MENGENAKAN baju gunting Cina berwarna gading, dengan pantalon
coklat dan bersandal lokak, bulan puasa kemarin Pj. Gubernur
Harun Zain menerima tim wartawan TEMPO (Chairul Harun Ed
Zoelverdi dan Muchlis Sulin) di rumahnya. Rumah itu merupakan
paviliun gubernuran, yang terletak di sayap kanan bangunan utama
dan berseberangan dengan kantor gubernur Sumatera Barat. Di
bawah ini adalah rekaman percakapan dalam pertemuan itu.
Tanya: Setelah menyelesaikan dinas selama dua masa jabatan di
Sumatera Barat, bagaimana kesan Bapak? Apa saja yang dirasa
memuaskan atau - kalau ada - hal-hal Yang mengecewakan?
Jawab: Sering dikatakan orang bahwa mengatur orang Minang itu
sulit, sampai ada tesis ketika saya baru mulai, bahwa dalam
tempo dua tahun saya mesti ambruk. Tapi syukurlah, barangkali
doa kita didengar, berangsur-angsur masyarakat menaruh
pengertian bahwa sekali ini ada benarnya apa yang selalu
dikatakan "mari membangun." Sehingga terus-terang dapat saya
katakan, satu hal yang sangat hldah setelah 11 tahun ini ialah:
sekali kita dipercaya masyarakat di sini, mereka kemudian mau
memberi lebih. Saya rasa masyarakat lain juga demikian.
Sekarang bisa saya ceritakan, waktu ditawari tugas sebagai
gubernur Sumatera Barat ini, saya tak luput dari perasaan
bimbang. Mengapa mesti sava? Tapi seolah-olah ada bisikn,
barangkali di sini saya bisa mengembalikan amal pada orang tua.
Ini tidak dibuat-buat. Karena sampai beliau meninggal di Tokyo
(Sutan Muhammad Zain, maksudnya, Red), saya tidak sempat
membalas budinya. Bila waktu saya berbicara sekarang ini ada
arwah orang tua saya, saya yakin, yakin, dia tentu tertawa.
Karena, bukan uang, bukan pula rumah yang saya berikan. Tapi
jejaknya yang saya ikuti. Bagi saya, inilah yang paling
memuaskan.
T: Sebagai bekas Rektor Universitas Andalas, apa saja bekal dari
dunia perguruan tinggi yang dibawa dalam melaksanakan tugas di
daerah ini?
J: Dengan latar belakang dari dunia pendidikan, tentu ada
pengaruhnya dalam kehidupan saya di bidang pemerintahan. Saya
sadan, ada kekurangan-kekurangan. Misalnya, saya dianggap
terlalu baik. Yaitu dalam arti memberi hukuman. Tapi saya
mempunyai jangkauan jauh.
Begini. Saya melihat proses pembangunan ini sebagai proses
pendidikan. Apa sebab? Karena prosesnya adalah proses perubahan.
Dari yang kurang ke hal yang lebih baik. Identik dengan
pendidikan. Ini pembawaan. Karena itu saya mulai dari
kepemimpinan intelektuil.
Kita menaruh perhatian besar terhadap Unand dan TKTP. Dulu hanya
ada 5 sarjana di lingkungan kantor gubernur, kini sudah ada 75
sarjana. Kita perhatikan pula APDN. Alhamdulillah, dari 80
kecamatan, lebih 80% amat-camat kita sudah BA. Saya tidak
mengatakan karena itu dia pintar, atau lebih matang. Tidak. Yang
ingin saya garis-bawahi ialah: minimal daya tangkap pengalihan
pemikiran dari top management ada pada mereka. Itu saja dulu.
Kemudian saya minta syarat pada wakil negara. Antaranya harus
lulusan SLA. Latar belakang semuanya ini adalah untuk kelancaran
komunikasi berfikir. Ini saya rasa belum sempurna tapi sedang
berjalan.
T: Di hari-hari pertama masa jabatan Bapak sering melansir
istilah "demokrasi alur dan patut. " Apa maksudnya?
J: Itu memang merupakan struktur budaya masyarakat Minang
sehingga perlu diperkenalkan kepada yang berkuasa. Pengertian
saya tentang alur dan patut itu secara singkat adalah: wajar.
Situasi akibat PRRI telah menimbulkan kepincangan. Kepincangan
budaya, kepincangan politik, kepincangan kekuasaan. Dengan
memperkenalkan istilah itu saya harapkan waktu itu segenap
aparat penguasa membuat dari segala sesuatunya menurut proporsi
yang wajar: dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam
pemerintahan.
T: Lalu apa pula lakna tungku 3 sejarangan yang juga
sering Bapak sebutkan ?
J: Inilah bentuk potensi yang ada di masyarakat Minang yang
terdiri dari unsur ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai
(cendekiawan). Dan itu pula yang kita cantumkan dalan lambang
daerah, yang diresmikan 6 tahun yang lalu. Ada rumah adat, ada
masjid. Itu adat yang bersendi syara.' Lalu ada gelombang, yang
mencerminkan baik cendekiawan maupun generasi muda. Ini potensi
yang dalam 5 atau 10 tahun lagi akan mengisi Sumatera Barat.
Kita, yang tua-tua, peranan kita akan menurun.
Lambang daerah Sumatera Barat ini mungkin unik, tapi punya isi
yang operasionil dapat dilaksanakan. Ketiga unsur itu ditunjang
oleh hikmah permusyawaratan yang dirumuskan dengan kata-kata:
Tuah Sakaro.
Jadi tidak kebetulan kita memperjuangkan Nurul Mulah (sebuah
msjid komplit dengan Islamic Center di Padang). Tidak
kebetulan kita memperjuangkan museum. Tidak kebetulan pula
Pusat Kesenian Padang itu, yang mencerminkan di mana generasi
muda akan menemukan dan mencari identitas mereka.
Sekarang dapat diceritakan. Dengan pak Amir (Kepala kanwil P & K
Sumbar) saya bicarakan pak Amin atau akan pergi, saya akan
pergi. Sebentar lagi generasi lain yang harus mengganti.
Cepat-cepat sekarang kita tinggalkan fondasi-fondasi.
T: Bapak pernah merisaukan orang yang pergi merantau.
Dan bagaimana pandangan Bapak tentang adanya perantau dari
Jawa di Sumatera Barat?
J: Tentang perantau Minang yang ada di Jakarta misalnya, memang
sering ditanya oleh wartawan kalau saya di Jakarta. Lalu saya
bilang bahwa tak begitu yakin ada 500 ribu orang Minang di
Jakarta itu. Coba perhatikan. Orang Minang kalau merantau, dia
buka restauran. Atau jadi tukang jahit, atau di kaki-5, atau ada
banyak iuga yang jadi pegawai. Tapi yang jelas posisi mereka
selalu di tempat yang mudah ketemu orang banyak. Sehingga tak
heran bila jumlahnya seolah-olah kanyak, karena memang ada di
mana-mana.
Ali Sadikin waktu gubernur DKI pernah mengeluh pada saya.
Katanya, orang Padang di Jakarta ini bagaimana, sih? Ada
pertandingan Persija dengan PSP, mereka malah berpihak pada PSP.
Itu bukan warga kota yang baik toh? Bang Ali cuma berkelakar dan
saya pun tertawa. Tapi waktu pembicaraan sampai pada kaki-5,
saya bilang: Bang, mari kita tinjau dengan kaca mata ekonomi.
Mereka itu dapat merupakan modal modal nasional. Harap mereka
jangan dimatikan.
Mengenai ucapan saya tentang perantau Minang, saya rasa ada
salah tafsir. Yang saya katakan pada orang Minang di rantau
adalah: berikanlah amal saudara sesuai dengan kemampuan. Ini
tak berarti saya minta senua harus pulang. Tapi, kalau you
punya modal, modal itulah sebagian dipindahkan ke Sumatera
Barat. Kalau toh tak punya modal, tapi punya pengetahuan,
teknologi itu pindahkan. Kalau you mahasiswa, diktat yang kau
selesaikan itu kirim ke DM-DM di Sumatera Barat. Ini untuk
menjaga hubungan dengan kampung halaman. Jadi bukan melulu
tinggal nostalgia Minang itu ....
Mengenai sitiung, baik dijelaskan. Presiden pun berjanji,
perlakuan yang sama diberikan untuk pendatang dan penduduk asli,
dalam arti kalau nanti bibit dibagi kalau irigasi dibuat,
sterik dan sebagainya. Ini tanah ulayat, yang diakui haknya
oleh negara. Jadi meski hutan belukar tadinya, kita masih
berterinla kasih dia jadi bagus karena adanya teknolori dan
modal. Tak ada alasan merisaukan. Sebah dalam jangka lama nanti
toh akan ada proses akulturasi. Pak Harto sendiri dalam
pidatonya walaupun tertawa, beliau menyadari dan berkata: "Biar
orang jawa yang kerja orang Minang jadi pedagangnya."
T: Tentang Bank Pembangunan Daerah dan grup usaha yang
dipayunginya. Di kalangan parleme lapau santer jadi bahan
perbincangan. Bagaimana tanggapan bapak?
J: Sektor yang digarap BPD grup ini adalah di mana yang lain
tidak mampu. Misalnya proyek tani makmur, perumahan, pasar.
Bahwa ada orang berprasangka, saya tak heran. Tapi usaha BPD
grup ini justru mendorong sebagai komplementer di mana
pemerintah daerah belum mampu dan tidak boleh sebagai
pemerintahan. Ada 40 sarjana yang tertampung. Apa ada perusahaan
lain yang mau menampung? Betul, barangkali dia lantas naik
mobil. Punya rumah, pakai sepatu lars atau pakai jas. Tapi
jangan ini soalnya. Ini hanya kembang-kembang saja bagi saya.
Tapi lihat secara strategis ekonomi: Karni menciptakan suatu
generasi wiraswasta muda, yang 100% bumiputera.
BPD itu 'kan terus-menerus diawasi dan kini Bank Dunia pun
memberi kepercayaan besar. Saya tidak mengatakan sukses, sebab
di bidang ekonomi terlalu pagi untuk mengatakan berhasil dalam
tempo 3 atau 4 tahun lagi. Tapi lihat 10 tahull lagi. Itu
sebabnya saya menganggap masih perlu dilindungi.
T: Bagaimana dengan pandangan agar uang itu lebih baik masuk
APBD?
J: Ada benarnya. Tapi, stretegis, di seluruh propinsi di
Indonesia -- kita sudah merdeka politis, yang paling lemah
merdeka ekonomi. Tapi di Sumatera Barat, saya dapat mengatakan:
Ini adalah salah saru propinsi yang kecil yang ada kemerdekaan
ekonominya bagi bumiputera. Ini modal.
T: Soal pribadi sedikit, mengapa Bapak mau menjadi Datuk?
J: Ini kebetulan saja. Saya sendiri juga kaget. Kira-kira
setahun yang lalu paman saya meninggal, yaitu Dt Madjokayo.
Kalangan tua-tua lantas bilang bahwa sekarang giliran tiba pada
saya. Waktu itu sudah jam 6 sore. Bila tak ada kata putus dari
saya, mayat itu katanya tak boleh dikuburkan. Wah. Saya pikir
jangan karena saya ini jenazah terlantar. Dari pendidikan saya,
secara impulsif terbawa kebiasaan: kalau akan menyenangkan
orang, kenapa tidak? Jadi tidak ada Inotivasi feodal, misalnya.
Itu tidak ada.
T:Menurut Bapak, perlukah gubernur baru nanti memperbahami
strategi pembangunan daerah ini?
J: Itu tergantung kepada evaluasi dia sendiri. Dia tentunya juga
dipengaruhi lingkungannya, latar belakang pengalamannya. Soal
stralegi akan dirubah apa tidak, bagi saya, apa tujuannya? Apa
yang ingin dicapai dalam 5 tahun berikut ini? Kalau saya, target
waktu itu adalah soal kepemimpinan dan kesederajatan antar
suku. Pembangunan sebagai akibatnya.
T: Apa yang terkandung di hati bapak pada hari-hari akhir masa
jabatan gubernur ini?
J: Saya mendoa kepada Tuhan, menjelang akhir masa jabatan ini,
janganlah sampai ada coretan (ibarat sebuah lukisan yang sampai
rusak lantaran satu coretan) untuk keseluruhan strategi. Bukan
untuk pribadi.
T: Bapak sedih apa tidak harus pamit dari Rumah Bagonjong
Sumatera Barat ini?
J: Ya. Artinya, masih banyak kekurangan yang belum sempat saya
sempurnakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini