SAMBIL melaju dengan mobil di jalan tol Jagorawi seorang pelajar
berpikir: "Kenapa, ya, lahan di pinggir jalan tol banyak yang
dibiarkan gersang?"
Maharani Puspitasari tak hanya berpikir. Ia lantas berdiskusi
dengan gurunya. Ia pun mengadakan penelitian. Akhirnya putri itu
tercatat sebagai peserta Lomba Karya llmu Pengetahuan Remaja
1982. Dan pekan ini nama siswa kelas II IPA SMA Regina Pacis
(Bogor) itu, tercatat sebagai pemenang harapan.
Lomba itu diselenggarakan tiap tahun oleh Dep. P & K sejak 1977.
Kebanyakan peserta menggarap masalah yang benar-benar berkaitan
dengan lingkungannya.
Selain Maharani Puspitasari, yang menggarap masalah kondisi
tanah sekitar jalan tol, tampil Hendar Setiadarma dari SMAN XI,
Bandung. Dia sudah lama menyimpan keheranannya melihat penduduk
desanya, di kawasan Cibuntu, Cimahi, yang mempunyai kebiasaan
tidur siang. Orang desa semestinya bekerja di siang hari.
Akhirnya satu kesimpulan diperolehnya: penduduk itu hampir
setiap malam selalu diganggu kepinding hingga tidur mereka tidak
pulas. Maka dengan bersemangat ia pun mencoba meneliti peri
kehidupan binatang itu. Dan karyanya dinyatakan memenangkan
hadiah ketiga.
Dan Sri Utami Budiwati, 15 tahun, siswa kelas II SMPN Tridadi,
Sleman, Yogyakarta, adalah cewek yang tertarik oleh cara
berjalan undur-undur (neuroptera) yang banyak didapati di
sekitar rumahnya. "Waktu kecil saya suka main tanah. Saya selalu
heran kok ada tanah yang berlubang membentuk kerucut terbalik,"
tuturnya.
Rupanya orang dewasa tak mencoba menjawab pertanyaannya secara
memuaskannya. Maka setelah duduk di SMP dan pengetahuan
biologinya lumayan cukup, ia pun berniat melakukan pengamatan
sendiri.
Agaknya pengamatannya cukup teliti (ia mencatat kecepatan dan
cara berjalan undur-undur pada berbagai permukaan: kering,
basah, berpasir, dan licin). Dewan juri memutuskannya sebagai
pemenang kedua. Hal yang amat menarik, ialah Sri menyatakan
dengan pasti bahwa undur-undur membuat sarangnya dengan jalan
memutar-mutar tubuh belakangnya berlawanan dengan arah jarum
jam. Tapi sebabnya belum dicoba dicari oleh Sri. Para juri
berpesan agar ia melanjutkan penelitiannya, mencari musabab
mengapa undur-undur berputar berlawanan arah dengan jarum jam.
Pemenang pertama lomba tahun ini menggarap masalah yang bukan
saja dilihat dan dihadapi sehari-hari di daerahnya, tapi juga
dinikmatinya. Theophilia Ravenska Elizabeth Radjawane, kelas II
IPA SMAN I, Ambon, meneliti perihal laor, alias cacing laut yang
hidup di perairan Maluku. Laor ini amat disukai orang Maluku
sebagai lauk. Dorongan penelitian ini pun diperolehnya dari meja
makan. "Waktu itu kami sedang makan masakan laor. Lantas ayah
bilang ini bagus untuk diselidiki," tuturnya.
Tapi Ravenska, anak sulung Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku,
tak gampang menemui buku referensi tentang laor. Ia bertanya
sana sini (termasuk kirim surat ke Lembaga Biologi Nasional di
Bogor). Hanya dijumpainya sebuah buku berbahasa Belanda, dan
laor di situ hanya disebut dalam beberapa kalimat.
Dalam literatur banyak diceritakan cacing laut yang disebut
cacing palolo, yang hidup di Samudra Pasifik. Tapi hal ini
justru lebih mendorongnya untuk mengungkapkan mahluk yang sejak
lama digemari tapi belum diketahui peri kehidupannya itu.
Akhirnya Ravenska, yang pernah bermukim di Jerman dan Australia,
dengan tegas menyimpulkan "laor adalah cacing laut khas Maluku."
Itu rupanya mempesona 12 anggota juri yang kesemuanya doktor
berbagai bidang ilmu. Mereka memutuskan Ravenska sebagai
pemenang pertama.
Bagi para juri, pengalaman menilai karya para remaja itu sesuatu
yang menggembirakan. Ternyata para remaja seperti dibuktikan
oleh Sri Utami dan Hendar Setiadarma, bisa melakukan penelitian
tanpa biaya. "Omong kosong kalau sekarang ada yang bilang tak
bisa melakukan penelitian karena tak ada biaya," kata Andi Hakim
Nasution, Ketua Dewan Juri dari tahun ke tahun itu.
Kegigihan dan ketekunan anak-anak itu memang menimbulkan rasa
simpatik. Bayangkan berapa lama Ravenska harus menunggu sebelum
sempat menangkap laor, cacing yang hanya muncul ke permukaan
laut setahun sekali, itu pun hanya selama dua hari. Dan betapa
telaten Sri Utami mengukur kecepatan berjalan undur-undur,
menghitung perbandingan antara panjang tubuh dan tinggi
sarangnya. Juga Hendar yang tak jemu-jemunya memisahkan mana
kepinding jantan, mana betinanya. Ia terus mengamati berbagai
kepinding hingga ada yang melakukan tugas reproduksi. Dari cara
kepinding bereproduksi itu -- satu bercokol pada punggung yang
lain -- dibuktikannya kemudian yang bercokol di atas adalah
jantan.
Lomba tahun ini memberikan pula hadiah khusus inovasi,
dimenangkan oleh Rita Syafrudin, siswa kelas III SMA Regina
Pacis, Bogor. Karyanya: Pemanfaatan Kulit Durian. Gagasan Rita
kemudian benar-benar diwujudkannya, ialah membuat selai dari
kulit durian. Rasanya, lewat tes lima panelis, bisa diterima
oleh lidah kita. Ia berharap -- karena proses pembuatannya
sederhana, dan bahannya bisa diperoleh di mana saja lagi murah
-- selai baru ini bisa diproduksi di pedesaan.
Lomba ini menimbulkan pertanyaan: Seandainya para remaja
peneliti ini tidak diterima di salah satu universitas.
Soalnya, teliti-meneliti ini tidak termasuk tes Proyek Perintis.
Tapi Andi Hakim Nasution, Rektor IPB yang juga Ketua Proyek
Perintis II atau proyek pemanduan bakat calon mahasiswa sudah
berjanji bahwa dia akan mengamati para peneliti remaja itu.
Kemungkinan besar mereka akan masuk PP II, dan karenanya tak
perlu ikut tes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini