Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Mereka yang masuk

Kini ada 15 ribu sampai 17 ribu orang yang dilarang pergi ke luar negeri. instansi yang dapat melarang adalah jaksa agung, ketua ma, ka bakin, dan menteri kehakiman. alasan dilarang demi keamanan.

6 April 1991 | 00.00 WIB

Mereka yang masuk
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DIA memang pernah menjadi tokoh golput. Dan berhasil memperoleh doktornya dari Harvard University di Amerika. Tapi Arief Budiman mengaku terkejut juga ketika bulan lalu ternyata tak diizinkan pergi ke luar negeri. Nasib dosen Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, itu memang sempat mengundang pertanyaan, dan diberitakan di sejumlah media. "Saya masih mencoba mencari penjelasan, apa alasan pelarangan saya ke luar negeri. Tapi sampai sekarang masih misterius," kata Arief Budiman kepada wartawan TEMPO Kastoyo Ramelan. Pertengahan Februari 1991 silam, Arief diundang menghadiri seminar yang bertema "Dampak Perubahan Ekonomi Global bagi Negara Dunia Ketiga, Khususnya Asia Tenggara" di Kuala Lumpur, yang diselenggarakan Universitas Malaya. Ketika ia mengurus exit permit-nya di Semarang, permohonannya ditolak kantor Imigrasi setempat. Apa alasannya? "Kami tak dapat menjelaskannya, karena kami cuma bawahan yang menjalankan tugas berdasarkan petunjuk atasan," dalih H. Sadjarwo, Kepala Kantor Imigrasi di Semarang. Alasan politis? Tampaknya begitu. "Arief Budiman tak mungkin dilarang pergi ke luar negeri karena melakukan tindak kriminal. Dugaan saya, larangan itu berkaitan dengan masalah sosial politik," kata M. Arifin, Kepala Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Jawa Tengah di Semarang. Memang tak ada keterangan resmi yang menyebutkan alasan pelarangan itu. Juga tak ada keterangan resmi, instansi mana yang melarang Arief pergi ke luar negeri. Tapi, seperti kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh, hanya Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Ka Bakin), dan Menteri Kehakiman, yang bisa menginstruksikan Direktorat Jenderal Imigrasi melarang seseorang pergi dari atau masuk ke dalam wilayah RI. Ini yang disebut daftar "cekal" alias cegah dan tangkal. Pejabat tinggi negara lain juga diperkenankan meminta Ditjen Imigrasi agar seseorang dimasukkan dalam daftar "cekal". Tapi permintaan tadi harus melalui Jaksa Agung. Jadi, kata Menteri Ismail, Ditjen Imigrasi hanyalah sebagai pelaksana. Lalu instansi mana yang melarang kepergian Arief? "Yang jelas, bukan dari Menteri Kehakiman," ucap Menteri Ismail. Sementara itu, Direktur Jenderal Imigrasi Roni Sikap Sinuraya juga tak tahu menahu soal larangan buat Arief itu. "Saya belum tahu karena beberapa hari ini tidak masuk kantor," katanya ketika dihubungi TEMPO lewat telepon di rumahnya. Maklum, Dirjen Roni memang belakangan ini sibuk mengikuti kursus yang diadakan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) sampai Juni 1991 mendatang. Namun, menurut Roni, larangan kepergian ke luar negeri yang sudah diberlakukan selama ini memang karena dalih sekuriti. "Kalau mereka di luar negeri nyerocos hal-hal yang merugikan negara dan bangsa, itu kan ada kaitannya dengan soal keamanan," katanya. Tapi ia tak tahu persis duduk perkara soal larangan buat Arief itu. Secara samar-samar, Kepala Hubungan Masyarakat Ditjen Imigrasi Haryo Subayu tampaknya malah lebih mengetahui soal nasib Arief itu. "Benar Arief memang masuk dalam daftar cegah tangkal. Tapi mengapa dan siapa yang memintanya, itu yang rahasia," katanya. Nah, yang bukan rahasia adalah jumlah mereka yang terkena "cekal". Kata Roni, kini jumlah orang yang diharamkan pergi ke luar negeri itu 15 ribu sampai 17 ribu orang. "Bukunya setebal bantal. Jadi, kalau petugas Imigrasi membalik lembaran buku cekal itu pakai ludah, sudah kering ludahnya belum habis buku itu terbaca," katanya. Syukur, pihak Imigrasi kini sudah memasukkan nama-nama yang termasuk dalam daftar "cekal" tadi ke dalam komputer. Sejumlah kantor Imigrasi di Jakarta, Polonia, Batam, dan Bali sudah menggunakan komputer yang on line dengan Kantor Ditjen Imigrasi yang di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Ketika diminta secara rinci tentang siapa mereka dan apa dosanya -- entah pidana, perdata, ataupun politis -- Roni tak mau buka suara. "Itu rahasia negara dan tak boleh diumbar," tuturnya tegas. Tapi daftar itu, seperti juga cuaca belakangan ini, memang bisa berubah-ubah setiap harinya. "Tergantung instansi yang memintanya," ujar Roni. Resminya, keempat pejabat yang memimpin instansi tadi -- MA, Bakin, Depkeh, Kejagung -- harus memberitahukan pembaruan daftar nama orang yang masuk black list secara tertulis setiap periode tertentu. Misalnya untuk kasus pidana dan pertahanan keamanan, diperbarui setiap enam bulan sekali. Masalah politik, ekonomi, dan sosial serta keimigrasian setiap setahun sekali. Anehnya, orang yang terkena larangan itu biasanya memang -- entah sengaja atau tidak -- tak diberi tahu bahwa dirinya masuk dalam daftar "cekal". "Orang itu baru tahu kalau mau pergi ke luar negeri ketika mengurus exit permit," kata Loeqman Hakim, Kepala Seksi Pengawasan dan Penanggulangan di kantor Imigrasi Cengkareng. Karena prosedur yang beginilah Loeqman mengaku sering kerepotan menghadapi orang-orang yang marah karena kepergiannya terhambat secara mendadak. Maka, tak heran kalau ada sejumlah orang yang disengat larangan itu secara mendadak sontak jadi berang. Pengalaman Ali Sadikin pada 1986, misalnya. Ketika itu ia mau menengok istrinya yang sedang berobat di Negeri Belanda. "Waktu itu saya pukul meja di kantor Imigrasi. Siapa yang melarang saya," cerita Bang Ali. Boleh jadi, larangan itu karena dia merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Untung saja, petugas Imigrasi mau berkompromi ketika itu. Syaratnya, bekas Gubernur DKI itu tak boleh melakukan kegiatan politik selama berada di luar negeri. Setelah "ribut-ribut" itu, Bang Ali toh akhirnya diizinkan juga berangkat. Setelah kejadian itu, Bang Ali memang belum ada niat lagi pergi ke luar negeri. "Karena memang tak ada keperluan," katanya. Tapi kalau toh ia suatu saat nanti harus berangkat dan terhadang larangan yang sama, "Saya gebrak meja lagi. Dan mau saya tuntut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara," ancamannya. Nasib yang serupa juga pernah dialami Soedarpo Sastrosatomo pada 1974. Pengusaha kondang itu mengaku dilarang pergi ke luar negeri tanpa alasan yang jelas. "Saya tidak tahu apa alasannya," katanya. Ia memang sempat mempertanyakan latar belakangan pelarangan itu kepada Pangkopkamtib -- ketika itu dijabat -- Sudomo. Jawabannya: Tidak tahu. Tapi kini, entah mengapa, Soedarpo ternyata tak lagi masuk dalam daftar "cekal". Tentu nasib Soedarpo dan Bang Ali itu sebetulnya masih lebih baik ketimbang Slamet Bratanata. Eks menteri pertambangan itu sudah tiga kali mencoba pergi ke mancanegara, dan hasilnya nihil karena ia termasuk dalam daftar "cekal". Pada 1984 dan 1985 ia gagal berangkat ke Belanda untuk urusan bisnis. Dan yang terakhir pada 14 Maret 1991 silam, ia juga tak bisa melihat kelahiran cucunya yang pertama di Boston, Amerika Serikat. "Bayangkan, besan saya bisa berangkat," kata tokoh yang juga menandatangani Petisi 50 itu. Yang dimaksud besan adalah Hartarto, Menteri Perindustrian. Ironisnya, Slamet juga sudah mengantungi paspor RI bernomor B 433742 yang dikeluarkan pada tanggal 25 Oktober 1990 silam. Dan ia memang bisa dikategorikan bebas exit permit karena pensiunan pegawai negeri. Barangkali itu sebabnya pakar hukum T. Mulya Lubis tampaknya cemas melihat hal ini. "Seharusnya salah satu instansi atau pihak Imigrasi memberikan surat keterangan resmi tentang apa dan kenapa seseorang tak boleh ke luar negeri," kata doktor lulusan Law School University of California di Berkeley itu, yang juga berkali-kali pernah dilarang pergi ke luar negeri. Bagi Mulya, pelarangan itu dianggap melanggar Artikel 113 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan PBB, dan juga tak sesuai dengan semangat yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. "Setahu saya, cuma di zaman kolonial ada peraturan exit-permit," kata Mulya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus