Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggebrak Aceh: pertarungan

Naro dan sudharmono berkampanye bersamaan waktunya di aceh. ppp dua kali menang di aceh. kali ini golkar optimis akan menang. namun golkar masih punya kendala akibat latar belakang sejarah aceh.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA biasa dipanggil dengan sebutan "Broer John", gabungan sebutan Belanda dan nama Inggris, tapi hari itu ia adalah Haji Naro. Dengan pakaian adat Aceh yang tampak kekecilan bagi tubuhnya yang padat, John Naro, Ketua PPP, lengkap dengan topi meuketop, tampil di lapangan bekas tempat penyelenggaraan lomba baca Quran atau MTQ di Desa Arafah, Banda Aceh. Dialah tamu utama siang itu. Di belakangnya terpampang besar kaligrafi surah Al Ikhlas dari Kitab Suci Quran-sisa hiasan panggung untuk MTQ. Juga: sebuah duplikat pesawat terbang Seulawah yang bertengger tak jauh dari panggung-yang mengingatkan sumbangan orang Aceh pada awal kemerdekaan, berupa sebuah pesawat terbang yang mereka beli, bagi Republik Indonesia yang baru berdiri. Seakan-akan serentak, kaligrafi dan duplikat pesawat terbang itu melambangkan kondisi khusus yang dihadapi para politisi dari Jakarta yang hari itu berdatangan di Aceh, untuk memperebutkan suara: inilah wilayah yang sangat kuat berpegang agama Islam dan, pada saat yang sama, sangat bangga akan perannya dalam sejarah perjuangan yang panjang, keras, dan sukar. "Memang hebat Aceh, hebat Aceh, hebat Aceh," kata Naro, tertahan-tahan dan penuh haru, memulai pidatonya. Dia layak berperasaan dan berkata begitu. Lebih dari seratus ribu orang -- massa terbesar yang dihadapi Naro selama kampanye -- memenuhi lapangan seluas sekitar 5 hektar tempat ia berpidato siang itu. Sejak ia tiba di Bandar Udara Blang Bintang, jalan praktis macet oleh massa yang mengelu-elukannya. Ribuan orang berdiri, seraya mengangkat tangannya dengan telunjuk mencuat, isyarat angka "satu", nomor PPP. Mereka tak cuma meneriakkan lambang Bintang, tapi menggemuruhkan pekik yang tak ada di wilayah lain di Indonesia, "Golkar Talu, Golkar Talu." Artinya: "Golkar kalah." Golkar memang kalah dan PPP menang di Aceh pada dua pemilu terakhir. Kenyataan ini -- dan pekik massa itu -- agaknya lebih penting dari seluruh pidato John Naro, yang siang itu diperkenalkan kepada massa sebagai "Haji Jaelani Naro Sarjana Hukum". Tapi justru karena itulah maka pada hari dan jam yang sama Sudharmono sendiri, Kctua Golkar, juga muncul sebagai jurkam sekitar 15 km jauhnya dari tempat Naro berpidato. Teriakan "Allahu Akbar" dan pembacaan ayat Quran juga -- seperti dalam kampanye PPP -- mewarnai rapat akbar Golkar sore itu. Jumlah yang hadir tak kurang dari 25 ribu orang, penuh memadati lapangan kampus Universitas Abul Yatama di Desa Lompoh Keudu di Kota Baru Aceh Besar, 8 km dari Banda Aceh. Inilah rapat Golkar terbesar selama kampanye 1987 ini di Aceh, dengan tempat yang cukup penting: ilayah ini semula dikenal sebagai basis PPP. Agaknya ini petunjuk: meskipun massa yang hadir di situ tak sebanyak yang muncul di hadapan Naro, Golkar berani mencoba. Tapi akankah sekali lagi Golkar "talu"? Di atas kertas jawabnya "Tidak." Menurut H. Ahmad Amins, Ketua DPD Golkar Aceh, bulan lalu saja sudah ada 881.355 pemilih yang dapat digarap para karakterdes. "Dengan 13.025 kader fungsional dan 191.000 anggota Korpri, maka calon pemilih Golkar di Aceh sudah mencapai 1.085.380 orang. Ini berarti bisa kita dapat 64,6% dari jumlah pemilih Aceh yang besarnya 1.645.968 orang," kata H. Ahmad Amins. Tapi karena angka itu masih kurang akurat, tokoh Golkar itu membulatkannya menjadi 50% saja. Buat sementara ini, perhitungan Golkar itu dianggap terlalu optimistis oleh beberapa pengamat politik, baik di Banda Aceh maupun di Jakarta. "Kalau bisa mencapai 45% saja sudah baik," kata salah seorang di antara mereka. Beberapa alasan bisa dikemukakan. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, ahli ilmu politik di Universitas Indonesia, penulis buku tentang pemberontakan di Aceh yang meletus di tahun 1953, menyebut kemungkinan ketidakpuasan di Aceh -- satu hal yang selama ini memang sering mewarnai sejarah hubungan Aceh dengan Pusat. "Masih ada janji-janji Golkar yang belum terpenuhi untuk Aceh," kata Nazaruddin. Ini akan kentara ketika Daftar Isian Proyek (DIP) untuk Aceh, menurut ahli politik ini dipotong hampir 60% di tahun 1987--1988. Sementara itu, pendekatan Golkar, menurut Nazaruddin, terkadang bersifat "materialistis", dalam arti menjanjikan hadiah dan pemberian, bukan pendekatan yang mengangkat "harga diri dan hati nurani". Bagaimanapun juga, Nazaruddin melihat cara pendekatan yang dilakukan Gubernur Ibrahim Hasan sebagai cara yang "simpatik". Seperti banyak disebutkan orang di Banda Aceh, gubernur ini "merakyat", dan, tak seperti pejabat umumnya, ia tak suka hal-hal protokoler. Ibrahim Hasan memang bisa dapat kans, sebab membuat Golkar tidak "talu" itulah memang salah satu misi utama yang dibebankan pada pundak tokoh ini yang jadi gubernur Aceh sejak September 1986 (lihat Jenderal Mati Prajurit tak Ikut). Ditinjau dari sumbangannya bagi kemenangan kursi secara nasional, suara dan Aceh sebenarnya tak menentukan. Toh memperebutkan suara di wilayah ini, baik bagi PPP maupun bagi Golkar, pada Pemilu 1987 ini sebenarnya adalah pertarungan antarkebanggaan. Bagi PPP, Aceh adalah satu-satunya provinsi yang mayoritasnya adalah PPP. Dan itu harus dipertahankan. Bagi Golkar, Aceh adalah satu-satunya provinsi yang hingga kini masih belum mereka tundukkan. Bahwa perebutan itu sungguh istimewa tahun ini, tak lain karena perubahan yang terjadi pada PPP sendiri. Ia, yang kini tak bertanda gambar Ka'bah, harus tampil bukan sebagai partai Islam. Bahkan sejumlah besar pendukungnya dari kalangan Islam sudah pada copot. Tapi bersama dengan sulitnya memenuhi janji pemilu oleh Golkar karena keterbatasan dana pembangunan. Yang juga membuat PPP tak bisa tergeser secara mudah ialah kenyataan ini: di Aceh, seperti terdengar dalam kampanye PPP pekan lalu itu, soal tak ada hubungannya pemilu dan PPP dengan agama praktis diabaikan orang. "Ada yang mengatakan," seru tokoh PPP setempat, Teuku Ghazali Amna "pemilu sekarang ini tak memilih agama." Dan massa menyahut, serentak, "Bohooong. Di pihak lain, Golkar punya kendala. Sebagai "partai pemerintah", Golkar masih menimbulkan asosiasi pada ingatan orang Aceh pada pengalaman pahit mereka dengan pemerintah pusat, baik di zaman republik maupun di zaman kolonial. Bahkan pemerintah Aceh, yang tentu saja diidentikkan dengan Golkar oleh rakyat Aceh, menurut Ibrahim Hasan sendiri, kadang "dianggap sama saja dengan pemerintah Belanda." Sikap dari Aceh ini, menurut Ibrahim disebabkan oleh lamanya daerah itu terlibat perang. Macam-macam perang telah melanda Aceh, memang. Perang melawan Belanda, perang antara ulama dan uleebalang, perang antara DI/TII dan TNI, maupun pemberontakan-pemberontakan kecil lainnya yang tidak kurang mengganggu perkembangan daerah itu. Dalam semua perang itu Aceh tak pernah kalah. Keunikan ini juga diperkuat oleh tradisi Aceh yang sangat Islami: pertautan dengan Islam merupakan bagian integral dari sejarah panjang negeri "Serambi Mekah" ini. Peran ulama makin menentukan dalam struktur sosial Aceh, setelah pada awal revolusi terjadi perang Cumbok antara para ulama dan para uleebalang atau kalangan bangsawan. Karena kecurigaan ulama pada uleebalang yang diragukan kesetiaannya kepada Republik Indonesia, maka timbullah kejadian itu. Begitu banyak uleebalang yang tewas, hingga pemerintahan di Aceh akhirnya berada di tangan para ulama di bawah pimpinan Teuku Daud Beureueh. Barulah di awal tahun lima puluhan kaum uleebalang bisa perlahan-lahan kembali mengelola pemerintahan di Aceh, tapi kredibilitas mereka agaknya tak kukuh lagi. Perang Cumbok dan akibatnya itulah, menurut Prof. William Liddle, dari Ohio State University, yang akhir-akhir ini mengadakan penelitian di Aceh, yang menyebabkan daerah ini berbeda dari daerah lain di Indonesia (lihat Golkar Tak Meniru Jenderal Kohler). Perbedaan itulah, dan peran ulama dan agama yang begitu besar, yang dengan jelas tercermin lewat kemenangan partai Islam Masyumi pada Pemilu 1955 dan serentetan kemenangan PPP dalam tiga pemilu di masa Orde Baru ini. Setelah itu, UUD 45, tapi terutama Pancasila sebagai satu-satunya asas tentu saja mengharuskan orang Aceh memikirkan kembali, paling sedikit, cara mereka memperjuangkan aspirasi mereka. Dalam rangka pemikiran kembali inilah Golkar mencoba tampil sebagai salah satu saluran bagi realisasi aspirasi itu. Dengan menekankan pada hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai oleh pemerintah Orde Baru di mana-mana, Golkar mencoba merebut hati rakyat Aceh. Tugas Ibrahim Hasan, ke arah itu, tidaklah ringan. Ia harus menaikkan perolehan Golkar pada pemilu, padahal ia baru akhir tahun silam dilantik. Tidak mudahnya, ya itu tadi: soal Islam dan sejarah dengan kebanggaan itu. "Islam dan asas tunggal itu baru dimengerti oleh orang-orang kota. Karena itu, baru di kota-kota Golkar berkembang," kata Hasan Ali, bekas perdana menteri Darul Islam Aceh. "Untung, Golkar sekarang banyak Islamnya," tambahnya. Karena penduduk Aceh kebanyakan di desa-desa, tentu saja tugas Ibrahim harus ke desa. Tapi waktu singkat, maka sudah tentu tidak cukup kesempatan bagi Ibrahim untuk mengubah sikap orang Aceh di desa. Karena itulah maka besar kemungkinan orang-orang ini bakal disedot PPP lagi. Menyadari hal demikian inilah rupanya Jakarta harus memperbantukan banyak tokoh Golkar pusat untuk membantu Ibrahim menggarap Aceh. Paling sering tampil di Aceh untuk tugas ini adalah Bustanil Arifin, menteri koperasi yang pernah besar di Aceh dan jadi ajudan Hassan Saleh, sebelum tokoh ini berontak dan jadi panglima perang DI/TII. Juga Direktur Utama Pertamina A.R. Ramly, yang lahir dan besar sebagai putra ulama Aceh. Masa lalu memang membekas dan bisa getir di daerah ini, tapi perubahan juga tidak selamanya menenteramkan. Akibat pertumbuhan ekonomi adalah banyaknya pendatang dan munculnya tempat-tempat hiburan. Bahkan, juga, pelacuran terselubung, meskipun ini soal yang sulit dielakkan selama ada "pasar" atau para calon pembeli yang berminat. "Pelacuran dulu sangat tabu di Aceh, kini secara diam-diam orang bisa dapat perempuan penghibur di beberapa salon kecantikan, bahkan beberapa hotel terkenal, di Banda Aceh," kata seorang yang tak ingin disebutkan namanya. Mungkin buktinya sulit dan tak bisa didapat, tapi kecemasan tentang itu cukup nyata. Walhasil, berubahnya PPP, kerja keras Ibrahim Hasan dan tokoh Golkar lainnya, serta usaha pembangunan pemerintah untuk berangsur-angsur untuk menempatkan Aceh sebagai bagian yang "inti" dari Indonesia masih memerlukan waktu -- mungkin sampai suatu masa nanti, bersama dengan berbuahnya hubungan yang selama ini berlangsung. Hubungan ini umumnya ditandai oleh semacam ketegangan, yang kadang-kadang membawa manfaat. Baru setelah itu nanti Golkar -- sebagai kekuatan sosial-politik yang cenderung menyatukan -- boleh dengan yakin akan mendapatkan kemenangan. Karena itulah, jika kemenangan yang ditargetkan Golkar di Aceh kali ini belum bisa dicapai, itu cuma karena memang mujur tak dapat diraih. Tapi tentu saja ini cuma analisa dan ramalan. Yang akan menentukan adalah orang Aceh sendiri, yakni pada hari ketika mereka harus menyatakan pilihannya tanggal 23 April ini. Salim Said, Laporan dari Biro Medan & Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus