MAUT telah semakin mendekati Kamjai Khong Thavorn, 34 tahun. Hukuman mati atas dirinya, yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Samarinda, 30 Januari 1988 lalu, menjadi kian pasti setelah permohonan grasinya resmi ditolak Presiden, akhir Februari lalu. "Kami sedang memproses soal eksekusinya," ujar Amir Syarifuddin, S.H., Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda. Berita buruk tentang Kamjai ini telah menyebar di LP Stalkuda, Balikpapan, 120 km dari Samarinda. Namun, Kamjai belum diberi tahu. "Bukan wewenang kami untuk memberitahukannya," kata seorang petugas di LP Stalkuda. Sejauh itu pula, dua pengacaranya, Rossytawati Bedjo dan Salam Suryadi, yang keduanya bermukim di Jakarta, belum muncul di Balikpapan untuk memberitahukan nasib grasinya. Kamjai dijatuhi hukuman mati gara-gara narkotik. Ia diper- salahkan membawa 22 buah kantung plastik berisi bubuk heroin, berat 17,76 kg, dan nilainya sekitar Rp 11 milyar, untuk nilai kurs tiga tahun lalu. Dan Kamjai tak bisa mengelak karena dia tertangkap tangan oleh petugas Bea Cukai Samarinda, 21 Agustus 1987 lalu. Ketika itu Kamjai tercatat sebagai awak kapal berbendera Muangthai, MV Sang Thai Lumber. Patroli Bea Cukai ketika itu curiga melihat kapal itu melego jangkar dua kilometer dari dermaga. Pemeriksaan akhirnya sampai ke bilik Kamjai. Dinding kayu itu pun dibongkar, dan Kamjai tak berkutik melihat petugas memergoki barang simpanannya. Kamjai pun masuk bui. Di persidangan ia mencoba berkelit dengan mengatakan bahwa barang itu adalah titipan Mr. Ti -- koleganya sekampung -- untuk mitra bisnisnya orang Jepang. Di depan hakim dia mengakui bahwa serah terima itu akan dilakukan di Samarinda. Kamjai juga mencoba mengelakkan tuduhan, dengan mengatakan bahwa dia tak tahu yang dibawanya narkotik. "Setahu saya, barang itu obat kuda," katanya. Tentu saja, hakim tak percaya. Dan yang lebih memberatkan, Kamjai mencoba menyuap petugas ketika ditangkap. Pengadilan akhirnya memvonis mati. Keruan saja, ia pucat pasi dan menangis mendengar putusan hakim. "Saya mau dihukum apa saja asal jangan divonis mati," ujarnya sambil terisak. Hakim bergeming. Maka, lewat pengacaranya, ia menyatakan banding. Tapi ditolak. Begitu juga akhirnya permohonan grasinya. Mula-mula dia ditahan di Samarinda. Dengan alasan keamanan, kemudian dia dipindah ke Balikpapan. Sepanjang menjalani masa tahanan dia tak banyak tingkah. Keluarganya tak sekali pun berkunjung, tapi hubungan lewat surat lancar. Di sudut kamar tahanannya ada foto kecil, gambar istri dan dua orang anaknya. Kamjai bukan warga asing pertama yang divonis mati oleh pengadilan RI. Sebelumnya dua warga Taiwan, Lee Wah Cheng dan Chang Sow Ven, divonis mati oleh PN Langsa, Aceh, gara-gara terbukti membawa heroin 9,5 kg. Namun, belakangan hukuman itu berubah menjadi kurungan seumur hidup, lewat pengadilan banding. Ada pula warga Malaysia, Steven alias Tan Tin Chong, 35 tahun, yang divonis mati oleh PN Jakarta Barat. Steven tertangkap basah membawa 420 gram bubuk heroin, Juni 1985. Hukuman mati Steven kemudian dikukuhkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Permohonan grasinya pun ditolak. Namun, eksekusinya ditunda karena dilakukan PK (peninjauan kembali) untuk perkara tersebut sehubungan dengan adanya bukti-bukti baru. Malaysia pun melakukan tindakan yang keras terhadap pelaku kejahatan narkotik -- terhadap Basri Masse, misalnya. Pemuda asal Pare-pare itu dipersalahkan karena membawa 936 gram ganja kering. Banyak protes untuk vonis keras terhadap Basri dari masyarakat Sul-Sel. Namun, Basri tetap harus mati di tiang gantungan penjara Kepayan, Kinabalu, setahun lalu. Putut Trihusodo dan Rizal Effendi (Balikpapan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini