tempo hari, cita-cita untuk menyamakan standar calon mahasiswa
tetap hidup terus. Malahan cita-cita itu tidak hanya jadi milik
perguruan tinggi anggota SKALU seperti UI (Jakarta), IPB
(Bogor), ITB (Bandung), GAMA (Yogyakarta) dan UNAIR (Surabaya),
kini dia sudah dioper oleh P&K dengan dibentuknya Panitia
Nasional Studi Penerimaan Mahasiswa Baru di lingkungan
universitas dan institut negeri. Diketuai Prof Makirin Husin
dari Universitas Airlangga.
Badan ini mengamati jalannya ujian masuk yang terbagi 3,
masing-masing Proyek Perintis I (bekas SKALU dulu), Proyek
Perintis II (untuk Institut Pertanian Bogor) dan Proyek Perintis
III untuk Universitas Sumatera Utara, Uniersitas Pajajaran,
IKIP Bandung, Universitas DiponeLoro. Universitas Brawijaya
Institut Teknologi Surabaya dan Unjversitas Hasanuddin
(Ujungpandang). "Sasaran proyek perintis ini ialah untuk
memperoleh calon mahasiswa yang berkemampuan" kata Prof Dody
Tisnaamidjaja.
Pada Proyek Perintis III mobilitas calon mahasiswa tidaklah
seramai pada PP I. Di sini seorang calon dari Surabaya
misalnya, bisa saja memiliki universitas yang ada di Jakarta,
Bandung atau Yogya dan tidak memilih Universitas Airlangga yang
ada di kotanya. Tetapi anak-anak Medan dan Ujungpandang
agaknya jarang sekali yang menjatuhkan pilihan pada universitas
selain yang ada di kota mereka sendiri. Atau kalau pun mereka
akan berangkat meninggalkan kotanya, pastilah mereka akan
menyeberang ke Jawa dan mencoha masuk perguruan tinggi (centres
of excellence) yang tergantung dalam PP I.
Dari 3185 peserta ujian masuk Universitas Sumatera Utara,
Medan, hanya 1%, yang datang dari luar Sumatera dan 4% datang
dari luar Sumatera Utara. Pada taraf sekarang tujuan dari proyek
perintis ujian masuk memang baru sampai pada rencana pembakuan
calon mahasiswa. Sehingga tercapai kesatuan mutu di antara
mahasiswa perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, dengan
menyeragamkan soal untuk ujian masuk. "Soal pada ujian masuk USU
tahun ini sederajat dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditemukan
pada ujian masuk universitas yang terdapat di Jawa. "Ini bagus,
untuk mengetahui apakah lulusan SLA di Sumatera Utara rendah
atau tidak," kata Pror AT Barus, ketua pelaksana ujian masuk
USU.
Keseragaman itu bisa dilihat pada Buku Panduan Ujian Masuk yang
dicetak P&K dan dijual dengan harga Rp 500. Di situ ditunjukkan
secara garis besar materi ujian. Dan memberikan tuntunan yang
terperinci mengenai waktu ujian untuk ketiga proyek perintis,
sampai pada bagaimana cara menempuh ujian dan alat-alat tulis
apa saja yang harus dibawa.
Prof AT Barus dari Medan mengharapkan dengan ujian yang terpusat
dapat dicegah adanya permainan curang. Karena, katanya dengan
sistim sekarang hasil ujian yang diproses di pusat tak mungkin
dirobah lagi di daerah. Dia memperingatkan: "Jangan coba-coba
cari jalan lain untuk masuk USU. Ikutilah testing. Kalau ada
pihak yang menjanjikan sesuatu, calon mahasiswa supaya melapor
kepada Rektor atau Opstib."
DALAM tiap suasana penuh sesak biasanya ada yang mau berbuat
curang. Karena itu sedikit saja ada gelagat yang menyimpang,
gampanglah membangkitkan kecurigaan. Minggu lahl misalnya, Lusia
Soetanto menumpahkan kecurigaan anaknya kepada harian Kompas.
Soalnya bagi mereka yang mendaftar di UI agak belakangan -
karena tanda lulus SMA baru saja keluar -- mendapatkan nomor
urut yang berantakan. "Anak saya yang kritis bertanya-tanya
dalam hati, apakah nomor urut yang diatur rapi pada
tangal-tanggal sebelumnya dimaksudkan untuk grup-grup tertentu
dalam suatu bimbingan test, ataukah ada maksud-maksud lain dari
panitia penjualan buku pendaftaran yang berharga Rp 6000?" tulis
nyonya itu.
Institut Pertanian Bogor, satu-satunya perguman tinggi pada
Proyek Perintis II, melaksanakan penerimaan calon mahasiswanya
dengan jalan yangagak lain. Tahun ini ia merencanakan untuk
menampung 1000 orang. Tapi yang akan diterima lewat ujian masuk
hanya 200. Bagian terbesar dari calon dia ambil berdasarkan
sistim talent scouting, penjajagan bakat.
Penjajagan-bakat ini mulai dilaksanakan sejak 19 76 . Dengan
melakukan korespondensi ke berbagai SMA di seluruh Indonesia,
IPB menyatakan dirinya terbuka bagi pelajar yang ingin masuk
tanpa melalui ujian. Hanya syaratnya mereka adalah murid yang
termasuk dalam S atau 10% anak terpandai di sekolahnya.
Rekomendasi diberikan oleh kepala sekolah dengan melampirkan
fotokopi rapor mulai dari kelas satu.
Surat-menyurat itu sudah dimulai sejak Juni, tiap tahun. Bagi
yang berminat sudah harus mengirimkan lamarannya paling lambat
tanggal 31 Oktober (cap pos). Menurut seorang kepala sekolah,
korespondensi berjalan rapi. IPB tidak hanya menguraikan
tetek-bengek persyaratan yang dia kehendaki. Ia juga memberikan
gambaran tuntutan kehidupan seorang mahasiswa di Bogor. Tahun
ini, misalnya, disebutkan uang pondokan untuk satu orang di kota
itu Rp 10.000. Kamar sederhana dan cuci sendiri. Sedangkan
dengan Rp 15.000 sudah all-in, jumlah itu sudah meliputi makan
dan cuci.
Sistim yang sudah berjalan dua tahun ini telah memberikan bibit
unggul dari perguruan tinggi pertanian itu. Menurut Dr Andi
Hakim Nasution, ketua panitia penerimaan mahasiswa baru IPB,
dari 320 mahasiswa yang masuk lewat proses penjajagan-bakat
tahun 1976, 7 orang naik tingkat dengan predikat cum laude dan
35 sangat memuaskan. Sedangkan yang 200 orang masuk lewat ujian
SKALU, tak ada yang naik tingkat dengan predikat cum laude.
Hanya 6 orang naik dengan memuaskan. Tetapi yang tak kalah
penting dari sistim ini adalah kearifan lain yang diberikannya.
Orangtua yang tergolong kurang mampu, tapi punya anak berbakat,
tak perlu berkorban untuk mengirimkan anaknya jauhjauh untuk
ikut ujian masuk yang belum pasti hasilnya.
Ada testing, ada scouting, dalam tiga proyek perintis ujian
masuk ini. Semuanya masih dalam taraf percobaan. "Nanti," ujar
Dr Setiadi, kepala bagian penelitian dan pengembangan P & K,
"yang akan diterapkan hanya salan satu sistim aja."
Tetapi di departemen yang dipimpin Sjarif Thajeb masih
mengainbang pikiran tentang kapankah ujian masuk itu
dilaksanakan. Pada tingkat akhir SLA atau menjelang masuk
perguruan tinggi? Setiadi cenderung untuk memilih dilakukan di
SLA saja. Kalau memang begitu organisasi yang kuat dibutuhkan
untuk menyesuaikan kebutuhan perguruan tinggi dengan lulusan
sekolah lanjutan. Agar rebutan bangku tak terjadi lagi.
"Bagi saya yang lebih penting adalah kepastian bisa masuk
universitas, daripada tanda lulus SMA. Sekarang kami seperti
berjudi. Semua dilamar. Untuk ujian masuk anak saya melamar dua
universitas, kena Rp 12.000. Kemarin melamar di akademi
sekretariat, kena Rp 5000," keluh Nyonya Sutarti yang sedang
mendaftarkan anaknya ke UI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo