Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengapa undur-undur mundur

Ke-3 pemenang lomba karya ilmu pengetahuan remaja 1982, ravenska radjawane, sri utami dan hendar setia darma. mereka para remaja yang akrab dengan lingkungan & peka menangkap masalah. (pdk)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL melaju dengan mobil di jalan tol Jagorawi seorang pelajar berpikir: "Kenapa, ya, lahan di pinggir jalan tol banyak yang dibiarkan gersang?" Maharani Puspitasari tak hanya berpikir. Ia lantas berdiskusi dengan gurunya. Ia pun mengadakan penelitian. Akhirnya putri itu tercatat sebagai peserta Lomba Karya llmu Pengetahuan Remaja 1982. Dan pekan ini nama siswa kelas II IPA SMA Regina Pacis (Bogor) itu, tercatat sebagai pemenang harapan. Lomba itu diselenggarakan tiap tahun oleh Dep. P & K sejak 1977. Kebanyakan peserta menggarap masalah yang benar-benar berkaitan dengan lingkungannya. Selain Maharani Puspitasari, yang menggarap masalah kondisi tanah sekitar jalan tol, tampil Hendar Setiadarma dari SMAN XI, Bandung. Dia sudah lama menyimpan keheranannya melihat penduduk desanya, di kawasan Cibuntu, Cimahi, yang mempunyai kebiasaan tidur siang. Orang desa semestinya bekerja di siang hari. Akhirnya satu kesimpulan diperolehnya: penduduk itu hampir setiap malam selalu diganggu kepinding hingga tidur mereka tidak pulas. Maka dengan bersemangat ia pun mencoba meneliti peri kehidupan binatang itu. Dan karyanya dinyatakan memenangkan hadiah ketiga. Dan Sri Utami Budiwati, 15 tahun, siswa kelas II SMPN Tridadi, Sleman, Yogyakarta, adalah cewek yang tertarik oleh cara berjalan undur-undur (neuroptera) yang banyak didapati di sekitar rumahnya. "Waktu kecil saya suka main tanah. Saya selalu heran kok ada tanah yang berlubang membentuk kerucut terbalik," tuturnya. Rupanya orang dewasa tak mencoba menjawab pertanyaannya secara memuaskannya. Maka setelah duduk di SMP dan pengetahuan biologinya lumayan cukup, ia pun berniat melakukan pengamatan sendiri. Agaknya pengamatannya cukup teliti (ia mencatat kecepatan dan cara berjalan undur-undur pada berbagai permukaan: kering, basah, berpasir, dan licin). Dewan juri memutuskannya sebagai pemenang kedua. Hal yang amat menarik, ialah Sri menyatakan dengan pasti bahwa undur-undur membuat sarangnya dengan jalan memutar-mutar tubuh belakangnya berlawanan dengan arah jarum jam. Tapi sebabnya belum dicoba dicari oleh Sri. Para juri berpesan agar ia melanjutkan penelitiannya, mencari musabab mengapa undur-undur berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Pemenang pertama lomba tahun ini menggarap masalah yang bukan saja dilihat dan dihadapi sehari-hari di daerahnya, tapi juga dinikmatinya. Theophilia Ravenska Elizabeth Radjawane, kelas II IPA SMAN I, Ambon, meneliti perihal laor, alias cacing laut yang hidup di perairan Maluku. Laor ini amat disukai orang Maluku sebagai lauk. Dorongan penelitian ini pun diperolehnya dari meja makan. "Waktu itu kami sedang makan masakan laor. Lantas ayah bilang ini bagus untuk diselidiki," tuturnya. Tapi Ravenska, anak sulung Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku, tak gampang menemui buku referensi tentang laor. Ia bertanya sana sini (termasuk kirim surat ke Lembaga Biologi Nasional di Bogor). Hanya dijumpainya sebuah buku berbahasa Belanda, dan laor di situ hanya disebut dalam beberapa kalimat. Dalam literatur banyak diceritakan cacing laut yang disebut cacing palolo, yang hidup di Samudra Pasifik. Tapi hal ini justru lebih mendorongnya untuk mengungkapkan mahluk yang sejak lama digemari tapi belum diketahui peri kehidupannya itu. Akhirnya Ravenska, yang pernah bermukim di Jerman dan Australia, dengan tegas menyimpulkan "laor adalah cacing laut khas Maluku." Itu rupanya mempesona 12 anggota juri yang kesemuanya doktor berbagai bidang ilmu. Mereka memutuskan Ravenska sebagai pemenang pertama. Bagi para juri, pengalaman menilai karya para remaja itu sesuatu yang menggembirakan. Ternyata para remaja seperti dibuktikan oleh Sri Utami dan Hendar Setiadarma, bisa melakukan penelitian tanpa biaya. "Omong kosong kalau sekarang ada yang bilang tak bisa melakukan penelitian karena tak ada biaya," kata Andi Hakim Nasution, Ketua Dewan Juri dari tahun ke tahun itu. Kegigihan dan ketekunan anak-anak itu memang menimbulkan rasa simpatik. Bayangkan berapa lama Ravenska harus menunggu sebelum sempat menangkap laor, cacing yang hanya muncul ke permukaan laut setahun sekali, itu pun hanya selama dua hari. Dan betapa telaten Sri Utami mengukur kecepatan berjalan undur-undur, menghitung perbandingan antara panjang tubuh dan tinggi sarangnya. Juga Hendar yang tak jemu-jemunya memisahkan mana kepinding jantan, mana betinanya. Ia terus mengamati berbagai kepinding hingga ada yang melakukan tugas reproduksi. Dari cara kepinding bereproduksi itu -- satu bercokol pada punggung yang lain -- dibuktikannya kemudian yang bercokol di atas adalah jantan. Lomba tahun ini memberikan pula hadiah khusus inovasi, dimenangkan oleh Rita Syafrudin, siswa kelas III SMA Regina Pacis, Bogor. Karyanya: Pemanfaatan Kulit Durian. Gagasan Rita kemudian benar-benar diwujudkannya, ialah membuat selai dari kulit durian. Rasanya, lewat tes lima panelis, bisa diterima oleh lidah kita. Ia berharap -- karena proses pembuatannya sederhana, dan bahannya bisa diperoleh di mana saja lagi murah -- selai baru ini bisa diproduksi di pedesaan. Lomba ini menimbulkan pertanyaan: Seandainya para remaja peneliti ini tidak diterima di salah satu universitas. Soalnya, teliti-meneliti ini tidak termasuk tes Proyek Perintis. Tapi Andi Hakim Nasution, Rektor IPB yang juga Ketua Proyek Perintis II atau proyek pemanduan bakat calon mahasiswa sudah berjanji bahwa dia akan mengamati para peneliti remaja itu. Kemungkinan besar mereka akan masuk PP II, dan karenanya tak perlu ikut tes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus