BEBERAPA tahun belakangan ini berita tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) terdengar hanya sayup-sayup. Aksi-aksi kerusuhan Gerombolan Pengacau Liar (GPL) itu jarang terdengar. Apalagi keamanan Irian Jaya umumnya aman walau isu tentang "negara" Republik Papua Barat (RPB) belum sepenuhnya padam. Bahkan, itu tampak dalam pekan-pekan ini di Pengadilan Negeri Jayapura yang menyidangkan 11 terdakwa subversi anggota OPM. Dan seorang di antaranya, 18 Maret lalu, divonis penjara seumur hidup. Ia ini Melkianus Salossa, alias Melky. Jaksa Soengkono menuntutnya hukuman mati. Menurut pertimbangan majelis hakim yang diketuai Marian Bangun, tertuduh terbukti melakukan tindak subversi. "Ia bersama teman-temannya ingin mendirikan Republik Papua Barat di wilayah Indonesia," kata Marian kepada Kristian Ansaka dari TEMPO. Dari dakwaan jaksa dan yang terungkap dalam sidang, wilayah Irian Jaya mereka bagi dalam sembilan Komando Daerah Militer (Kodam). Dan Melky sendiri mengaku sebagai Panglima Kodam VIII Sorong, merangkap Panglima Kodam IX Manokwari. Namun, para "panglima" lain yang tak terungkap kini bersembunyi. Sebelumnya, Melky adalah karyawan PT Petromentrend di Sorong. Pada 1979 ia berhenti dari perusahaan itu, lalu bergabung dalam OPM di Merauke. Ia mengaku tertarik pada kelompok sempalan ini sejak 1965, ketika masih menjadi siswa SMEP Negeri Manokwari. Keterikatannya makin dalam ketika mendengar aktivitas RPB pada 1 Juli 1971 diproklamasikan Seth J. Rumkoren. Saat itu arus pengungsi dari Irian Jaya ke Papua Nugini (PNG) masih ramai. Bersama empat kawannya, Melky menyeberang ke wilayah PNG, lalu dilanjutkan ke Australia. Ia minta suaka, tapi pemerintah Australia menolaknya. Melky dipulangkan ke PNG setelah ditahan 14 hari. Di PNG, Melky juga sempat mendekam di bui tiga bulan. Ia dituduh melewati wilayah negara itu tanpa dilindungi surat resmi. Kemudian ia dikirim ke kamp pengungsi di Wabo, masih di wilayah PNG, hingga 1981. Setelah bebas dari Wabo nasib Melky agak mujur. Pemerintah PNG, yang ketika itu memang tak menolak para pengungsi dari RI yang ingin kerja dan tinggal di sana, mengirimnya ke Port Moresby. Kendati pemerintah PNG tak pernah mendukung OPM, selama menetap di ibu kota negara itu, hingga 1984 Melky diterima sebagai pegawai Departemen Keuangan. Namun, semangatnya untuk mendirikan RPB tak juga luntur. Pada 1984 ia berhenti dari pekerjaannya itu. Di Waris-Senggi, di perbatasan Irian Jaya dan PNG, Melky bergabung dengan James Nyaro. yang menyebut dirinya "presiden" RPB. Ketika itulah ia ditabalkan jadi "panglima" Kodam VIII -- merangkap Kodam IX. Sejak saat itu, menurut jaksa, Melky melakukan kerusuhan di Irian Jaya. Misalnya, menyerang berbagai pos ABRI di sekitar perbatasan. Bahkan, pada 11 Maret 1988 ia memimpin pembantaian terhadap sejumlah warga transmigran Arso IV, di Kecamatan Arso, Jayapura. Konon, ia pernah berunding dengan pasukan khusus RI. Hari apesnya jatuh pada 7 Desember 1989, ketika hendak menuju Vanimo, kota di PNG -- sekitar 30 kilometer dari perbatasan. Di sebuah rumah Melky ditangkap polisi PNG. Lalu diadili dan masuk bui empat bulan: Setelah Maret 1990 dibebaskan, Melky diekstradisi ke Jayapura. Ia belum menyatakan naik banding terhadap vonis penjara seumur bidup atas dirinya. "Tapi, saya siap menerima hukuman itu," katanya kepada TEMPO. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini