Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Syariat Islam di Jalur Lambat

Gagal masuk dalam amendemen UUD 1945, syariat Islam menyebar melalui peraturan daerah. Konsultan syariat pun bermunculan.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALANGKAH terkejutnya Muhammad Muchsin. Sekretaris Daerah- Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini baru mendengar kabar bahwa di Desa Padang, Gantarang, salah satu desa di wilayahnya-, memberlakukan hukuman cambuk. Per-aturan desa itu digagas- sendi-ri oleh kepala desa, disokong Ba-dan Pemasya-ra-katan De-sa, dan beberapa tokoh- masya-ra-kat. ”Saya sangat me-nyayang-kan masa-lah ini justru saya ketahui da-ri orang lain (bukan dari aparat Desa Pa-dang),” kata Muchsin.

Baru disahkan pada awal tahun ini, atur-an tersebut sudah mema-kan tiga kor-ban. Nasir- dicambuk karena me-mukul bo-cah. Hukuman serupa menimpa Ari-fin, karena ia menganiaya orang lain. Kor-ban lain, Suharman, dicambuk pada Ma-ret lalu gara-gara mengirim surat ke seorang wanita yang membuat suami-nya tersinggung.

Bupati Bulukumba, A. Sukri Sappe-wali, telah memanggil Kepala Desa Pa-dang, Rukman A. Jabbar, untuk men-je-las-kannya, Senin dua pekan lalu. Me-nurut Ke-pala Desa, peratur-an itu dibuat se-ba-gai pen-jabaran dari empat per-atur-an- daerah yang bersumber pada syariat Islam di Bulukumba. Me-mang, Bulukumba mem-punyai peraturan yang bernapaskan Islam sejak tiga tahun lalu. Ke-em-patnya mengatur zakat-, pakaian bagi musli-mah-, pandai membaca- Al-Quran bagi siswa dan ca-lon pengantin, ser-ta larangan penjual-an mi-numan beralkohol. Ta-pi tidak satu pun yang meng-atur hukum-an cam-buk. Ide kreatif hukum-an cambuk di Desa Padang membuat Bu-pati membentuk tim khu-sus untuk meneliti pelaksanaannya.

Aturan-aturan lokal yang mengacu pada syariat Islam memang sedang popu-ler di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Setidaknya sudah enam dari 24 kabupaten d Sulawesi Selatan yang mengadopsinya, yakni Enrekang, Gowa, Takalar, Maros, Sinjai, dan Bulukumba. Pilihan mereka cukup beralasan. Jajak pendapat yang dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Selatan pada awal 2002 menunjukkan 91,11 persen responden setuju pemberlakuan syariat Islam.

Penerimaan masyarakat tak lepas da-ri peran Komite Persiapan Penegakan Sya-riat Islam di Sulawesi Selatan. Komite Sya-riat lahir dalam kongres umat Islam se-Sulawesi Selatan, enam tahun lalu. Kongres memilih Abdul Azis Kahar Muzakkar sebagai ketua komite. Dia adalah putra Kahar Muzakkar, pemim-pin gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan pada 1950-an. Hanya dalam tempo setahun Komite Syariat berhasil membentuk perwakilan di semua kabupaten se-Sulawesi Selat-an. Mereka sudah tiga ka-li- melakukan kong-res. Hasilnya antara lain mendesak lembaga eksekutif dan legislatif memproses pemberlakuan sya-riat Islam di provinsi itu.

Dalam kongres ke-dua pada 2001, Ko-mite Sya-riat melihat kesempatan pene-rapan syariat Is-lam di tingkat kabupa-ten melalui peraturan dae-rah dengan adanya otonomi daerah. Di bawah ko-man-do Abdul Azis, lembaga ini juga meng-usulkan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Syariat Islam di Sulawesi Selatan. ”Syariat Islam itu sudah harga mati,” katanya.

Menurut Abdul Azis, sejumlah peratur-an daerah yang ada sekarang belum bisa disebut syariat Islam, tapi aturan me-ngenai amar makruf nahi mungkar. Jadi baru pada taraf mengatur kebaikan dan melarang keburukan. Sebab, sanksinya masih memakai pidana umum. ”Kalau syariat Islam, hukumannya juga harus- menurut Islam,” kata Azis, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta.

Popularitas Komite Syariat sempat ja-tuh saat merebaknya aksi teror bom. Saat kongres kedua di Asrama Haji Sudiang, Makassar, pada Desember 2001, sebuah bom meledak melukai tiga orang. Setahun kemudian dua bom meledak di dua bangunan milik Jusuf Kalla (seka-rang Wakil Presiden RI) di Makassar, me-newaskan 3 orang dan melukai 14 orang lainnya.

Sejak itulah polisi mulai mengawasi- gerak-gerik anggota Komite Sya-riat. Hasilnya, delapan dari 10 tersangka bom Makassar mempunyai kaitan de-ngan Komite Syariat dan Laskar Jundullah. Las-kar ini merupakan organisasi sa-yap militer Komite Syariat yang dibentuk sebagai reaksi peristiwa pembantaian 200 warga muslim di Pesantren Walisongo, Poso, Sulawesi Tengah, pada 2000. Agus Dwikarna, panglima laskar itu, juga tokoh Komite Syariat.

Agus sendiri pada 13 Maret 2002 ditangkap bersama Jamal Balfas dan Tam-sil Linrung di bandara Manila de-ngan tuduhan membawa bahan peledak-. Tamsil, penasihat Komite Syariat dan anggota DPR dari Partai Keadilan Se-jahtera, dibebaskan sebulan kemudian bersama Jamal. Sedangkan Agus hingga kini masih mendekam di tahanan Filipina.

”Saat itu muncul citra, organisasi ka-mi dekat dengan kekerasan,” kata Sek-jen Komite Syariat Aswar Hasan. Citra negatif itu membuat luntur kepercayaan masyarakat kepada Komite Syariat. Aktivitas mereka mengalami kevakuman selama lebih dari dua tahun.

Pelan-pelan Komite Syariat kemudian berbenah. Laskar Jundullah diubah namanya menjadi Korps Pemuda Islam-. Pakaian anggotanya berganti dari hitamhitam menjadi seragam putih-putih. Mereka juga menata kembali programnya dengan membentuk tim kerja menjelang pemilihan langsung beberapa kepala daerah. Komite itu membentuk pula kelompok kerja penyusun-an rancangan peraturan daerah yang bernapaskan syariat Islam.

Kebangkitan juga ditunjukkan de-ngan memprakarsai Kongres Umat Islam III di Bulukumba, tahun la-lu. Kongres ini diha-diri wakil se-jumlah pemerintah daerah dan 36 organisasi- massa Islam. Bulukumba di-pilih untuk- di-pamer-kan kepada ratus-an peserta kongres sebagai proyek per-contohan penerapan sya-riat Islam. Setelah Syariat Islam dijalankan di Bulukumba, tingkat kriminalitas turun hingga 80 persen. Daerah ini juga berhasil mengumpulkan zakat empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan pajak. Peserta kongres membawa oleh-oleh berupa contoh peraturan yang bernuansa syariat Islam untuk disosialisasikan di daerah mereka.

Menurut sumber Tempo, kelompok pendorong peraturan da-erah yang mengacu syariat Islam merupakan bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah. Ke-lompok ini memilih jalur kons-titusi dan menilai tindak-an teror melalui pengeboman ter-hadap simbol-simbol Barat ha-nya membawa citra buruk dan merusak jaringan. ”Tapi ke-lompok ini lebih cair,” kata-nya. Mereka mendapat sokong-an dan berjuang bersama orga-nisasi Islam lainnya. Namun me-reka tetap bercita-cita menja-dikan Indonesia sebagai negara Islam, sehingga perjuangan melalui peraturan daerah itu hanya langkah awal.

Komite Syariat memang baru ada di Sulawesi Selatan. Tapi sejumlah daerah telah mengesahkan peraturan yang mengacu pada syariat Islam. Di Ja-wa Barat sejumlah kabupaten sudah me-ngesahkan peraturan daerah antimaksiat. Di antaranya Indramayu, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Kota Depok, dan Kota Cianjur. Bupati Indramayu Irianto M.S. Syafiuddin mengaku, lahirnya per-aturan daerah antipelacuran dila-tar-belakangi citra negatif Indram-ayu seba-gai pemasok pelacur ke luar nege-ri-. Peraturan ini ingin membidik gene-rasi muda Indramayu agar lebih memperdalam agama dengan menetapkan sya-rat kelulusan siswa harus mampu membaca kitab suci Al-Quran.

Bukan hanya Komite Syariat yang bergerak. Juru bicara Majelis Mujahidin Indo-nesia, Fauzan al-Anshari, juga mengakui saat ini organisasinya getol memasyarakatkan peraturan antimaksiat ke berbagai daerah. ”Saya kebagian menggarap wilayah Jawa Barat,” kata Fauzan. Cara yang dipakai tidak ha-nya melalui lembaga legislatif atau ekse-kutif, tapi juga pendekatan melalui individu.

Majelis Mujahidin menempuh jalur lam-bat setelah gagal memasukkan Piagam Jakarta yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariatnya saat MPR meng-amendemen UUD 1945. Padahal sa-at itu rancangan perubahan undangundang dasar versi mereka sudah disiap-kan. Dalam kongres Majelis Mujahidin yang berlangsung di Solo, tiga tahun lalu, mereka juga mulai menyusun ji-nayat, semacam kitab undang-undang pi-dana (KUHP). Fauzan al-Anshari me-mimpin tim kecil penyusunan drafnya. Na-mun hingga kini masih belum se-lesai.

Menurut Ustad Wahyuddin, sekreta-ris- dewan penasihat Majelis Mujahidin, lem-baganya selalu siap membantu daerah-daerah yang akan membuat peraturan bernuansa syariat Islam. ”Itu juga kalau diminta,” kata Wahyuddin, yang juga Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Dua daerah yang pernah dia beri masukan adalah Cianjur dan Indra-mayu.

Berbeda dengan di Jawa Ba-rat dan Sulawesi Selatan, ge-rak-an membuat peraturan dae-rah yang mengacu sya-riat Islam kurang populer di Jawa Timur. Mungkin karena peng-aruh Nahdlatul Ulama cukup besar di sana. Menurut Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Ali Maschan Moesa, kiai NU melihat bentuk negara dan dasar negara Indonesia sudah final. Mereka tidak pernah berjuang bagi syariat Islam dalam konteks bernegara. ”NU hanya mendorong berlakunya syariat Islam dalam masyarakat,” katanya.

Di Jawa Timur, kelompok pengusung syariat Islam se-pert-i MMI dan FPI (Front Pem-bela Islam) jumlah anggo-tanya amat kecil. Menurut Ali Maschan, kelompok-kelom-pok ini menganggap Islam universal. ”Jika sudah mampu memasukkan syariat Islam dalam negara, mereka akan membentuk kekhalifah-an Islam. Sebuah pemerinta-han Islam dunia yang tidak me-ngenal wilayah negara atau daerah,” ujarnya.

Agung Rulianto, Purwanto, Irmawati (Bulukumba), Verianto Madjowa (Gorontalo), Febrianti (Padang), Ivansyah (Indramayu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus