Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa 'Raja Udang' itu Ditahan?

Eks pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim, akhirnya resmi ditahan Kejaksaan Agung. Ada dugaan, Presiden Abdurrahman Wahid tak membekinginya lagi.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH Sakit Medistra, Jakarta, mendapat pasien istimewa pekan lalu. Ia adalah tersangka kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim. Eks pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia ini dirawat di kamar nomor 427, yang terletak di lantai empat, karena mengalami penyempitan pembuluh darah. Ia menempati kamar kelas super-VIP, yang ongkos seharinya (daily charges) mencapai Rp 1,5 juta, plus biaya nursery Rp 550 ribu per hari. Sebagai pasien istimewa, kamarnya dijaga oleh dua orang staf Kejaksaan Agung. Tak sembarang orang boleh menjenguk bos Grup Gadjah Tunggal itu.

Sjamsul untuk sementara dirawat di Medistra setelah Direktur Penyidikan, Soedibyo Saleh, mengeluarkan surat pembantaran (stuiting) atau penangguhan penahanan, berdasarkan laporan medis Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, yang menyatakan tersangka sakit. Namun, menurut Soedibyo, keberadaan Sjamsul di rumah sakit itu tidak dihitung sebagai masa tahanan alias tidak mengurangi jumlah masa tahanan.

Sjamsul adalah pemilik bank yang oleh Kejaksaan Agung dinyatakan telah menyelewengkan dana BLBI. Menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman, Sjamsul dijerat dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Apa kesalahan Sjamsul sebenarnya?

Kepada TEMPO, bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier pernah bercerita begini. Pada periode Mei-Oktober 1997, BDNI menyalurkan kredit ke grup sendiri sampai US$ 600 juta. Jumlah itu jelas melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BDNI juga diketahui menggunakan BLBI untuk bermain valas senilai Rp 1,7 triliun pada Januari 1998. Celakanya, ketika BDNI di-rush pada akhir 1997, BI-lah yang harus membayarnya. Akibatnya, menurut catatan Kejaksaan Agung, negara rugi Rp 10,09 triliun.

Namun, kendati pelanggaran yang dilakukan tergolong berat, selama ini Sjamsul seperti tokoh yang tak tersentuh. Ada yang menduga itu karena ia dekat dengan Presiden Abdurrahman. Dugaan ini menguat setelah Presiden secara terbuka pernah meminta agar penuntutan hukum terhadap Sjamsul dan dua konglomerat lain—Prajogo Pangestu dan Marimutu Sinivasan—ditunda. Alasan Presiden, tiga taipan tersebut aset bangsa. Lewat pernyataan tersebut, ada kesan seolah-olah Presiden benar-benar membekingi bos tambak udang PT Dipasena itu.

Tak mengherankan, penahanan "raja udang" itu memicu dugaan baru: Presiden Abdurrahman sudah tak membekinginya lagi. Latar belakangnya, posisi Presiden sendiri tengah terdesak secara politis. Ia terancam mendapat Memorandum II dari DPR. Nah, dalam rangka mengambil hati anggota dewan itulah, Presiden melakukan langkah politis dengan bersikap tegas kepada para konglomerat yang diduga korup. Benarkah?

Salah satu kawan dekat Presiden, K.H. Noer Iskandar Sq., membenarkan kedekatan Presiden dengan sejumlah taipan kaya, termasuk Sjamsul Nursalim. Kedekatan tersebut bahkan bukan hal baru. Jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur, menurut pimpinan Pondok Pesantren Ash Shidiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat itu, sudah memiliki hubungan dekat dengan banyak konglomerat dan pengusaha keturunan Tionghoa. "Saya tidak hafal satu per satu orangnya karena itu sudah sejak dulu," katanya. Kiai Noer sendiri mengakui beberapa kali terlibat dalam pertemuan dengan mereka sewaktu Gus Dur masih menjadi Ketua Umum PBNU. Pada umumnya, para taipan kaya itu mendekati Presiden sekadar untuk "ngalap berkah", bukan didasari motivasi materi.

Akan tetapi, Kiai Noer membantah bahwa Presiden Abdurrahman melindungi Sjamsul, antara lain dengan meminta menunda penanganan kasus korupsi dana BLBI beberapa waktu lalu, lantaran kedekatannya itu. Permintaan ini muncul bukan lantaran Presiden menginginkan kasus itu dipetieskan, melainkan karena realitas bahwa usaha Sjamsul berupa tambak udang merupakan proyek padat karya.

Menurut Kiai Noer, Presiden hanya ingin memberi semacam tambahan waktu kepada Sjamsul untuk membayar utang. "Itu asas yang diajarkan agama agar kalau kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berisiko, pilihlah yang risikonya paling kecil," kata Kiai Noer menambahkan. Jadi, bukan berarti Presiden sedang membela Sjamsul. Untuk urusan hukum, Presiden mendukung sepenuhnya upaya Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung Marzuki juga menampik dugaan adanya peran Abdurrahman di balik penangkapan Sjamsul. Menurut Marzuki, pihaknya tidak terpengaruh oleh pernyataan Presiden itu. Kejaksaan Agung tetap melakukan proses hukum secara normal. Justru, menurut dia, penahanan Sjamsul Nursalim mematahkan anggapan orang bahwa ia melindungi pemilik BDNI itu. "Kami tidak bekerja berdasarkan order politik," kata Marzuki tegas.

Ia pun menolak bahwa penetapan status tersangka dikaitkan dengan perintah dari Presiden. Bahwa Sjamsul baru sekarang bisa ditahan, itu karena bukti-buktinya memang sudah cukup, bukan lantaran sudah ada "restu" dari Presiden.

Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, segendang sepenarian. Di mata Maqdir, kliennya bukan siapa-siapa bagi Presiden. "Tidak ada apa-apa di balik (penangkapan) ini. Pak Nursalim sendiri merasa tidak dikorbankan oleh siapa pun," kata Maqdir. Penangkapan Sjamsul lebih dianggapnya sebagai hak negara. Selain itu, kata Maqdir, kasus yang dihadapi kliennya bukan persoalan politik, melainkan semata urusan hukum, yakni soal aliran BLBI ke BDNI yang menurut pemerintah sekarang belum dikembalikan tuntas oleh Sjamsul.

Seandainya demikian, mengapa hanya Sjamsul yang ditahan? Kapan giliran Prajogo dan Marimutu? Jaksa Agung Marzuki beralasan bahwa tiap orang punya kasus berbeda, dengan status kasus yang berlainan pula. Prajogo dan Marimutu hingga saat ini memang tidak termasuk dalam "daftar tunggu" yang akan ditahan dalam kasus BLBI. Kalau memang ditemukan bukti-buktinya, Prajogo atau Marimutu bisa dijadikan tersangka. "Tidak ada diskriminasi," kata Marzuki.

Wicaksono, Andari Karina Anom, Adi Prasetya, Rommy Fibri


Dosa-Dosa BDNI (dalam Rp juta)

JENIS PENYIMPANGAN NILAI
Digunakan untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss. 9.240.261
Dipakai untuk membiayai penempatan baru di Pasar Uang Antarbank. 4.485.794
Digunakan untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasi kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada. 8.584.973
Dipakai untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen baru, peluncuran produk baru, dan pergantian sistem baru. 3.647
Dipakai untuk membiayai lain-lain di luar lima butir di atas. 1.909.164
Total 24.223.839

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus