LEBIH dari selusin peserta sarasehan mengacungkan tangan begitu dibuka kesempatan bertanya pada Menhankam L.B. Moerdani. Pertanyaanya bervariasi, dari larangan mempelajari buku tentang Marxisme bagi para dosen tertentu, sampai munculnya berbagai selebaran gelap dan gosip politik. Soal NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) -- yang menggantikan peran dewan-dewan mahasiswa sejak tahun 1978 -- ditanyakan oleh Eros Djarot. Sutradara film Tjoet Nya' Dhien itu rupanya bukan cuma dekat dengan kalangan film. Tapi, menurut dia, juga dengan dunia kampus. Eros lalu melaporkan hasil dialognya dengan mahasiswa, yang belakangan sering mengundangnya berbicara. Menurut Eros, yang kini 38 tahun, banyak mahasiswa yang kurang mengerti mengenai pendekatan keamanan yang dilakukan aparat pemerintah. "Kami merasakan, ada kecenderungan pengertian keamanan ini bukan untuk negara, tapi terhadap rezim," ujarnya. Musikus yang lama tinggal di Jerman Barat itu menanyakan, apa bukan saatnya untuk menumbuhkan kebebasan berbicara -- seperti yang ditemuinya dalam sarasehan ini -- ke tempat yang lebih luas. Ia lalu mengaitkannya dengan NKK. Kurangnya kesempatan bagi mahasiswa untuk berbicara bebas, katanya, membuat mereka sering menebak-nebak, lebih percaya pada isu dan gosip, gembira kalau memperoleh selebaran gelap, atau gemar memfotokopi media asing yang mengkritik keadaan di Indonesia. Eros pun menghimbau. "Apakah tidak sebaiknya mahasiswa diberi kesempatan agar bisa berdialog secara terbuka tanpa takut-takut?" Ia memaparkan pengalamannya sewaktu mengikuti penataran P-4, tatkala ia diminta berbicara blak-blakan. Namun, tatkala Eros benar-benar ngomong blak-blakan, ia dituduh tidak Pancasilais. Hal-hal semacam inilah, menurut Eros, yang membuat anak muda tidak kreatif. NKK, masih menurut Eros, rasanya sudah termasuk masa lalu. Ia menghimbau pemerintah agar lebih percaya diri. Ia yakin, bila mahasiswa diberi kebebasan, mereka akan memberikan sumbangan positif untuk menunjang lajunya pembangunan. "Saya yakin, mereka akan memberikan yang terbaik yang mereka punyai," katanya. Dalam jawabanya, Menhankam mengingatkan pada keterangan Menteri P & K Fuad Hasan secara resmi beberapa bulan silam. "Kalau toh harus ada perubahan, sebaliknya itu datang dari pihak P & K, sebagai pihak yang lebih berwenang, bukan dari Hankam atau ABRI," ujar Benny. Namun, pada penanya lain yang juga mempersoalkan NKK, Menhankam menganjurkan agar mahasiswa jangan gampang putus asa, jangan berhenti berusaha, dan mengajukan imbauan mereka dengan cara yang baik secara beruntun. Sebab, jika hanya sekali terus berhenti, tidak akan berhasil. "Kalau toh dianggap perlu ada perubahan, ajukanlah pendapat yang masuk akal. Berikan pemerintah waktu untuk mendalami masalah ini, dan berikan masukan-masukan yang cukup wajar," katanya. Soal suksesi ditanyakan Ketua DPP PDI Sukowaluyo. Kalau suksesi kepemimpinan nasional terjadi, apakah akan terjadi gejolak? Menurut Benny, kita terlalu beragak-agak, bila dalam suksesi di negeri seperti Indonesia ini orang menganggap tak ada gejolak. Soalnya tinggal bagaimana kita menilai gejolak itu. Dimulai dari yang paling kasar: "Kalau karena gejolak kemudian ada pertempuran, lalu ada yang mati, katakanlah seribu orang, maka kalau kita berpikir rasional, jumlah tersebut tak berarti banyak. Lain halnya kalau yang mati itu jutaan. Kita hendaknya sadar, negara kita ini besar." Dalam suksesi, Indonesia belum bisa semulus Amerika, yang punya tradisi politik ratusan tahun. Karena itu, kata Benny, kita harus bersiap-siap for the worst (keadaan yang terburuk). "Worst itu bukan revolusi, bukan apa-apa, tapi orang sakit hati, orang kena isu, atau orang kena diisukan," katanya. Karena itu, kaita harus menghadapi itu dengan pikiran terbuka dan rasional, dan melihat segalanya dalam konteks yang wajar. Paling buruk kalau sampai ada gontok-gontokan. Namun, Benny menyangsikan ini. Sebab, masyarakat sekarang lebih terpelajar, cinta Indonesia, dan tidak ingin adanya kekacauan. "Jadi, persiapakan mental yang kuat saja," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini