Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Masuk Universitas: Masih Berjudi ...

Beberapa usaha untuk menampung lulusan sla di perguruan tinggi, antara lain: meniadalan skripsi untuk mahasiswa tingkat akhir, membuka program non gelar, ujian bersama bagi universitas negeri dll. (pdk)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah naungan akasia di depan kampus Universitas Indonesia, Salemba, Nyonya Ratna menunggu. Matanya yang tak sabar tak lepas-lepasnya menanti anaknya keluar dari pintu gerbang. Sekali-sekali dia mengeluarkan selampai dan menyeka keringatnya. "Masuk UI tambah sulit saja. Anak saya yang sekarang duduk di kelas IV fakultas ekonomi dulu, mengurusnya sendiri. Sekarang saya harus ikut mengantar. Soalnya dia gadis dan saya takut kalau-kalau dia dapat kesulitan dalam mendaftar. Maklumlah yang mau masuk banyak sekali," katanya. Ibu itu benar. Pelamar ke perguruan tinggi memang banyak sekali. Angkatan yang dilahirkan lulusan SLA tahun ini saja diperkirakan mencapai 110.000 di seluruh Indonesia. Belum lagi dihitung pemuda yang gagal menduduki bangku pendidikan tinggi tahun lalu. Sedangkan daya tampung 40 perguruan tinggi negeri hanya 30.000. Perguruan swasta yang berjumlah 300 hanya bisa menampung 35.000 orang. Maka jumlah yang tidak mendapat kesempatan masuk begitu besar, dan terbagi ke dalam dua kemungkinan. Masuk kerja atau mennganggur. Arus pelamar itu terutama oleh perguruan tinggi yang dianggap hebat, seperti UI, ITB, IPB, GAMA dan UNAIR yang tergabung dalam Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU). Jumlah pelamar sampai minggu lalu sudah mencapai 30 ribuan. Padahal daya tampung ke lima universias hanya 6500 orang. Rebutan bangku perguruan tinggi sesungguhnya bukan hanya cerita saat ini. Sudah sejak bertahun-tahun ketimpangan jumlah permintaan dan persediaan itu berjalan. Ada yang beranggapan bertambah besarnya mereka yang tak kebagian bangku itu ada hubungannya dengan jumlah lulusan universitas yang tetap tipis saban tahun. "Output universita hanya 5% sedangkan indeks kenaikan lulusan SLA mencapai sampai 15%," kata Dirjen Pendidikan Tinggi. Prof Dody Pisnaamidjaja. Data itu nampaknya telah merangsang Menteri P&K Sjarif Thajeb melontarkan gagasan untuk meniadakan skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir. Sebah dia beranggapan penulisan skripsi yang terus tertunda-tunda oleh "mahasiswa menetap", membuat kemungkinan masuknya mahasiswa baru jadi sempit. Tidak banyak kedengaran tanggapan yang bersungguh-sungguh dari kalangan universitas terhadap gagasan menteri itu. Umumnya meragukan mendapat ide menteri itu. Dan Sjarif Thajeb sendiri belum pernah mengemukakan rencana pemerintah untuk menambah perguruan tinggi yang sudah ada, dalam rangka menyambut tuntutan masyarakat yang terus membenci itu. Prof Tisna hanya menyebutkan niat pemerintah untuk mencambuk perguruan tinggi supaya menyelesaikan masa kuliah dalam batas waktu yang tegas. "Katakanlah paling lama lima atau tujuh tahun. Dan harus dipatuhi," katanya. Dengan demikian prosentase lulusan universitas tidak tetap tinggal 5%, tapi bisa dinaikkan menjadi 12%. Menurut dia angka yang ideal ini sampai sekarang hanya dicapai Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Bandung. DI samping itu dalam tahun 1980 di berbagai kota besar yang punya universitas akan di buka pula lapangan pendiikan baru dalam rangka menyiapkan tenaga trampil yang siap-pakai dalam lapangan industri dan pertanian (lihat: Bagi Yang Tak Gila Gelar). Program pendidikan yang tidak memberikan gelar sarjana itu, tapi hanya sekedar diploma ahli ini dan ahli itu, pelaksanaannya dikaitkan dengan tenaga pendidik yang tersedia pada universitas setempat. "Saya berharap program pendidikan itu nantinya benar-benar menjadi pilihan dan bukan tempat drop-out, atau pilihan kedua setelah gagal masuk universitas," kata Tisna. UNTUK merem lajunya lulusan SLA tentu saja pekerjaan yang mustahil. Dan tak perlu. Sebab tujuan pendidikan sekarang, begitulah rencana pemerintah, justru perataan. "Bahwa ada yang tidak dapat pekerjaan atau tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, itu urusan lain. Kita ingin bebas dari sistim pendidikan Belanda yang hanya memberikan kesempatan pendidikan terbatas kepada bangsa kita. Karena itu jangan heran kalau nanti kita menemukan tukang kue atau supir opelet lulusan SMA," kata seorang pejabat-tinggi P&K bersemangat. Perataan pendidikan SLA itu nampaknya cukup memuaskan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Dr Santoso S. Hamijoyo Msc. Katanya ada 9,3 juta penduduk berusia sekolah lanjutan atas, dan yang mendapat kesempatan sudah mencapa 14%. Membanjirnya calon mahasiswa dan terbatasnya tempat duduk di perguruan tinggi bagi SKALU yang sudah terbentuk sejak tahun 1971, merupakan kesempatan untuk membenahi standar mutu calon mahasiswa. Pikiran mengenai standar calon mahasiswa itu. Sebenarnya muncul pada tahun 1971. Tapi sebagaimana dikatakan Kusmardiono SH sekretaris SKALU "baru tahun 1970 dilaksanakan ujian bersama antara kelima universitas anggotnya. Ujian masuk untuk ke 5 universitas cukup dilaksanakan satu kali saja dan di satu tempat. Misalnya calon yang tinggal di Yogyakarta, cukup ujian di sana meskipun dia ingin masuk UI atau ITB misalnya. Persiapan ujian bersama itu kedengarannya memakan waktu bertahun. Namun ketika sampai pada pelaksanaan, terjadilah hal-hal yang dianggap masyarakat sebagai kesalahan, dan menuntut supaya ujian semacam itu ditiadakan saja. Kecaman tersebut terutama tertuju pada pemberian predikat "Dapat mendaftarkan di PT (Perguruan Tinggi) SKALU" dan "Tak dapat me ndaftarkan di PT SKALU", kepada mereka yang telah mengikuti ujian masuk. "Dapat mendaftar itu" benar-benar berarti bahwa si pelajar memang diperbolehkan mendaftar ke universitas yang dia gemari. Tapi nyatanya sampai di situ, dia masih diseleksi lagi. "Kalau memang tak bisa diterima, dari dulu saja katakan tak bisa masuk universitas," gerutu seorang pelaiar yang gagal. Menurut Kusmandiono, caci-maki yang pedas dan timbul dari predikat kosong itu tak akan terulang lagi. Tahun ini, bagi mereka yang ikut dalam ujian masuk Proyek Perintis (terdiri dari lima universitas anggota SKALU) yang dilaksanakan serentak pada tanggal 7 sampli 30 Desember, pada awal Pebruari sudah dapat kepastian langsung apakah mereka bisa duduk di universitas pilihannya atau tidak. "Jadi yang di umumkan adalah mereka yang bisa masuk di fakultas dan universitas, sesuai dengan pilihan," katanya. Singkat kata, masuk universitas hanya menempuh sekali ujian, yang berarti penghematan waktu dan uang bagi para calon yang berjumlah puluhan ribu itu. Sekalipun terdapat kekeliruan dalam pelaksanaan ujian SKALU tempo hari, cita-cita untuk menyamakan standar calon mahasiswa tetap hidup terus. Malahan cita-cita itu tidak hanya jadi milik perguruan tinggi anggota SKALU seperti UI (Jakarta), IPB (Bogor), ITB (Bandung), GAMA (Yogyakarta) dan UNAIR (Surabaya), kini dia sudah dioper oleh P&K dengan dibentuknya Panitia Nasional Studi Penerimaan Mahasiswa Baru di lingkungan universitas dan institut negeri. Diketuai Prof Makirin Husin dari Universitas Airlangga. Badan ini mengamati jalannya ujian masuk yang terbagi 3, masing-masing Proyek Perintis I (bekas SKALU dulu), Proyek Perintis II (untuk Institut Pertanian Bogor) dan Proyek Perintis III untuk Universitas Sumatera Utara, Uniersitas Pajajaran, IKIP Bandung, Universitas DiponeLoro. Universitas Brawijaya Institut Teknologi Surabaya dan Unjversitas Hasanuddin (Ujungpandang). "Sasaran proyek perintis ini ialah untuk memperoleh calon mahasiswa yang berkemampuan" kata Prof Dody Tisnaamidjaja. Pada Proyek Perintis III mobilitas calon mahasiswa tidaklah seramai pada PP I. Di sini seorang calon dari Surabaya misalnya, bisa saja memiliki universitas yang ada di Jakarta, Bandung atau Yogya dan tidak memilih Universitas Airlangga yang ada di kotanya. Tetapi anak-anak Medan dan Ujungpandang agaknya jarang sekali yang menjatuhkan pilihan pada universitas selain yang ada di kota mereka sendiri. Atau kalau pun mereka akan berangkat meninggalkan kotanya, pastilah mereka akan menyeberang ke Jawa dan mencoha masuk perguruan tinggi (centres of excellence) yang tergantung dalam PP I. Dari 3185 peserta ujian masuk Universitas Sumatera Utara, Medan, hanya 1%, yang datang dari luar Sumatera dan 4% datang dari luar Sumatera Utara. Pada taraf sekarang tujuan dari proyek perintis ujian masuk memang baru sampai pada rencana pembakuan calon mahasiswa. Sehingga tercapai kesatuan mutu di antara mahasiswa perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, dengan menyeragamkan soal untuk ujian masuk. "Soal pada ujian masuk USU tahun ini sederajat dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditemukan pada ujian masuk universitas yang terdapat di Jawa. "Ini bagus, untuk mengetahui apakah lulusan SLA di Sumatera Utara rendah atau tidak," kata Pror AT Barus, ketua pelaksana ujian masuk USU. Keseragaman itu bisa dilihat pada Buku Panduan Ujian Masuk yang dicetak P&K dan dijual dengan harga Rp 500. Di situ ditunjukkan secara garis besar materi ujian. Dan memberikan tuntunan yang terperinci mengenai waktu ujian untuk ketiga proyek perintis, sampai pada bagaimana cara menempuh ujian dan alat-alat tulis apa saja yang harus dibawa. Prof AT Barus dari Medan mengharapkan dengan ujian yang terpusat dapat dicegah adanya permainan curang. Karena, katanya dengan sistim sekarang hasil ujian yang diproses di pusat tak mungkin dirobah lagi di daerah. Dia memperingatkan: "Jangan coba-coba cari jalan lain untuk masuk USU. Ikutilah testing. Kalau ada pihak yang menjanjikan sesuatu, calon mahasiswa supaya melapor kepada Rektor atau Opstib." DALAM tiap suasana penuh sesak biasanya ada yang mau berbuat curang. Karena itu sedikit saja ada gelagat yang menyimpang, gampanglah membangkitkan kecurigaan. Minggu lahl misalnya, Lusia Soetanto menumpahkan kecurigaan anaknya kepada harian Kompas. Soalnya bagi mereka yang mendaftar di UI agak belakangan - karena tanda lulus SMA baru saja keluar -- mendapatkan nomor urut yang berantakan. "Anak saya yang kritis bertanya-tanya dalam hati, apakah nomor urut yang diatur rapi pada tangal-tanggal sebelumnya dimaksudkan untuk grup-grup tertentu dalam suatu bimbingan test, ataukah ada maksud-maksud lain dari panitia penjualan buku pendaftaran yang berharga Rp 6000?" tulis nyonya itu. Institut Pertanian Bogor, satu-satunya perguman tinggi pada Proyek Perintis II, melaksanakan penerimaan calon mahasiswanya dengan jalan yangagak lain. Tahun ini ia merencanakan untuk menampung 1000 orang. Tapi yang akan diterima lewat ujian masuk hanya 200. Bagian terbesar dari calon dia ambil berdasarkan sistim talent scouting, penjajagan bakat. Penjajagan-bakat ini mulai dilaksanakan sejak 19 76 . Dengan melakukan korespondensi ke berbagai SMA di seluruh Indonesia, IPB menyatakan dirinya terbuka bagi pelajar yang ingin masuk tanpa melalui ujian. Hanya syaratnya mereka adalah murid yang termasuk dalam S atau 10% anak terpandai di sekolahnya. Rekomendasi diberikan oleh kepala sekolah dengan melampirkan fotokopi rapor mulai dari kelas satu. Surat-menyurat itu sudah dimulai sejak Juni, tiap tahun. Bagi yang berminat sudah harus mengirimkan lamarannya paling lambat tanggal 31 Oktober (cap pos). Menurut seorang kepala sekolah, korespondensi berjalan rapi. IPB tidak hanya menguraikan tetek-bengek persyaratan yang dia kehendaki. Ia juga memberikan gambaran tuntutan kehidupan seorang mahasiswa di Bogor. Tahun ini, misalnya, disebutkan uang pondokan untuk satu orang di kota itu Rp 10.000. Kamar sederhana dan cuci sendiri. Sedangkan dengan Rp 15.000 sudah all-in, jumlah itu sudah meliputi makan dan cuci. Sistim yang sudah berjalan dua tahun ini telah memberikan bibit unggul dari perguruan tinggi pertanian itu. Menurut Dr Andi Hakim Nasution, ketua panitia penerimaan mahasiswa baru IPB, dari 320 mahasiswa yang masuk lewat proses penjajagan-bakat tahun 1976, 7 orang naik tingkat dengan predikat cum laude dan 35 sangat memuaskan. Sedangkan yang 200 orang masuk lewat ujian SKALU, tak ada yang naik tingkat dengan predikat cum laude. Hanya 6 orang naik dengan memuaskan. Tetapi yang tak kalah penting dari sistim ini adalah kearifan lain yang diberikannya. Orangtua yang tergolong kurang mampu, tapi punya anak berbakat, tak perlu berkorban untuk mengirimkan anaknya jauhjauh untuk ikut ujian masuk yang belum pasti hasilnya. Ada testing, ada scouting, dalam tiga proyek perintis ujian masuk ini. Semuanya masih dalam taraf percobaan. "Nanti," ujar Dr Setiadi, kepala bagian penelitian dan pengembangan P & K, "yang akan diterapkan hanya salan satu sistim aja." Tetapi di departemen yang dipimpin Sjarif Thajeb masih mengainbang pikiran tentang kapankah ujian masuk itu dilaksanakan. Pada tingkat akhir SLA atau menjelang masuk perguruan tinggi? Setiadi cenderung untuk memilih dilakukan di SLA saja. Kalau memang begitu organisasi yang kuat dibutuhkan untuk menyesuaikan kebutuhan perguruan tinggi dengan lulusan sekolah lanjutan. Agar rebutan bangku tak terjadi lagi. "Bagi saya yang lebih penting adalah kepastian bisa masuk universitas, daripada tanda lulus SMA. Sekarang kami seperti berjudi. Semua dilamar. Untuk ujian masuk anak saya melamar dua universitas, kena Rp 12.000. Kemarin melamar di akademi sekretariat, kena Rp 5000," keluh Nyonya Sutarti yang sedang mendaftarkan anaknya ke UI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus