Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Opstib Dan Salon Kecantikan

Beberapa usaha salon kecantikan di jakarta mengalami penurunan pengunjung sejak adanya istilah pungli dan opstib. tapi salon kecantikan di daerah elite tetap ramai.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARASI di samping rumahnya telah disulap menjadi salon kecantikan Cempaka. Di antara selusin usaha semacaun itu di sekitar Taman Solo, Cempaka Putih, Jakarta, milik Ny. Susi Hasan yang pakai AC itulah yang biasanya paling ramai. Hidangan coklat susu atau sirop manis termasuk pelayanannya. Tambahall pula tiga karyawannya, termasuk Farida yang wadam, sabar dan teliti sekali. Pada hari biasa ada 7 sampai 10 orang yang dilayaninya. "Kalau untuk malam Minggu bisa sampai 25 orang," kata Susi, isteri karyawan perusahaan pelayaran. Tiap bulan salon Cempaka biasanya gampang mengutip Rp 400.000. "Itu penghasilan kotor," kata Susi. Tapi ahli rias muka dan rambut ini yang kelihatan lebih muda dari usianya, 43, belum pernah rugi sejak membuka usaha ini dua tahun lalu. Rugi memang tidak, tapi penghasilannya belakangan ini menurun. Para pengunjung menurut Ny. Hasan, dirasakan sangat berkurang sejak munculnya istilah Pungli. "Nopember benar-benar bulan yang sepi 2 atau 3 orang saja datang sehari. Tapi sekarang agak mendingan, mungkin mereka mau Natal dan Tahun Baru." Bappenas Benarkah ada pengaruh Opstib pada bisnis salon kecantikan? Cempaka adalah suatu gambaran kecil saja. Dari situ reporter TEMPO Linda Djalil berkunjung pula ke Martha Salon yang jauh lebih besar usahanya. Martha Tilaar, pemiliknya, membuka salon di tiga tempat: Jl. Tosari, Jl. HOS Cokroaminoto dan Jl. Cikini Raya. Martha Salon sungguh berusaha di wilayah elite. Kaum wanita tingkat atas memang merupakan langganan tetapnya. Beberapa nama beken yang disebut Ny Tilaar: Ny. Emil Salim, Ny. Hatta, Ny. Sumarlin, Ny. Dharmono. "Di sini kemunduran tidak terlalu terasa," kata Martha. 40, yang pernah menjadi dosen di IKIP Jakarta sebelum beralih ke bisnis kecantikan. Suaminya adalah orang Bappenas. Memang tidak terasa, tapi mundur sih ada juga di Martha Salon sejak Opstib. Di banding sampai 3 bulan lalu, misalnya, bisnis Miartha keseluruhan sekarang turun 30%. Salon Cikininya tetap ramai dengan rata-rata 60 pengunjung tiap hari. Tapi jumlah pengunjungnya yang ke Tosari dan Cokroaminoto sangat berkurang. Seringkali para karyawannya yang bertugas di Tosari dan Cokroaminoto, supaya tidak menganggur, ditariknya ke Cikini. Anak-anak muda, peragawati, penyanyi (antara lain Titiek Puspa), pengusaha, dan banyak lainnya tukang pesta, lari ke Cikini. "Inilah yang menguntungkan," kata Martha. Tarif paling rendah di Martha Salon: Rp 1500. Untuk gunting, cuci sekaligus mengeringkan: Rp 3750. Bayangkan, berapa penghasilannya di Cikini saja. Ketika ditanya, Marha senyum-senyum saja dan merahasiakan omzetnya antara lain kuatir "Kalau didengar orang kantor pajak." Sebelum ada Opstib, menurut cerita karyawannya di Tosari dan Cokroar noto, nyonya-nyonya penggede tanpa sayang memberi persen Rp 50 sampai Rp 1000. Para karyawan itu memakai seragam berkantong besar di kiri-kanan, menampung tip. Kantong itu sekarang terasa kosong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus