Masalah BUMN, menurut saya, bukanlah karena badan ini penyebab kebocoran, seperti dinyatakan Sdr. Julius C. Rumpak (TEMPO 28 Maret). Tapi tak tegasnya kedudukan badan itu. Sampai 11 Maret 1979 (Keppres Pelita III), seperti halnya badan usaha swasta, pemerintah juga berniat menumbuhkan kewiraswastaan RUMN dalam rangka menciptakan iklim sehat bagi pengembangan dunia usaha (Buku I halaman 234 dan 248). Selanjutnya, sebagai aparatur perekonomian negara, BUMN diharapkan dapat bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan (Buku III halaman 372), sehingga yang belum mendapatkan bentuk supaya diperjelas kedudukannya (halaman 391). Itu berarti, hanya perjan (perusahaan jawatan) yang tunduk kepada Indische Bedrijven Wet (IBW), perum (perusahaan umum) kepada UU Perusahaan Negara (UUPN), dan pesero (perusahaan sero) kepada Wetboek van Koophandel (WvK), yang diakui. Begitulah Tap MPRS XXIII/1966, waktu kita masih murni memasuki Orde Baru, menggariskan cara debirokratisasi BUMN. Tapi sejak 14 lanuari 1980, keadaan menjadi lain waktu ada surat rahasia seorang menteri, yang tak berwenang, memerintahkan ketentuan berdasarkan Indische Comptabiliteits Wet (ICW) agar diberlakukan terhadap BUMN. Lucunya surat rahasia itu kemudian diangkat menjadi Keppres dan PP 3/1983. Dalam penjelasan umum PP ini (TLN 3246) tanpa rikuh dituliskan antara lain, "Perusahaan milik negara adalah merupakan unsur dari kelembagaan pemerintahan dan tunduk pada peraturan tertentu di bidang tata pemerintahan." Sungguh, ironis. Dulu, waktu belum banyak orang berpendidikan hukum, orang dapat membedakan instansi pemerintah dan badan hukum milik negara, sekarang semua itu dianggap sama. Memang benar, penerapan ICWitu dinyatakan tak akan mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan baku yang harus dipatuhi BUMN. Tapi kalau yang mengatur dan menguasai BUMN dari luar pengetahuannya terbatas pada ICW, pasti hanya ICW itulah yang dianggap baik. Sekelompok BUMN pernah mempunyai lembaga yang bertugas membina perusahaan-perusahaan sejenis itu sesuai dengan jiwa dunia usaha, yang urgensinya diakui Bank Dunia. Tapi pejabat-pejabat kita justru menganggap lembaga itu haram, semata-mata karena menyimpang dari ketentuan mengenai departemen pemerintahan yang 100% mengikuti ICW. Jadi, sekalipun Keppres selaku Mandataris MPR guna melaksanakan GBHN memerintahkan perlunya jiwa dunia usaha dimantapkan pada BUMN, kalau yang mengatur menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap slstem yang ada, dilarang. Begitulah naifnya birokrasi kita dewasa ini. Keadaan tak menentu itu -- instansi pemerintah bukan, badan hukum tak murni -- pasti akan menghapuskan identitas BUMN sebagai badan usaha, sehingga dia menjadi banci. Ini tentu mempengaruhi semangat kerja para karyawannya yang bekerja berdasarkan otak: Masihkah prestasinya akan dihargai, menurut norma perusahaan ataukah berdasarkan hukum publik Bagi yang bekerja berdasarkan otot, hal itu taklah menjadi masalah. Pokoknya, tiap akhir bulan ia menerima gaji. Karena kesempatan memang ada, maka keadaan yang tak menentu itu membuka peluang lebar bagi yang tak kuat imannya untuk korupsi. Jadi, korupsi, sekali-kali, bukanlah penyebab rusaknya struktur dan organisasi BUMN meski pasti mempengaruhi pendapatan perusahaan -- melainkan akibal bancinya posisi BUMN. Kami ingin memberikan saran-saran. Kembalikan BUMN kepada jiwa sebelum 1980. Pasti segala kemelut akan terpecahkan. Pihak yang selama ini menyalahgunakan ketentuan hukum publik untuk BUMN agar menyetop tindakan itu. Sebab, dengan permainan itu BUMN tertentu -- anak emas yang mengatur dari luar -- telah benar-benar menyuburkan sistem etatisme dan monopoli, yang pada awal Orde Baru dijadikan sasaran perjuangan untuk di hancurkan. Para karyawan BUMN, mengingat kedudukannya sebagai aparatur perekonomian negara dan pembangunan ekonomi, sehingga akan sangat menentukan seluruh perjuangan bangsa Indonesia, hendaknya jangan hanya diberi predikat abdi negara. Sehingga, mereka hanya berstatus sekadar penonton kemakmuran pihak lain. Akibatnya, kerja mereka pun monoton. Para karyawan BUMN itu harus diberi kesempatan mendapatkan saham perusahaan tempatnya bekerja. Dengan demikian, secara gabungan akan dapat mengontrol pengelolaan perusahaan dari dalam. Jadi. bukan kontrol gaya Dewan Perusahaan ala PKI di 1960-an, yang para anggotanya di-drop dari luar perusahaan dan ke-"ahli"-annya memang mencari-cari kesalahan pihak lain. Sehingga, akhirnya, mereka hanya menghasilkan ketegangan saja. Dengan memberikan peran serta kepada para karyawan secara nyata, mereka akan ikut bertanggung jawab, terutama terhadap terjadinya penyimpangan ketentuan perusahaan. Kekhawatiran BUMN sebagai sumber kebocoran, pasti, akan terhapus dengan sendirinya. JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo, S.H. 52 Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini