PEMILIK kendaraan pribadi di Jakarta, mulai Senin pekan ini, menghadapi perkara baru di jalan raya: mereka tak boleh lagi melintas di jalan tertentu pada pagi hari bila cuma bersama supir, apalagi setir sendiri. Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta itu adalah untuk mengatasi kemacetan kronis pada dua jalur utama: Jalan Gatot Subroto (mulai dari perempatan Jalan Rasuna Said-Gatot Subroto sampai depan gedung Balai Sidang) dan Jalan Sudirman (mulai bundaran Senayan) Thamrin Merdeka Barat. Peraturan baru yang ditandatangani Gubernur Wiyogo Atmodarminto itu berlaku setiap hari kerja antara pukul 06.30 dan 10.00, dan kini populer dengan sebutan three in one (minimal tiga penumpang dalam satu mobil), yang merupakan gebrakan kedua yang dilakukannya dalam waktu tak sampai sepekan. Empat hari sebelumnya, Pemda DKI Jakarta telah "menyita" dua dari enam lajur yang ada di jalur cepat Jalan Sudirman Thamrin bagi bus kota. Dampak dua peraturan baru Pemda Jakarta itu memang telah membuat suasana jalan di Jakarta berubah. Lalu lintas di dua jalur protokol itu terlihat lebih lengang. Mobil bisa meluncur 70 km per jam. Lalu lalang kendaraan pribadi, menurut taksiran seorang petugas, menyusut 20-30%. Sudaryanto, pemakai bus umum yang berkantor di Jalan Merdeka Barat, merasa senang dengan peraturan lalu lintas baru ini, karena perjalanannya ke tempat kerja hemat 30 menit. Tapi, Sita, asisten manajer Diners Club, cemberut karena terjebak di Bendungan Hilir. Biasanya Sita cuma butuh waktu satu jam untuk mencapai kantornya yang terletak di Jalan Sudirman, tapi Senin pagi kemarin butuh waktu tiga kali lipat dari waktu tempuh sebelumnya. Penumpukan arus kendaraan pribadi juga membludak di jalur-jalur alternatif, seperti Jalan Hanglekir, AsiaAfrika, Palmerah Utara, Wolter Monginsidi, Jalan Pierre Tendean. Maka, Sita ingin agar peraturan baru 3-1 dicabut saja. "Sebab, peraturan ini seperti membersihkan ruang tamu, tapi mengotori dapur," katanya. Pengumpulan pendapat harian Kompas yang menjaring 627 responden yang berkantor di sepanjang dua jalur "terlarang" itu juga menunjukkan kecenderungan serupa Sita. Dari 446 pemakai mobil pribadi, 85% menolak aturan 3-1 itu. Sebanyak 60% dari 175 responden pemakai kendaraan umum mendukung tindakan Gubernur Wiyogo. Keputusan pembatasan pemakaian mobil-mobil berpelat hitam yang dilakukan Pemda Jakarta bukan tak berdasar. "Mereka paling banyak mengambil ruang jalan," ujar Gubernur Wiyogo. Sebuah survei yang dilakukan BPPT menunjukkan pada jamjam sibuk (pagi dan sore) jalur Sudirman-Thamrin dilalui sekitar 9.000 mobil per jam. Siangnya, jalur itu dilintasi sekitar 6.900 mobil. Padahal, jalur itu hanya mampu menampung 5.000 mobil. Sebanyak 42% dari jumlah mobil yang berseliweran itu cuma ditumpangi satu atau dua orang, 10% mengangkut tiga orang, dan hanya 8% mobil yang membawa empat penumpang atau lebih. Kini mobil pribadi memang merajai jalan-jalan di Ibu Kota. Dari sekitar 845.000 mobil Jakarta, sekitar 611.000 merupakan kendaraan pribadi. Angkutan umum cuma 43.000 unit. Sedangkan total kendaraan di Jakarta, termasuk sepeda motor, pada akhir 1991 tercatat 1,65 juta unit. Tiap tahun angka itu meningkat 13-14%. Kondisi seperti itulah yang mendorong Gubernur Wiyogo menangani kemacetan lalu lintas Jakarta dengan pembatasan ruang bagi mobil pribadi. Namun, Pemda Jakarta tak menyediakan sarana angkutan alternatif yang nyaman dan aman. Kendaraan umum yang ada saat ini, seperti dituturkan seorang karyawati bank pemerintah di Jalan Sudirman, isinya berjubel dan kadang jorok. "Pokoknya kurang manusiawi," ujarnya. Gubernur Wiyogo tak mengingkari kenyataan itu. Tapi Pemda Jakarta tidak kuasa menyediakannya. Pernah pula terpikir untuk membenahi mutu pelayanan busbus PPD milik Pemda Jakarta. "Tapi dananya tak tersedia. Mau diapakan lagi?" kata Wiyogo. Namun, Pemda Jakarta tidak ingin menundanunda pelaksanaan regulasi lalu lintas itu. Hubungan ketersediaan angkutan umum yang aman dan nyaman dan kesadaran masyarakat memanfaatkan kendaraan umum, menurut Gubernur Wiyogo, seperti telur dan ayam -- tiap orang berhak menentukan mana yang menjadi prioritas bagi mereka. Peraturan three in one itu, ujar Wiyogo lagi, berlaku untuk semua warga Jakarta. Yang berhak menikmati dispensasi hanya presiden, wakil presiden, dan diplomat asing yang berada dalam mobil berpelat CD dan berbendera. "Saya mohon pengertian kepada para pejabat tinggi agar membantu Pemda dengan mengikuti peraturan ini," kata Gubernur Wiyogo. Bukan kali ini saja Gubernur Wiyogo membuat peraturan mengenai jalurjalur padat. Tahun lalu, Wiyogo "merampas" satu lajur di kedua jalur lambat Jalan Sudirman-Thamrin, untuk bus dan metromini. Tapi tindakan itu tak memberi hasil: mobil pribadi terus merajalela, dan kemacetan tak tertanggulangi. Sejak beberapa pekan lalu, jalur khusus bus itu disediakan pula di Jalan Pramuka dan Jalan Jatinegara. Tapi upaya itu tak berhasil membendung kemacetan. Maka, Wiyogo tak begitu menggebu-gebu memastikan kebijaksanaan three in one bakal berhasil. Ia tak menutup mata terhadap kemungkinan kebijaksanaan itu mengganggu produktivitas karyawan-karyawan swasta atau pemerintah. "Pokoknya, ini masih uji coba. Soal dampaknya nanti kita evaluasi lagi," ujarnya. Lalu, apa yang akan Anda lakukan untuk menghindari kemacetan dan peraturan three in one? Jika punya radio, silakan putar Radio Sonora dan Radio Produa. Kedua stasiun radio ini punya informasi sangat berguna, lebih-lebih sejak kebijaksanaan 3-1 diberlakukan. Putut Trihusodo, Linda Djalil, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini