Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAUT masih menjadi jalur favorit bagi para bandar untuk memasukkan narkotik ke Indonesia. Awal Februari lalu, tim gabungan Badan Narkotika Nasional dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut memberhentikan MV Sunrise Glory di perairan Batam, Kepulauan Riau. Kapal berbendera Singapura itu mengangkut satu ton sabu yang dibungkus dalam 41 karung beras.
Dua pekan lalu, di perairan yang sama, tim satuan tugas Kepolisian Republik Indonesia bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menggagalkan penyelundupan 1,6 ton sabu yang dibawa kapal asal Taiwan, MV Lian Yu Yun 61870. Empat orang asal Cina dicokok dalam penyelundupan itu. "Masih ada kapal-kapal asing yang diindikasikan membawa narkotik," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Eko Daniyanto, Selasa pekan lalu.
Masuknya narkotik ke negeri ini melalui jalur laut pernah diulas di majalah Tempo edisi 21 Agustus 1976. Tulisan "Peta Narkotika di Muara Rokan" memuat peredaran narkotik di kota pelabuhan, Bagansiapiapi, Riau.
Tanggal 2 Juni 1976 merupakan hari nahas bagi para pengidap dan pengedar narkotik di Bagansiapiapi dan kawasan sekitarnya. Hari itu, tim di bawah pimpinan Letkol Polisi J.J. van Leun mulai mencokok mereka satu per satu. "Sejak jam 8 pagi, semua jalan utama diblokir," kata salah seorang penduduk. Setelah beberapa kali operasi, sebanyak 45 orang yang diduga penjahat narkotik ditangkap.
Mengapa Bagansiapiapi yang menjadi sasaran utama? Sebab, belum pernah ada penyelundupan narkotik yang besar di daerah itu. Bandingkan dengan Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau. Dua-tiga tahun lalu ada penyelundupan narkotik dalam jumlah yang mengejutkan: 56 kilogram candu dan morfin dari Singapura.
Bagi yang mengikuti kehidupan narkotik di Riau, Bagansiapiapi sebagai salah satu pusat perdagangan dan penyebaran narkotik bukan cerita baru. Sejak kota itu menjadi pusat perikanan, nelayan keturunan Cina yang sudah separuh umur membutuhkan kehangatan dan penambah semangat bekerja. Di sinilah candu dan morfin menjadi sahabat yang demikian akrab dan tak terpisahkan. Berdasarkan data sementara, para pengidap narkotik di kawasan ini mencapai 3.000-5.000 orang. Masuk akal kalau di Riau per tahun beredar 3-4 ton candu dan morfin.
Dari mana datangnya berton-ton narkotik itu dan bagaimana cara candu dan morfin tersebut dimasukkan ke kawasan ini? M. Siddik dari Kejaksaan Negeri Bagansiapiapi mengaku kesulitan mengorek keterangan dari para tersangka. "Mereka begitu rapat menutup rahasia," ujar Siddik, yang juga beberapa kali menjadi jaksa penuntut.
Menurut beberapa sumber Tempo, narkotik masuk ke kawasan itu melalui nelayan. Ikan hasil tangkapan dibeli di tengah laut oleh pemborong asal Pulau Ketam dan Pulau Klang, Malaysia. Di sinilah, selain terjadi barter ikan, sejumlah candu dan morfin diselundupkan untuk dibawa ke Bagansiapiapi. Dalam beberapa persidangan pengadilan, misalnya di Asahan, Pulau Ketam dan Klang disebut-sebut sebagai pemasok narkotik ke pantai timur Sumatera itu. Apalagi jaraknya hanya enam jam perjalanan dengan motorboat.
Selain itu, candu dan morfin diangkut nelayan bersama es balok hasil barter dengan ikan di tengah laut. Lalu juga melalui para penyelundup tradisional yang melintasi batas dengan membawa arang, kayu, dan lainnya. Meskipun penyelundup diperiksa petugas di pelabuhan, mereka tidak ketahuan karena barang haram itu sudah diturunkan di sekitar pelabuhan yang tak terjangkau petugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo