Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Membawa Kontroversi ke MA

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya meresahkan sebagian warga, aturan antimaksiat di Tangerang juga membuat gerah para akti-vis prodemokrasi. Mereka terus mempersoalkan Per-atur-an Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pe-lacuran di Kota Tangerang, Banten. Upaya hukum pun te-lah diambil: meminta Mahkamah Agung melakukan judicial review.

Langkah itu dilakukan oleh Koalisi- Antiperaturan Daerah Diskriminatif-. Jaringan ini beranggotakan sejumlah orga-ni-sasi, antara lain Jurnal Perempuan, Kapal Perempuan, Kalyanamitra, LBH Apik, LBH Jakarta, Mitra Perempuan, dan Wahid Institute. ”Tanda registrasi dari MA sudah kami terima Rabu kemarin,” kata Dedi Ali Ahmad, pengacara yang mewakili mereka, pekan lalu.

Koalisi menilai perda di Tangerang itu bertentangan de-ngan sederet undang-undang, di antaranya UndangUndang No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan -UndangUndang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peratur-an Perundang-undangan.

Ambil contoh Pasal 4 ayat 1 dalam perda tersebut. Di situ dinyatakan: ”Setiap orang yang sikap atau perila-ku-nya mencurigakan, sehingga me-nimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur...” Pasal ini telah memberi wewenang kepada aparat untuk menangkap orang atas dasar dugaan. Padahal, KUHAP mengharuskan ada-nya bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan.

UU Pembentukan Peraturan Per-undang-undangan juga mengharuskan- adanya rumusan yang jelas dalam sebuah peraturan. Ini sulit dipenuhi oleh perda antimaksiat di Tangerang. ”Di situ banyak aturan yang berpeluang me-nimbulkan multitafsir,” kata Dedi yang juga Ketua Perhimpu-an Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta.

Koalisi menilai perda itu bertentangan dengan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Soalnya, aturan tersebut justru membuat perempuan jadi korban.

DPRD Kota Tangerang menampik semua kritik itu. ”Perda itu sudah melewati uji publik,” kata Aulia Kumbara, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Tapi Wali Kota Tangerang, Wahidin Halim, malah menyambut positif upaya Koalisi membawa per-soalan ini ke MA. ”Langkah itu bagus, daripada berdemonstrasi.”

Menurut anggota DPR dari PDI Perjuangan, Theodorus Jacob, sebenarnya bukan hanya perda Tangerang yang layak dipertanyakan. ”Hampir semua peraturan daerah yang mengatur soal kesusilaan bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004,” kata dia. Prinsip keberagaman telah dilanggar. ”Kita tak boleh membuat aturan mengguna-kan prinsip satu golongan tertentu,” ujar Jacob.

Dedi Ali juga berharap pemerintah- menertibkan sejumlah perda antimaksiat dan perda yang bernuansa syariat Islam. Hal ini pernah dilakukan Departemen Dalam Negeri terhadap sekitar 500 perda tentang retribusi dan pungutan. ”Harusnya bisa tegas seperti itu,” kata Dedi.

Pemerintah bukannya tidak memperhatikan. ”Saat ini kami masih- melakukan review dan mengkajinya-,” kata Kepala Pusat Penerangan De-par-temen Dalam Negeri, Tarwanto, -Kamis pekan lalu. Salah satu peraturan yang dika-ji adalah Perda Tangerang No. 8/2005. ”Jika bertentangan de-ngan undang-undang, perda itu bisa saja -dicabut,” ujarnya.

Abdul Manan, Ayu Cipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus