SUASANA kantor wilayah Bea Cukai Tanjung Priok Senin pekan ini tidak istimewa. Hingga pukul 15.00 tetap tampak pemandangan yang itu-itu Juga: para petugas EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) tengah sibuk mengurus dokumen. Para petugas Bea Cukai melayani mereka dengan gaya lama, dokumen berpindah dari meja ke meja yang puluhan jumlahnya. Gaya lama lainnya juga tetap ada. "Uang siluman masih tetap ada," ujar seorang pegawai EMKL berbisik. Matanya melirik takut pada para petugas BC di dekatnya. Bukankah telah turun Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 yang menetapkan berbagai prosedur baru? Kepala Kantor Wilayah BC Tanjung Priok, Mochamad, menolak anggapan bahwa instansinya tidak bekerja lagi setelah Inpres 4/1985 keluar. "Kami masih melakukan tugas sambil menunggu petunjuk lebih lanjut," katanya. Artinya, tetap dilakukan pemeriksaan barang yang diterima dan dikirim. Meski begitu, "Kami telah melakukan langkah-langkah yang sejalan dengan Inpres Nomor 4 itu," kata Mochamad. Misalnya, PMB (Pemberitahuan Muat Barang) atau AVI kini tidak diperiksa lagi meski petunJuk pelaksanaannya belum ada. Beberapa petugas BC memperkirakan, pelaksanaan Inpres Nomor 4 itu belum segera bisa dilakukan. Sebab, antara lain, itu menyangkut penunjukan surveyor, dan aktifnya surveyor pasti memerlukan waktu. Selain itu, berbagai peraturan pelaksanaan yang tercantum dalam Inpres 4/1985 belum keluar. Kendati begitu, Menko Ekuin Ali Wardhana memastikan, "Dalam minggu ini, semua peraturan pelaksanaan akan diselesaikan. Kami bekerja siang malam biar cepat selesai, supaya masyarakat tidak menunggu lama," katanya. (Lihat: Kali ini Perombakan Total). Masyarakat memang menunggu. Sejak diumumkan pada 4 April lalu, Inpres 4/ 1985 yang menggemparkan ini terus menjadi buah bibir. Semua tanggapan bernada positif. Ketua umum Kadin Sukamdani Gitosardjono menganggapnya "tindakan drastis yang sudah lama ditunggu dunia usaha". Sedangkan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, bekas menteri perdagangan, memuji, "Sifatnya sangat mendasar. Adanya efisiensi dalam sistem nasional akan membawa keadilan bagi masyarakat." Inpres 4/1985 memang drastis dan mengakibatkan perubahan yang sangat mendasar. Umpamanya keputusan meniadakan pemeriksaan pabean terhadap barang-barang ekspor. Dengan sebaris kalimat itu, berakhirlah sudah salah satu tugas Bea Cukai yang telah puluhan tahun dilakukannya. Begitu juga keputusan menghapuskan ketentuan Pemberitahuan Muat Barang Antarpulau (AVI) atau ditiadakannya ketentuan mengenai Surat Keagenan Umum (SKU). Wajar bila banyak pihak yang kaget dan tidak menduga bahwa pemerintah bisa melakukan kebiJaksanaan yang setegas itu. Lampu isyarat ke arah itu sebenarnya telah lama dinyalakan. Akhir tahun lalu, misalnya, tatkala meresmikan pelabuhan Baai di Bengkulu, Presiden Soeharto telah mengingatkan: tingginya biaya angkutan laut membuat ekspor Indonesia tidak bisa bersaing. Untuk menurunkan biaya angkutan laut, efisiensi kerja dan kelancaran operasional di pelabuhan perlu diperhatikan. Setelah itu, peringatan yang sama juga berkali-kali disampaikan Kepala Negara. Februari lalu Presiden-meminta Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin dan Menteri Keuangan Radius Prawiro agar segera meneliti penyebab tingginya biaya di pelabuhan dan berusaha menguranginya. Rupanya, sejumlah langkah yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan belum dianggap cukup oleh Kepala Negara. Hingga lahirlah Inpres 4/1985 tersebut. "Sebetulnya, itu langkah yang pahit dan menyedihkan karena itu berarti menggebuk aparatur pemerintah sendiri," kata seorang pejabat tinggi. Tanpa perlu dalam-dalam meneliti, dari Inpres 4 itu terlihat ada dua instansi yang paling terkena "gebukan": Bea Cukai dan Perhubungan Laut. Tindakan ini tampaknya memang terpaksa sekali dilakukan pemerintah. Sejak jatuhnya harga minyak bumi beberapa tahun terakhir ini, pemerintah berusaha keras menggalakkan ekspor komoditi nonmigas. Usaha ini terbukti sulit karena ternyata harga barang Indonesia tidak bisa bersaing akibat ekonomi biaya tinggi. Selain itu, berbagai hambatan lain muncul. "Angka ekspor kita yang tinggi ternyata tidak benar karena adanya pemalsuan lewat Sertifikat Ekspor," kata sebuah sumber pemerintah. Di samping itu, pelabuhan-pelabuhan Indonesia ternyata merupakan batu pengganjal. Kesemrawutan cara kerja dan tingginya uang siluman menyebabkan harga barang kian tinggi. Walau ekspor nonmigas Indonesia pada 1984 meningkat 18% lebih dibanding tahun sebelumnya, pemenntah agaknya ingin terus meningkatkan. "Jawaban idealnya: aparatur perlu diperbaiki. Tapi setelah diteliti, ternyata tidak mungkin karena kondisinya sudah terlalu parah," kata seorang pejabat tinggi menjelaskan. Hingga Jatuhlah keputusan untuk melakukan deregulasi dengan mengurangi campur tangan aparatur pemerintah. "Tetapi pemerintah tetap memegang kendali," kata pejabat yang sama. Benarkah kondisi aparatur, seperti Bea Cukai dan Perhubungan Laut, sudah begitu parah? Dari berbagai pelabuhan, datang sejumlah laporan disertai beberapa contoh. Dari Medan, Lisman Gersang, 57, ketua Pelaksana Eksportir Sayur Mayur Su-Mut, yang juga direktur CV Karya Tani, Yang merupakan eksportir sayur terbesar di provinsi itu, berkisah. Setiap kali mengirim sayur ke Malaysia atau Singapura, pihak eksportir harus memperoleh 63 tanda tangan. "Sedangkan tiap kali meminta tanda tangan, kami harus merogoh kantung supaya urusan lempang. Jika tidak, jangan harap urusan cepat selesai," katanya. Di Telukbayur, Padang, muncul setumpuk keluhan. Petugas pandu yang memandu kapal keluar masuk pelabuhan biasa datang terlambat, itu pun setelah bertugas ia wajib dibekali uang sampai Rp 20 ribu, meski menurut peraturan Dirjen Perla - petugas pandu tidak dibenarkan menerima imbalan. Mencari tikus bisa menjadi obyek menarik di Telukbayur. Setiap kali kapal masuk, Tim Kesehatan Pelabuhan memeriksa sertifikat "bebas hama tikus" di atas kapal. Sebuah kapal pernah mengalami nahas: sertifikatnya tidak dipercayai karena tim menemukan beberapa gelintir tahi tikus di atas kapal. Perselisihan pendapat pun terjadi. Sang kapten kapal akhirnya menyerah, dan "berdamai", setelah keberangkatan kapalnya tertunda enam jam. Hambatan pihak Bea Cukai bukan rahasia lagi. Sekretaris Ditjen Bea Cukai Suharnomo pernah mengakui, tingginya biaya tidak resmi di pelabuhan antara lam karena banyaknya tangan yang menangani pelayanan pabean. "Tugas dan fungsi dipecah-pecah, semata-mata hanya untuk memenuhi tujuan agar semua orang bisa dilalui arus dokumen pabean," katanya dalam raker Ditjen Bea Cukai awal Maret lalu. Setelah Menteri Radius Prawiro merangkap jabatan Dirjen Bea Cukai, sejumlah langkah penertiban dilakukan. Di Kanwil II BC Belawan Medan, pengurusan dokumen impor umum di bidang Perbendaharaan disederhanakan dari 17 menjadi 8 meja. Dari sini, dokumen itu dikirim ke bidang Pemeriksaan Wilayah, yang telah disederhanakan dari 33 meja menjadi 23. Tiap meja, tentu saja, memerlukan uang pelicin. Kalau tidak ada kelainan pada dokumen, persoalannya beres. Bila ada, urusan harus sampai ke kakanwil. Sebuah sumber menyebutkan, ada kecenderungan petugas BC pada lini bawah (pelaksana pemeriksa) mempersulit urusan. Misalnya, pada dokumen tercantum kode garis strip (-). Sedangkan di bungkus barang tercantum kode garis miring (/). Urusan pun menjadi berbelit. Bila kakanwil mengambil alih urusan ini, dokumen pun berputar-putar lagi melewati 33 meja. "Tapi ini lumayan. Sebelum Dirjen Bea Cukai dipegang Pak Radius, urusan berbelit itu harus melintasi 38 meja," kata sumber tadi. Buliga Siregar, 47, ketua umum Gaveksi, mengatakan, jumlah meja di tiap Kanwil BC berbeda. Di Tanjung Priok dan Tanjung Perak, sebelum Radius merangkap jabatan Dirjen BC, ada 63 meja yang harus dilewati. Setelah Radius turun tangan, jumlah meja merosot menjadi 24 sampai 30. Tak heran, jabatan BC selama ini dianggap pos yang basah. Sebuah sumber mengungkapkan, untuk dapat diangkat sebagai kepala hangar di suatu pelabuhan, seorang pegawai BC berani "membayar" Rp 3 juta kepada atasannya. Padahal, jabatan itu hanya untuk tiga bulan. Akibatnya, dalam tempo tiga bulan dia akan mencari "rezeki" lebih besar daripada jumlah modal yang ditanamnya. Akibat panjangnya mata rantai, kata sebuah sumber, biaya siluman mencapai 40% sampai 50% harga barang. Sumber yang sama menjelaskan, biaya siluman untuk sebuah PPUD (Pemberitahuan Pemasukan Barang untuk Dipakai) yang termahal di Cakung: Rp 500 ribu. Di Tanjung Priok dan Belawan Rp 350 sampai Rp 400 ribu. Pengurusan dokumen juga memakan waktu lama. Sebelum Radius turun tangan, sebuah dokumen di Priok memerlukan penyelesaian 14 hari. Lahirnya Inpres 4/1985 jelas akan memukul pihak-pihak yang selama ini diuntungkan kemudahan yang ada. Pemerintah sendiri memperkirakan, bisa jadi akan timbul gejolak dari kelompok ini. Karena itu, Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani dimmta Presiden turun tangan mengamankan Inpres itu. Dan Jenderal Benny tampaknya siap. Salah satu pejabat yang akan menentukan sekali keberhasilan pelaksanaan Inpres 4/ 1985 ini adalah administrator pelabuhan (adpel), yang kini menjadi semacam penguasa tunggal di pelabuhan dan bertanggung jawab langsung pada menteri perhubungan. Bila bukan orang kuat, bisa jadi ia akan gagal. Sebuah sumber mengungkapkan, jabatan adpel kelak akan dipercayakan pada perwira ABRI agar bisa tegas dan berani khususnya melawan kemungkinan gejolak yang timbul akibat pelaksanaan Inpres ini. Inpres 4/1985 tampaknya bakal dipakai pemerintah sebagai momentum. "Betul, ini memang bagian dari suatu usaha meningkatkan efisiensi nasional," kata seorang pejabat. Tapi harus diingat, menghilangkan kebiasaan lama terkadang sulit. Mungkin itu sebabnya Dirjen Perla J.E. Habibie bersikap keras. Senin lalu ia memberikan sambutan pada rapat koordinasi antara Perum Pelabuhan I-IV dan Perum Pengerukan. Rakor itu diselenggarakan di Garden Palace Hotel, Surabaya, diikuti 84 peserta. Menurut Habibie, baru satu setengah tahun Perum bekerja, tapi sudah tiga kali mengadakan rakor. Ia mempertanyakan jumlah peserta yang besar karena tiap direksi membawa sejumlah staf. "Untuk kali ini, tidak apa karena ada Inpres 4/1985. Tapi Rakor IV tentu tidak di sini. Barangkali cukup di pelabuhan dan yang datang tidak sampai 100 orang. Mungkin cukup lima . orang saja." Jika peranan Bea Cukai berkurang, bagaimana "nasib" instansi ini? Ada isu: BC akan diturunkan tingkatannya dari ditjen menjadi direktorat. Ini dibantah seorang pejabat tinggi. "Hingga kini belum ada pemikiran ke arah itu." Tugas BC, ujarnya, masih cukup banyak. Misalnya memeriksa barang yang dicurigai termasuk yang terkena larangan ekspor atau yang terkena Pajak Ekspor. Walau untuk melakukan ini perlu instruksi tertulis Dirjen BC. "Di samping itu, Juga terus memberantas penyelundupan," kata pejabat yang sama. Toh, dipotongnya wewenang BC pasti akan membuat banyak petugas instansi ini "menganggur". Di kantor BC Tanjung Perak, Surabaya, saja, setelah Radius memperketat mata rantai pengurusan dokumen, menurut Soepardjo, kepala Kanwil IX BC Tanjung Perak, ada 100 karyawan yang bisa "dihemat". Akan dikemanakan mereka ini? "Penempatan mereka akan diatur," kata Radius Prawiro, tatkala meninjau Tanjung Perak akhir Maret lalu. Salah satu tanda tanya besar setelah keluarnya Inpres 4/1985 adalah: Apakah penyelundupan akan semakin deras? Meski harga barang impor diperkirakan akan turun, penyelundupan diperkirakan akan berjalan terus. Tapi Kopkamtib tampaknya telah siaga. "Untuk memberantas penyelundupan, yang akan ditindak nanti tidak hanya penyelundupnya. Penadah dan penjualnya juga akan ditindak. Toko-toko akan diinventarisasikan barangnya. Kalau mereka tidak bisa membuktikan asal barangnya, barangnya akan disita. Mereka akan digilas," ujar seorang perwira tinggi. Untuk mencegah penyelundupan ini, penting sekali peranan surveyor, yang nantinya akan mengeluarkan LKP (Laporan Kebenaran Pemeriksaan), setelah memeriksa barang tersebut di negara asal barang impor itu. Surveyor itu pula yang melakukan pemeriksaan barang ekspor di tempat tujuan ekspor terhadap barang ekspor yang memperoleh Sertifikat Ekspor. Perusahaan surveyor yang memperoleh kepercayaan pemerintah untuk "mengambil alih" tugas BC adalah Societe Generale de Surveillance SA (SGS). Perusahaan yang berdiri sejak 1880 dan mempunyai perwakilan di lebih dari 140 negara di dunia ini memang perusahaan surveyor terbesar di dunia, dan memiliki 7 ribu tenaga ahli. Kabarnya, SGS belum memiliki perwakilan di Uni Soviet dan RRC. Di Indonesia, perwakilan perusahaan yang bermarkas di Swiss ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah malah berkongsi dengan SGS mendirikan PT Sucofindo dengan berbagi separuh saham, pada 1956. Semangat Indonesianisasi yang menggebu-gebu waktu itu mengakibatkan turunnya saham SGS menjadi 20%, bahkan kemudian turun lagi menjadi tinggal 4% pada 1975. Tapi yang terpenting, Sucofindo tetap merupakan afiliasi jaringan mancanegara SGS, seperti 142 perusahaan afiliasi lain di dunia. Sucofindo memiliki jalur ke 100 laboratorium dan 290 kantor SGS yang ada. Anehnya, penunjukan SGS telah diumumkan walau kontrak belum diteken. "Kami masih dalam tahap perundingan," kata Oscar J. Kneubuhler, senior vice president SGS, pada TEMPO. "Kita memang masih merundingkan soal fee," Menteri Ali Wardhana membenarkan. "Kita minta agar tarif untuk kita jauh lebih rendah daripada negara lain," tambahnya. Ia mengharapkan kata sepakat bisa dicapai dalam pekan ini juga. Buat SGS, Indonesia bukan negara pertama yang menggunakan SGS dalam jasa serupa. "Kami sudah melakukan hal ini pada negara lain kok," kata Oscar J. Kneubuhler. Susanto Pujomartono Laporan A. Luqman (Jakarta) dan Monaris Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini