Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada apa lagi dengan Amien Rais? Belum lagi usia kursi kepresidenan Megawati berusia setahun, para analis politik sudah menatap cemas pada sosok politikus ini. Walaupun Sidang Tahunan MPR masih dua bulan lagi, pers sudah bisa menci-um sebuah pertemuan yang menggemparkan di rumah Ketua MPR Amien Rais, Rabu dua pekan lalu.
Suhu perpolitikan nasional memang menjadi semakin hangat ketika terjadi serangkaian lobi an-tarkelompok yang berlangsung begitu intensif dalam beberapa pekan terakhir di Jakarta. Acara yang dihadiri oleh partai-partai Islam dan ormas itu bergaung cukup luas, terutama karena pertemuan itu tak mengikutsertakan PDI Perjuangan, yang kini sedang menjadi "partai pemerintah". Maka, muncul balasan dari Partai Banteng Bulat. Mereka pun segera merapatkan barisan dan mengaktifkan Kaukus 11 November yang pernah sukses menjungkirkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Apa isi pertemuan di rumah Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu? Membentuk sebuah kaukus politik? Amien Rais tidak membantah kemungkinan itu. Berikut wawancara Edy Budiyarso dan Wuragil dari TEMPO dengan Amien Rais, 58 tahun, dalam dua kesempatan yang berbeda di Gedung MPR/DPR dan dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta, akhir pekan silam.
Pertemuan yang diselenggarakan di rumah Anda itu membuat suhu politik nasional meningkat. Apa tu-juannya?
Pertemuan itu merupakan proses alami. Dalam tubuh umat Islam selalu ada semangat yang laten bahwa dalam keadaan apa pun ingin menyatu. Saya tidak ikut pertemuan pertama dan kedua, sehingga saya tidak bisa membayangkan tujuan dari pertemuan pertama dan kedua tersebut.
Pertemuan itu disebut-sebut sebagai bagian dari rencana pembentukan koalisi partai Islam?
Memang representasi peserta dari umat dan dari partai cukup luas. Dari partai ada PPP, PBB, dan Partai Keadilan yang berasaskan Islam. Selain itu, ada dua partai terbuka yang berbasis umat Islam, yaitu PKB dan PAN. KAHMI dan ICMI juga hadir, dan secara tidak langsung beberapa eksponen Golkar, seperti Pak Jusuf Kalla dan Marwah Daud. Saya agak terkejut ketika peliputan media massa sangat luas, seolah-olah telah terjadi kaukus atau koalisi kekuatan umat Islam untuk mengantisipasi Pemilu 2004.
Tapi kalau terus bergulir, satu semester masih mantap, tahun kedua tetap mantap, bisa saja menjadi semacam kaukus politik. Itu harus dihindarkan, kesan kaukus yang eksklusif hanya untuk umat Islam, seolah-olah negara ini milik umat Islam. Negara ini milik banyak orang.
Banyak kalangan melihat pertemuan itu sebagai persiapan Pemilu 2004, yang akan langsung memilih presiden dan wakil presiden.
Jujur saja, tidak ada pembicaraan mengenai Pemilu 2004. Apalagi mem-bicarakan kandidat presiden dan wakil presiden. Kami mendiskusikan masalah amandemen UUD 1945 dengan meng-undang pembicara Prof. Mahfud Md. dan Bagir Manan.
Ada kecurigaan kaukus itu akan menjadi "kendaraan politik" Anda?
Saya tidak pernah membuat kendaraan. Terus terang saja, saya termasuk orang yang berpikir bersahaja, percaya kepada Allah, takdir, dan ketentuan dari atas. Saya tidak pernah bermimpi menjadi Ketua MPR.
Apakah pertemuan itu bisa disebut "pemanasan politik" menjelang sidang tahunan Agustus mendatang?
Belum ada indikasi ke sana. Saya mengharapkan implikasi positif dari pertemuan tersebut, terutama kelompok umat Islam yang mainstream moderat bisa bertukar pikiran, saling asah-asih-asuh. Mana mungkin kami dapat mantap berunding ke luar untuk mencapai hasil yang maksimal jika di dalam saja masih kocar-kacir.
Ada yang menyebut pertemuan itu untuk menginventaris kelemahan pemerintahan Megawati, sehingga akan ada penilaian kritis dari partai Islam?
(Sikap) kritis itu sudah built-in dengan kepribadian saya. Apalagi saya sebagai anggota DPR dan MPR, jadi saya tahu betul arti dan fungsi sebagai anggota parlemen. Anggota parlemen itu harus selalu bicara, karena digaji untuk bicara.
Agaknya pertemuan itu membuat kubu PDI Perjuangan "kebakaran jenggot" dan merasa ditinggalkan. Menurut Anda?
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pertemuan tersebut. Itu pertemuan terbuka. Para peserta dapat menafsirkan sendiri-sendiri, karena memang tidak ada kesepakatan. Jadi, pertemuan itu tidak perlu dicurigai. Saya malah khawatir orang yang curiga itu membuat interpretasi yang berlebihan.
Ada juga yang menyebut agenda di balik pertemuan itu adalah upaya mendongkel Megawati?
Kalau itu saya jamin tidak ada. Saya sudah pasang badan, ini komitmen semua politisi di Senayan. Megawati harus diselamatkan dari demonstrasi, provokasi, sampai 2004. Sebab, kalau ia dihentikan di tengah jalan, demokrasi yang sedang kita timang-timang itu dapat lepas kendali dan berubah menjadi anarki. Akibatnya, kita akan menjadi lelucon internasional, dalam lima tahun muncul lima presiden. Itu aneh bin ajaib.
Apa yang seharusnya dilakukan Megawati menghadapi kekecewaan sebagian politisi di partai Islam?
Misalnya kritik-kritik tajam yang dilontarkan harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh, walaupun sudah ada garansi politik sampai 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo