RUANG Roro Jonggrang di lantai 7 Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta, yang bisa menampung 800 orang, terasa hangat dan penuh selama 24-25 Januari lalu. Meskipun yang hadir di situ berjumlah sekitar 100 orang. Jalannya diskusi terasa menarik, sering bersemangat, dan kadang berapi-api. Padahal, acaranya seharusnya adem ayem: Sarasehan Kebudayaan IV yang diselenggarakan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa bersama Lembaga Pengkajian Kebudayaan (LPK) Taman Siswa. Diadakan pertama kali pada 28 Oktober 1985 dan diikuti 20 undangan khusus. sarasehan itu berkembang menjadi semacam forum informal antar bermacam kelompok dan perorangan. "Sebuah forum di mana setiap peserta bisa melontarkan ide-ide, atau reaksinya terhadap situasi dan kondisi sekarang, untuk menuju ke masa depan," kata Ki Suratman, Ketua Majelis Luhur Taman Siswa. Lewat forum itu diharapkan bisa ditemukan saling pengertian di antara peserta. Karena itu sarasehan ini tidak mengambll kesimpulan terhadap permasalahan yang dibahas. "Kesimpulan itu ada di hati masing-masing peserta, yang mungkin akan muncul dalam sikap dan tindakan," kata Ketua L.P.K Taman Siswa, A.M.W. Pranarka. Forum ini tampaknya makin dianggap penting. Lihat saja daftar penceramah dan yang hadir. Ada enam pejabat penting yang memberikan pengarahan: Menhankam L.B. Moerdani, Menko Kesra Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Try Sutrisno, Menmud Perdagangan Sudradjad Djiwandono, Menpen Harmoko, dan Menlu Ali Alatas (diwakili oleh Hasjim Djalal). Para peserta beragam. Ada 5 anggota DPP Golkar dan 7 anggota F-KP. PPP diwakili 3 orang. Begitu juga PDI. Ada pengusaha seperti Aburizal Bakrie dan Pontjo Soetowo. Lalu ekonom Anwa Nasution dan Pande Raja Silalahi. Juga tampak sejumlah ilmuwan, wartawan, dan dosen. Eros Djarot dan Christine Hakim, sutradara dan pemeran utama film Tjoe Nya' Dhien, tampak hadir pula. Tema sarasehan kali ini: "Wawasan Kebangsaan Indonesia: Asal Mula, Pertumbuhan, Masa Depan, dan Kekuatan-kekuatannya". Dua pembicara, Dr. Abdurachman Surjomihardjo dan Dr. Pranarka, membahas soal wawasan kebangsaan, sebelum proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya. Setelah sarasehan usai, para peserta mendapat "bonus", berupa temu wicara dengan Menhankam L.B. Moerdani (Lihat boks). Pembicaraan menarik terutama berkembang karena suasana informal yang tercipta. Menko Kesra Soepardjo Rustam, misalnya, bercerita tentang pengalamannya sewaktu menjabat Gubernur Ja-Teng, lebih dari 10 tahun silam. Suatu ketika sang Gubernur meninjau ke daerah Klaten, dan omong-omong dengan beberapa supir colt yang sedang mangkal. Mereka gembira karena jalan-jalan sampai ke pelosok desa pun telah diaspal. Namun, ada yang menangis akibat licinnya jalanan: kusir andong. Penghasilan mereka kena sodok kendaraan bermotor seperti colt tadi. Maka, Soepardjo pun mengajak para peserta sarasehan memikirkan dilema pembangunan yang bersisi dua. Lalu ia menyebut adanya tiga jenis kelompok : yang benar, yang dibenarkan, dan yang kebeneran. Kwik Kian Gie menghangatkan suasana tatkala menyampaikan "titipan pertanyaan istrinya" pada Menpen Harmoko: mendirikan koperasi TV swasta. Ekonom dari PDI itu lalu menunjuk para anggota sarasehan sebagai anggota koperasi, dan mengimbau agar Harmoko berkenan menadiketuanya. Tanya Kwik: andai kata pengurus koperasi mengajukan izin kepada pemerintah untuk mendirikan perusahaan seperti RCTI, apakah akan diluluskan? Jawab Menpen: sesuai dengan peraturan, hal itu dimungkinkan. Adanya RCTI pun karena adanya peraturan yang membenarkan. Menurut peraturan, siaran televisi dikendalikan oleh pemerintah. Jika ada lembaga yang mau mengembangkan siaran, itu pun ditentukan oleh pemerintah. Jadi, kalau Kwik ingin membangun TV swasta, silakan. "Tapi apakah akan diizinkan, itu lain soal," tutur Harmoko. Topik wawasan kebangsaan memang memungkinkan pembicaraan merembet tentang soal apa pun. Diketengahkan, misalnya, siapa yang kini bisa disebut nasionalis dan Pancasilais. Apakah ukuran ke-Pancasila-an seseorang ditentukan oleh sertifikat lulus penataran P-4? Informasi yang menggugah juga dilontarkan. Wakil Ketua DPRD Ja-Teng Karmani, misalnya, mengungkapkan bahwa di desa-desa Ja-Teng, untuk memperoleh izin menyelenggarakan rapat, diperlukan 12 tanda tangan. Kini, di banyak tempat, dialog sudah tidak ada lagi. Akibatnya masyarakat tak mendapat kesempatan untuk mengekspresikan diri. Karmani mensinyalir: mungkinkah urbanisasi ke kota bukan untuk mencari kerja, tapi karena di desa mereka tidak bisa omong lagi? "Soalnya di banyak desa, fasilitas seperti di kota juga sudah ada. Listrik dan televisi sudah masuk. Layar tancap juga ada," ujar Karmani. Seperti biasa, membicarakan soal-soal seperti itu seperti air mengalir, merembet ke mana-mana. Toh sasarannya tetap sama: menuju Indonesia yang lebih baik. Dan dalam forum bebas seperti itu, jika omongan menyerempet ke hal-hal yang "peka", orang pun perlu maklum. Misalnya, tatkala sejumlah pembicara mempersoalkan adanya "kerancuan realitas", perbedaan antara omongan pejabat dengan kenyataan yang ada. Atau tatkala dibicarakan tentang apa sebenarnya sistem sosial budaya yang dikehendaki oleh para pendiri repubiik ini. Lalu pembicaraan pun bergulir tentang apa yang lebih perlu diperbaiki saat ini, sistem atau manusia. Beberapa yang hadir sepakat: sekarang yang perlu dibenahi adalah sistem. Umumnya, para peserta sarasehan meninggalkan Yogya dengan rasa puas. "Sulit mencari forum semacam ini, di mana kita bisa mengeluarkan aasan secara bebas," kata Sekjen DPP Golkar Rachmat Witoelar. Dia beranggapan suasana politik saat ini terasa sepi. Harry Tjan Silalahi dari CSIS setuju, "pertemuan semacam ini harus dilakukan berulang-ulang. Menghadiri sarasehan ini seperti kita membaca 10 atau 15 buku dalam dua hari," ujarnya.Susanto Pudjomartono (Jakarta), I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini